The Sky Is Falling Langit Runtuh Sidney Sheldon Sumber Djvu: kiageng80 Edit & Convert: zhe (zheraf.wapamp.com) http://www.zheraf.net Untuk Alexandra Malaikat di Sampingku Langit runtuh! Langit runtuh! -Chicken Little Bawakan aku pahlawan, dan akan kutuliskan tragedi untukmu. -F. Scott Fitzgerald PROLOG CATATAN RAHASIA UNTUK SELURUH PERSONALIA OPERASI: MUSNAHKAN SEGERA SESUDAH DIBACA LOKASI: RAHASIA TANGGAL: RAHASIA Di dalam ruangan bawah tanah yang dijaga ketat itu ada dua belas pria, masing-masing mewakili dua belas negara yang berjauhan. Mereka duduk di enam baris kursi nyaman, satu sama lain terpisah beberapa puluh sentimeter. Mereka mendengarkan dengan penuh perhatian ketika si pembicara berpidato pada mereka. "Dengan gembira saya memberitahu Anda bahwa ancaman yang sangat kita semua khawatirkan segera akan dilenyapkan. Tidak perlu saya perinci kabar ini karena seluruh dunia akan mendengarnya dalam dua puluh empat jam mendatang. Percayalah, tidak ada yang dapat menghentikan kita. Semua gerbang akan tetap terbuka. Sekarang kita akan mulai lelang ini. Tawaran pertama? Ya. Satu milyar dolar. Tawaran kedua? Dua milyar. Tawaran ketiga?" SATU Ia tengah bergegas di sepanjang Pennsylvania Avenue, satu blok dari Gedung Putih, menggigil dalam dinginnya angin bulan Desember, ketika mendengar sirene tanda bahaya serangan udara yang melengking mengerikan dan memekakkan telinga, kemudian suara pesawat pembom di atas, siap menjatuhkan muatan mautnya. Ia berhenti, terpaku, diselimuti kabut merah kengerian. Tiba-tiba ia bagai kembali ke Sarajevo, dan bisa mendengar desing melengking hujan bom. Ia memejamkan mata rapat-rapat, tapi mustahil menghilangkan bayangan tentang apa yang terjadi di sekelilingnya. Langit seolah terbakar, dan telinganya tuli karena suara tembakan senjata otomatis, gemuruh pesawat terbang, dan dentum mortir yang mematikan. Bangunan-bangunan di dekatnya berhamburan jadi hujan semen, batu bata, dan debu. Orang-orang yang ketakutan berlarian ke sana-kemari, berusaha berpacu mendahului maut. Dari jauh, amat jauh, terdengar suara laki-laki berkata, "Anda baik-baik saja?" Perlahan-lahan, dengan takut-takut, ia membuka mata. Ia kembali berada di Pennsylvania Avenue, dalam cahaya matahari musim dingin yang suram, mendengarkan suara pesawat jet yang pelan-pelan menghilang dan sirene ambulans yang tadi memicu ingatannya. "Miss-Anda tidak apa-apa?'' Ia memaksa dirinya kembali ke masa kini. "Ya. Saya-saya baik-baik saja, terima kasih." Laki-laki itu menatapnya. 'Tunggu sebentar! Anda Dana Evans. Saya penggemar berat Anda. Saya menonton Anda di WTN setiap malam, dan saya menyaksikan semua siaran Anda dari Yugoslavia." Suaranya antusias. "Meliput perang pasti benar-benar mengasyikkan, ya?" "Ya." Kerongkongan Dana Evans terasa kering. Sama sekali tidak mengasyikkan menyaksikan orang-orang meledak hingga berkeping-keping, melihat bayi-bayi dilempar ke dalam sumur, serpihan-serpihan tubuh manusia mengalir di sungai darah. Tiba-tiba ia merasa mual. "Permisi." Ia berbalik dan bergegas pergi. Dana Evans baru tiga bulan kembali dari Yugoslavia. Berbagai kenangan masih segar di benaknya. Rasanya tak nyata berjalan-jalan di luar di siang hari tanpa merasa ketakutan, mendengar burung-burung berkicau dan orang-orang tertawa. Tidak pernah ada tawa di Sarajevo, cuma ada bunyi ledakan mortir dan jerit memilukan yang menyertainya. John Donne benar, pikir Dana. Tak ada manusia yang hidup sendiri. Apa yang terjadi pada seseorang, pasti menimpa kita semua, karena kita semua terbuat dari tanah liat dan debu. Kita mengalami waktu yang sama. Jarum detik universal memulai gerakannya yang tak kenal ampun menuju menit berikutnya: Di Santiago, anak perempuan berumur sepuluh tahun diperkosa kakeknya sendiri.... Di New York City, sepasang kekasih muda berciuman diterangi cahaya lilin. Di Flanders, gadis berusia tujuh belas tahun melahirkan bayi pecandu obat bius.... Di Chicago, anggota pemadam kebakaran mempertaruhkan nyawa untuk menyelamatkan seekor kucing dari gedung yang sedang terbakar.... Di Sao Paulo, ratusan penggemar sepak boia mati terinjak-injak dalam suatu pertandingan ketika tribun roboh.... Di Pisa, seorang ibu berseru girang ketika menyaksikan bayinya melangkah untuk pertama kalinya.... Semua ini dan berbagai peristiwa yang tak terhingga jumlahnya berlangsung hanya dalam waktu enam puluh detik, pikir Dana. Dan kemudian waktu berlalu hingga akhirnya mengantar kita menuju keabadian yang sama dan tak kita kenal. Dana Evans, pada usia 27 tahun, berwajah cantik, dengan sosok langsing, rambut hitam kelam, mata abu-abu cerdas, wajah berbentuk hati, dan tawa yang hangat, menggugah. Dana dibesarkan sebagai anak kolong, putri kolonel yang berpindah dari pangkalan satu ke pangkalan lain sebagai instruktur peralatan perang, dan kehidupan semacam itu memberi peluang bagi Dana untuk berpetualang. Ia rapuh tapi sekaligus tak kenal takut, dan paduan tersebut sungguh menarik. Selama setahun ketika Dana meliput peperangan di Yugoslavia, orang-orang di seluruh penjuru dunia terpesona pada wanita muda, cantik, dan penuh semangat itu, yang menyiarkan berita di tengah pertempuran, mempertaruhkan nyawa untuk melaporkan berbagai peristiwa maut yang terjadi di sekitarnya. Kini, ke mana pun ia pergi, ia selalu menyadari gerak-gerik serta bisik-bisik orang-orang yang mengenalinya. Dana Evans merasa jengah dengan ketenarannya. Sambil bergegas di Pennsylvania Avenue, melewati Gedung Putih. Dana melihat arloji dan berpikir. Aku akan terlambat menghadiri rapat. Washington Tribune Enterprises menempati satu blok penuh di Sixth Street NW, dengan empat gedung yang terpisah: percetakan surat kabar, kantor staf surat kabar, gedung eksekutif, dan kompleks stasiun televisi. Studio-studio televisi Washington Tribune Network menempati lantai enam gedung keempat. Tempat itu selalu penuh energi, bilik-biliknya berisi orang-orang yang sibuk bekerja di depan komputer. Teleks dari setengah lusin kantor berita terus-menerus memuntahkan berita terbaru dan seluruh permukaan bumi. Besarnya skala operasi itu selalu membuat Dana tercengang dan terpesona. Di situlah Dana berjumpa Jeff Connors. Pria itu dulu pitcher All-Star sampai ia menderita cedera lengan dalam kecelakaan saat bermain ski. Jeff kini reporter on air acara olahraga di WTN, juga menulis kolom harian untuk Washington Tribune Syndicate. Ia berusia tiga puluhan, tinggi dan ramping, dengan wajah kekanak-kanakan dan pembawaan tenang dan santai yang menarik hati. Jeff dan Dana saling jatuh cinta, dan mereka sudah bicara tentang perkawinan. Tiga bulan sejak Dana kembali dari Sarajevo, berbagai peristiwa terjadi di Washington. Leslie Stewart, pemilik terdahulu Washington Tribune Enterprises, menjual perusahaan tersebut dan menghilang, dan korporasi itu dibeli taipan media internasional, Elliot Cromwell. Rapat pagi dengan Matt Baker dan Elliot Cromwell akan segera dimulai. Begitu tiba, Dana disambut Abbe Lasmann, asisten Matt yang seksi dan berambut merah. "Mereka sudah menunggumu." kata Abbe. "Terima kasih, Abbe." Dana masuk ke kantor sudut. "Matt... Elliot..." "Kau terlambat," Matt Baker menggerutu. Baker berperawakan pendek, berambut kelabu, berusia lima puluhan awal. Sikapnya yang tegas dan tak sabaran dipicu oleh otaknya yang cemerlang dan selalu resah, ia memakai setelan kusut yang kelihatan seperti habis dipakainya tidur, dan Dana curiga memang itulah yang terjadi. Ia yang mengelola operasi WTN, stasiun televisi Washington Tribune Enterprises. Elliot Cromwell berusia enam puluhan, dengan sikap ramah, terbuka, dan mudah tersenyum. Ia milyarder, tetapi ada selusin kisah berlainan tentang bagaimana ia meraih kekayaan luar biasa itu, beberapa di antaranya tidak terlalu sedap didengar. Dalam bisnis media massa, yang bertujuan menyebar informasi, Elliot Cromwell merupakan teka-teki. Ja memandang Dana dan berkata, "Mati mengatakan padaku kita memenangkan kembali persaingan. Peringkatmu terus naik." "Aku senang mendengarnya. Elliot." "Dana, aku mendengarkan enam siaran berita setiap malam, tapi siaranmu memang lain daripada yang lain. Aku tidak tahu persis apa sebabnya, tapi aku menyukainya." Dana sebenarnya bisa mengatakan penyebabnya pada Elliot Cromwell. Penyiar berita lain berbicara kepada-bukan dengan-berjuta pemirsa, membacakan berita. Dana sudah memutuskan untuk membuat caranya bernuansa pribadi. Ia membayangkan berbicara dengan seorang janda kesepian, malam berikutnya dengan seseorang yang terbaring tak berdaya di ranjang, dan malam berikutnya dengan seorang wiraniaga yang jauh dari rumah dan keluarganya. Laporan beritanya terdengar pribadi dan akrab, dan pemirsa sangat menyukainya sehingga menanggapinya. "Aku dengar kau akan mewawancarai tamu yang sangat menarik malam ini," kata Matt Baker. Dana mengangguk. "Gary Winthrop." Gary Winthrop adalah "putra mahkota" Amerika. Ia anggota salah satu keluarga paling terkemuka di negeri ini, muda, tampan, karismatis. "Ia tidak suka publisitas pribadi," kata Cromwell. "Bagaimana kau bisa membuatnya mau diwawancara?" "Kami punya hobi yang sama," Dana memberi-tahu. Alis Cromwell berkerut. "Benarkah?" "Ya." Dana tersenyum. "Aku suka melihat lukisan-lukisan karya Monet serta van Gogh, dan ia suka membelinya. Sebetulnya, aku pernah mewawancarainya dan kami jadi bersahabat. Kita akan menayangkan rekaman konferensi persnya, yang akan kita liput siang ini. Wawancaraku akan jadi follow-up." "Bagus." Cromwell berseri-seri. Mereka menghabiskan satu jam berikutnya dengan membicarakan acara baru yang sedang dirancang jaringan televisi itu. Crime Line, acara laporan investigatif berdurasi satu jam yang akan diproduksi dan dibawakan Dana. Tujuannya ada dua: meluruskan ketidakadilan yang telah terjadi dan menarik perhatian untuk memecahkan kasus kejahatan yang terlupakan. "Acara realita di televisi sudah banyak," Matt memperingatkan, "jadi kita harus lebih baik daripada mereka. Aku ingin kita mulai dengan kasus yang heboh. Kasus yang akan mencuri perhatian pemirsa dan-" Interkom berbunyi. Matt Baker menekan sebuah tombol. "Sudah kubilang, tidak ada telepon. Kenapa-?" Suara Abbe terdengar di interkom. "Maaf. Ini untuk Miss Evans. Telepon dari sekolah Kemal. Kedengarannya mendesak." Matt Baker memandang Dana. "Saluran satu." Dana mengangkat telepon, jantungnya berdebar-debar. "Halo... Apakah Kemal baik-baik saja?" Ia mendengarkan sejenak. "Saya mengerti... Saya tahu... Ya, saya akan segera ke sana." Ia meletakkan kembali gagang telepon. "Ada apa?" Matt bertanya. Dana berkata, "Mereka ingin aku datang ke sekolah untuk menjemput Kemal." Elliot Cromwell mengernyit. "Kemal adalah bocah laki-laki yang kau bawa dari Sarajevo." "Benar." "Cerita yang hebat." "Ya," kata Dana enggan. "Bukankah kau menemukannya tinggal di rumah kosong?" "Benar," kata Dana. "Ia menderita suatu penyakit?" "Tidak," bantahnya tegas, merasa muak membicarakan kejadian-kejadian waktu itu. "Kemal kehilangan satu lengan. Karena ledakan bom." "Dan kau mengadopsinya?" "Secara resmi, belum, Elliot. Aku akan melakukannya. Sementara ini. aku walinya." "Well, kalau begitu jemputlah dia. Kita akan bicarakan Crime Line nanti." Ketika tiba di Theodore Roosevelt Middle School, Dana langsung pergi ke kantor asisten kepala sekolah. Asisten kepala sekolah itu, Vera Kostoff, wanita dengan rambut beruban sebelum waktunya dan wajah menderita, sedang duduk di belakang meja kerja. Kemal duduk di hadapannya. Kemal berumur dua belas tahun, sosoknya kecil untuk usianya, kurus dan pucat, dengan rambut pirang acak-acakan dan dagu yang menunjukkan kekerasan hati. Di tempat lengan kanannya semestinya berada hanya tampak lengan baju kosong. Tubuhnya yang kurus tampak kerdil dalam ruangan itu. Ketika Dana melangkah masuk, suasana kantor itu muram. "Halo, Mrs. Kostoff," sapa Dana ramah. "Kemal." Kemal memandangi sepatunya. "Saya dengar ada masalah?" Dana meneruskan. "Ya, benar, Miss Evans." Mrs. Kostoff mengangsurkan sehelai kertas pada Dana. Dana menatapnya, bingung. Tulisan di kertas itu berbunyi: Vodja, pizda, zbosti, fukati, nezakonski otrok, umreti, tepec. Ia mengangkat kepala. "Saya-saya tidak mengerti. Ini kata-kata Serbia, bukan?" Mrs. Kostoff berkata dingin, "Benar. Malang bagi Kemal, saya kebetulan orang Serbia. Ini kata-kata yang dipakainya di sekolah." Wajahnya merah padam. "Sopir-sopir truk Serbia sekalipun tidak bicara seperti itu, Miss Evans, dan saya tidak bisa menerima bahasa sekasar itu keluar dari mulut anak muda ini. Kemal menyebut saya pizda."" Dana berkata. "Pi-?" "Saya tahu Kemal masih baru di negara kita, dan saya sudah mencoba untuk memberikan kelonggaran, tetapi 'perilakunya sangat tercela. Ia terus-menerus terlibat perkelahian, dan ketika saya menegurnya pagi ini, ia-ia menghina saya. Sungguh keterlaluan." Dana berkata hati-hati, "Saya yakin Anda tahu betapa sulit keadaan Kemal, Mrs. Kostoff, dan-" "Seperti sudah saya katakan, saya sudah memberikan kelonggaran, tetapi ia menguji kesabaran saya." "Saya mengerti." Dana memandang Kemal. Anak itu masih menunduk, wajahnya muram. "Saya betul-betul berharap ini kejadian yang terakhir," kata Mrs. Kostoff. "Begitu juga saya." Dana berdiri. "Saya sudah menyiapkan kartu rapor Kemal untuk Anda." Mrs. Kostoff membuka laci, mengeluarkan secarik kartu, dan menyodorkannya pada Dana 'Terima kasih," kata Dana. Dalam perjalanan pulang, Kemal terus membisu. "Apa yang mesti kulakukan padamu?" Dana bertanya. "Mengapa kau selalu berkelahi, dan mengapa kau memakai kata-kata seperti itu?" "Aku tidak tahu ia bisa bicara bahasa Serbia." Ketika mereka sampai di apartemen Dana, ia berkata. "Aku harus kembali ke studio, Kemal. Kau tidak apa-apa di sini sendirian?" "Word." Pertama kali Kemal mengatakan itu padanya, Dana mengira bocah itu tidak memahaminya, tapi ia segera tahu bahwa itu salah satu idiom anak muda. "Word" artinya "ya." "Phat" menggambarkan lawan jenis: pretty hot and tempting-panas dan menggoda. Segala sesuatu cool atau sweet atau tight atau rad. Kalau mereka tidak menyukai sesuatu, berarti sesuatu itu sucked. Dana mengeluarkan kartu rapor yang tadi diberikan Mrs. Kostoff. Ketika ia membacanya, bibirnya menipis. Sejarah, D. Bahasa Inggris, D. IPA, D. IPS, F. Matematika, A. Sambil memandangi kartu tersebut, Dana berpikir, Oh, Tuhan, apakah yang akan aku lakukan? "Kita akan membicarakan masalah ini lain kali," katanya. "Aku sudah terlambat." Kemal merupakan teka-teki bagi Dana. Sewaktu mereka bersama, tingkah lakunya amat baik. ia penuh kasih, pengertian, dan menyenangkan. Pada akhir pekan. Dana dan Jeff mengubah Washington jadi tempat bermain baginya. Mereka pergi ke National Zoo, yang memiliki koleksi binatang liar spektakuler, dengan panda raksasa sebagai bintangnya. Mereka mengunjungi National Air and Space Museum, tempat Kemal melihat pesawat pertama yang dibuat Wright bersaudara tergantung di langit-langit, kemudian memasuki Skylab dan menyentuh batu-batuan bulan. Mereka pergi ke Kennedy Center dan Arena Stage. Mereka memperkenalkan Kemal pada pizza di Tom Tom, taco di Mextec, dan ayam goreng gaya selatan di Georgia Brown's. Kemal sangat menyukainya. Ia senang bersama Dana dan Jeff. Tetapi... saat Dana harus pergi bekerja, Kemal berubah menjadi orang lain. Sikapnya jadi bermusuhan dan konfrontatif. Pengurus rumah tak pernah bertahan lama, dan para pengasuh menceritakan kisah-kisah mengerikan tentang malam-malam bersama Kemal. Jeff dan Dana mencoba bicara dengannya, tetapi percuma saja. Mungkin ia butuh bantuan profesional, pikir Dana. Ia sama sekali tidak tahu soal ketakutan-ketakutan yang menghantui Kemal. Siaran berita malam WTN sedang mengudara. Richard Melton, rekan Dana membacakan berita, dan Jeff Connors, duduk di sampingnya. Dana Evans berbicara, "... dan dalam berita luar negeri, Prancis dan Inggris masih berkutat dalam perundingan mengenai wabah mad cow. Berikut ini, Rene" Linaud melaporkan dari Rheims." Di bilik kontrol, sang sutradara, Anastasia Mann, memberikan instruksi, "Pindahkan ke tayangan jarak jauh." Tampak pemandangan pedesaan Prancis di layar televisi. Pintu studio terbuka dan serombongan pria masuk dan mendekati meja pembaca berita. Semua orang mengangkat muka. Tom Hawkins, produser muda ambisius yang menangani siaran berita malam itu, berkata, "Dana, kau kenal Gary Winthrop." 'Tentu saja." Ternyata Gary Winthrop lebih tampan daripada penampilannya dalam foto. Ia berumur empat puluhan, dengan mata biru cerah, senyum hangat, dan pesona luar biasa. "Kita bertemu lagi, Dana. Terima kasih telah mengundangku." 'Terima kasih Anda bersedia datang." Dana melihat sekeliling. Setengah lusin sekretaris mendadak punya urusan mendesak di dalam studio. Gary Winthrop pasti sudah biasa dengan kekonyolan ini, pikir Dana geli. "Segmen Anda masih beberapa menit lagi. Bagaimana kalau Anda duduk di samping saya? Ini Richard Melton." Dua laki-laki itu berjabat tangan. "Anda kenal Jeff Connors, bukan?" "Tentu saja. Kau seharusnya melempar bola di luar sana, Jeff, bukan sekadar membicarakan permainannya." "Seandainya saja saya bisa," kata Jeff muram. Tayangan jarak jauh dari Prancis berakhir dan mereka beralih ke iklan. Gary Winthrop duduk dan mengamati sampai jeda iklan berakhir. Dari bilik kontrol, Anastasia Mann berkata, "Siap. Kita akan menayangkan rekaman." Ia memberi isyarat dengan jari telunjuk. "Tiga... dua... satu..." Gambar pada monitor berubah menjadi gambar bagian luar Georgetown Museum of Art. Seorang komentator berdiri menentang angin dingin sambil memegang mikrofon. "Kita berada di depan Georgetown Museum of Art. Mr. Gary Winthrop sedang berada di dalam, menghadiri upacara penyerahan sumbangan sebesar lima puluh juta dolar untuk museum ini. Mari kita pergi ke dalam sekarang." Adegan di layar beralih ke interior luas museum seni itu. Pejabat-pejabat pemerintah dari berbagai lembaga, tokoh-tokoh terkemuka, dan kru televisi berkerumun di sekeliling Gary Winthrop. Direktur museum itu, Morgan Ormond, menyerahkan piagam besar kepadanya. "Mr. Winthrop, atas nama museum ini, para pengunjung yang datang ke sini. dan pengurus museum, kami ingin mengucapkan terima kasih atas sumbangan yang amat murah hati ini." Lampu kamera berkilatan. Gary Winthrop berkata, "Saya harap ini akan memberikan kesempatan lebih besar pada para pelukis muda Amerika, bukan saja untuk mengekspresikan diri, tetapi juga agar bakat mereka dikenal di seluruh penjuru dunia. Terdengar tepuk tangan dari kerumunan. Pembaca berita dalam rekaman itu berkata, "Di sini Bill Toland di Georgetown Museum of Art. Kita kembali ke studio. Dana?" Lampu merah kamera menyala. 'Terima kasih. Bill. Kita beruntung Mr. Gary Winthrop tengah bersama kita untuk membicarakan tujuan sumbangannya yang amat bernilai." Kamera ditarik mundur untuk memperoleh sudut yang lebih lebar, memperlihatkan Gary Winthrop di studio. Dana berkala, "Sumbangan sebesar lima puluh juta dolar ini, Mr. Winthrop, apakah akan dipergunakan untuk membeli lukisan-lukisan bagi museum?" "Tidak. Dana ini untuk membangun sayap bangunan baru yang akan didedikasikan bagi seniman-seniman muda Amerika sehingga mereka mendapat kesempatan untuk memamerkan apa yang dapat mereka kerjakan. Sebagian dari dana tersebut akan digunakan untuk beasiswa bagi anak-anak kota yang berbakat. Terlalu banyak anak muda yang tumbuh dewasa tanpa tahu apa-apa mengenai seni. Mereka mungkin pernah mendengar tentang pelukis-pelukis impresionis hebat dari Prancis, tetapi saya ingin mereka sadar akan warisan budaya mereka sendiri, mengenal seniman-seniman Amerika seperti Sargent, Homer, dan Remington. Uang ini akan digunakan untuk mendorong para seniman muda agar menyempurnakan bakat mereka dan untuk semua pemuda agar menaruh minat pada seni." Dana berkata, "Ada desas-desus Anda merencanakan untuk mencalonkan diri sebagai anggota Senat, Mr. Winthrop. Apakah itu benar?" Gary Winthrop tersenyum. "Saya sedang melihat-lihat situasi." "Peluangnya tampaknya besar. Menurut beberapa jajak pendapat yang pernah kami lihat, Anda memimpin jauh di depan." Gary Winthrop mengangguk. "Keluarga saya memiliki catatan panjang pengabdian mereka pada pemerintah. Bila saya bisa berguna bagi negara ini, saya akan melakukan apa pun yang harus saya lakukan." 'Terima kasih Anda telah bersama kami, Mr. Winthrop." 'Terima kasih." Saat jeda untuk tayangan iklan, Gary Winthrop mengucapkan selamat tinggal dan meninggalkan studio. Jeff Connors, yang duduk di sebelah Dana, berkata, "Kita butuh lebih banyak orang seperti dia di Kongres." "Amin." "Mungkin kita bisa mengklon dia. Omong-omong-bagaimana kabar Kemal?" Dana meringis. "Jeft"-jangan membicarakan Kemal dan kloning pada saat yang sama. Aku tidak sanggup menghadapinya." "Apakah masalah di sekolah pagi ini sudah beres?" "Ya, tapi itu hari ini. Besok-" Anastasia Mann berkata, "Kita kembali. Tiga... dua... satu..." Lampu merah menyala. Dana memandang ke arah TelePrompTer. "Kini saatnya untuk berita olah raga bersama Jeff Connors." Jeff memandang ke kamera. "Merlin sang Penyihir tidak memperkuat Washington Bullets malam ini. Juwan Howard mencoba sihirnya dan Gheorghe Muresan bersama Rasheed Wallace membantu mengaduk ramuan itu, tetapi ternyata hasilnya pahit, dan mereka akhirnya terpaksa menelannya bersama harga diri mereka..." Pukul 02.00, di rumah mewah Gary Winthrop di daerah elit barat laut Washington, dua laki-laki sedang mencopoti lukisan dari dinding ruang duduk. Salah satunya memakai topeng Lone Ranger, dan yang lain mengenakan topeng Captain Midnite. Mereka bekerja dengan santai, melepaskan lukisan-lukisan itu dari bingkai dan memasukkan jarahan mereka ke karung goni. Si Lone Ranger bertanya, "Pukul berapa patroli lewat lagi?" Captain Midnite menjawab, "Pukul empat pagi." "Untung mereka menepati jadwal, ya?" "Yeah." Si Captain Midnite menurunkan sebuah lukisan dari dinding dan menjatuhkannya ke lantai kayu ek dengan suara keras. Dua laki-laki itu menghentikan apa yang sedang mereka kerjakan dan mendengarkan. Sunyi. Lone Ranger berkata, "Coba lagi. Lebih keras." Captain Midnite menurunkan satu lukisan lagi dan melemparkannya keras-keras ke lantai. "Sekarang coba kita lihat apa yang terjadi." Di kamar tidurnya di lantai atas, Gary Winthrop terjaga karena keributan itu. Ia duduk di ranjang. Apakah ia tadi mendengar suara, atau ia sedang bermimpi? Ia mendengarkan beberapa lama lagi. Hening. Dengan perasaan tak yakin, ia berdiri dan melangkah ke lorong, lalu menekan tombol lampu. Lorong tetap gelap. "Halo. Ada orang di sana?" Tidak ada jawaban. Di bawah, ia menyusuri koridor hingga mencapai pintu ruang duduk. Ia berhenti dan terperangah menatap dua laki-laki bertopeng itu. "Apa yang kalian lakukan di sini?" Lone Ranger berpaling padanya dan berkata, "Hai, Gary. Maaf kami membangunkanmu. Tidurlah kembali." Sepucuk pistol Beretta yang dipasangi peredam muncul di tangannya. Ia menarik pelatuk dua kali dan melihat dada Gary Winthrop meledak menjadi pancuran merah. Si Lone Ranger dan Captain Midnite mengawasinya jatuh ke lantai Dengan puas mereka berbalik dan meneruskan menanggalkan lukisan-lukisan. DUA Dana evans terjaga karena dering telepon yang tak henti-hentinya. Ia bersusah payah duduk dan melihat beker di meja samping ranjang dengan mata mengantuk. Saat itu pukul 05.00. ia mengangkat telepon. "Halo?" "Dana..." "Matt?" "Seberapa cepat kau bisa sampai ke studio?" "Apa yang terjadi?" "Aku akan menerangkannya kalau kau sudah di sini." "Aku berangkat sekarang." Lima belas menit kemudian, setelah berdandan terburu-buru. Dana mengetuk pintu apartemen keluarga Wharton, tetangga sebelahnya. Dorothy Wharton membuka pintu, masih memakai mantel tidur. Ia memandang Dana dengan tatapan khawatir. "Dana, ada apa?" "Maaf mengganggumu, Dorothy, tapi aku baru saja dipanggil ke studio karena masalah darurat. Maukah kau mengantarkan Kemal ke sekolah?" "Tentu saja. Dengan senang hati." "Terima kasih banyak, ia harus tiba di sana pukul delapan kurang seperempat, dan ia perlu sarapan." "Jangan khawatir. Aku akan mengurusnya. Kau berangkat saja." "Terima kasih," kata Dana bersyukur. Abbe Lasmann telah berada di kantornya, tampak mengantuk, "ia sudah menunggumu." Dana memasuki kantor Matt. "Aku mendapat berita mengagetkan," katanya. "Gary Winthrop tewas terbunuh dini hari ini." Dana terduduk di kursi, tertegun. "Apa! Siapa-?" "Rupanya rumahnya dirampok. Ketika ia memergoki para pencuri itu, mereka membunuhnya." "Oh, tidak! Ia begitu baik!" Dana teringat pada keramahan dan kehangatan dermawan tampan itu, dan merasa mual. Matt menggeleng-geleng tak percaya. "Ya Tuhan-ini berarti tragedi yang kelima." Dana kebingungan. "Apa maksudmu, tragedi kelima?" Matt memandangnya heran, lalu tiba-tiba tersadar, 'Tentu saja-waktu itu kau sedang di Sarajevo. Aku rasa di sana, dengan berkecamuknya perang, apa yang menimpa keluarga Winthrop sepanjang tahun lalu tentulah tidak akan jadi berita utama. Aku yakin kau tahu tentang Taylor Winthrop, ayah Gary?" "ia pernah menjadi duta besar kita untuk Rusia. Ia dan istrinya tewas dalam kebakaran tahun lalu." "Benar. Dua bulan sesudahnya, putra sulung mereka, Paul, tewas dalam kecelakaan lalu lintas. Dan enam minggu setelah itu, putri mereka, Julie, tewas karena kecelakaan saat bermain ski." Matt berhenti sejenak. "Dan sekarang, pagi ini, Gary, anggota terakhir keluarga itu." Dana tertegun, tak mampu bersuara. "Dana, keluarga Winthrop adalah legenda. Seandainya negeri ini punya keluarga kerajaan, maka merekalah yang memegang mahkota. Mereka punya kharisma. Mereka terkenal di seluruh dunia karena kedermawanan dan pengabdian mereka pada pemerintah. Gary sedang merencanakan untuk mengikuti jejak ayahnya dan mencalonkan diri untuk Senat, dan ia seharusnya bisa dengan mudah lolos ke sana. Semua orang menyayanginya. Sekarang ia sudah tiada. Dalam waktu kurang dari setahun, salah satu keluarga paling terkemuka di dunia musnah sama sekali." "Aku-aku tidak tahu apa yang harus kukatakan." "Kau sebaiknya mulai memikirkan sesuatu," kata Matt cepat. "Kau akan mengudara dalam dua puluh menit." Berita tewasnya Gary Winthrop menimbulkan gelombang kekagetan di seluruh penjuru dunia. Komentar dari berbagai pimpinan pemerintahan bermunculan di layar televisi seluruh dunia. "Ini seperti tragedi Yunani..." "Sungguh sulit dipercaya..." "Nasib yang ironis..." "Dunia menderita kehilangan yang luar biasa..." "Yang terbaik dan yang paling cemerlang, dan mereka semua telah pergi..." Semua orang seolah hanya membicarakan pembunuhan Gary Winthrop. Gelombang kesedihan menyapu seluruh negeri. Kematian Gary Winthrop membangkitkan kembali kenangan akan kematian-kematian tragis lain dalam keluarganya. "Rasanya seperti tidak nyata," kata Dana pada Jeff "Keluarga itu pasti sangat mengagumkan." "Memang. Gary penggemar olahraga dan suporter hebat" Jeff menggeleng. "Sulit dipercaya bahwa dua pencuri kelas teri telah menghabisi orang luar biasa seperti itu." Ketika tengah mengemudikan mobil ke studio keesokan paginya. Jeff berkata, "Omong-omong, Rachel sedang ada di sini." Omong-omong? Betapa santai. Terlalu santai, pikir Dana. Jeff dulu menikah dengan Rachel Stevens, seorang model top. Dana pernah melihat gambarnya di berbagai iklan televisi dan sampul majalah. Kecantikannya luar biasa. Tapi mungkin ia tidak punya otak, pikir Dana. Di lain pihak, dengan paras dan tubuh seperti itu, ia tidak butuh otak. Dana pernah membicarakan soal Rachel dengan Jeff. "Apa yang terjadi dengan pernikahan kalian?" "Awalnya hebat," Jeff bercerita. "Rachel begitu mendukung. Meskipun benci bisbol, ia biasa datang ke pertandingan untuk menyaksikan aku main. Selain itu, kami punya banyak persamaan." Aku yakin begitu. "Ia benar-benar wanita yang hebat, sama sekali tidak manja, ia suka memasak. Saat pemotretan, Rachel biasa memasak untuk model-model lain." Cara hebat untuk menyingkirkan pesaing. Mereka pasti berjatuhan seperti lalat. "Apa?" "Aku tidak mengatakan apa-apa." "Yah, kami menikah selama lima tahun." "Lalu?" "Rachel sangat berhasil. Ia selalu mendapat pekerjaan, dan pekerjaannya membawanya ke seluruh penjuru dunia. Italia... Inggris... Jamaika... Thailand... Jepang... Tinggal sebut saja. Sementara itu, aku main bisbol di seluruh penjuru negeri. Kami jarang bersama-sama. Sedikit demi sedikit kehangatan itu memudar." Pertanyaan berikut rasanya logis karena Jeff suka anak-anak. "Kenapa tidak ada anak?" Jeff tersenyum tawar 'Tidak baik untuk bentuk tubuh model. Lalu suatu hari Roderick Marshall, salah satu sutradara top Hollywood, mengundangnya. Rachel pergi ke Hollywood." Ia ragu-ragu. Ia meneleponku seminggu kemudian untuk minta cerai, ia merasa kami makin lama makin jauh. Mau tak mau aku setuju. Aku mengabulkan permintaan cerai itu. Tak lama sesudah itu lenganku patah." "Dan kau jadi komentator olahraga. Bagaimana dengan Rachel? Ia tidak berhasil dalam dunia perfilman?" Jeff menggeleng. "Ia tidak sungguh-sungguh tertarik kok. Tetapi kariernya tetap lancar." "Dan kalian masih bersahabat?" Pertanyaan yang penuh arti. "Ya. Malahan, ketika ia meneleponku, aku menceritakan padanya tentang kita. Ia ingin bertemu denganmu." Dana mengernyit. "Jeff, aku kira-" "Ia benar-benar baik. Sayang. Ayo kita makan siang bersama besok. Kau akan menyukainya." "Tentu saja," Dana menyetujui. Tak mungkin, pikir Dana. Tapi tidak ada salahnya sekali-sekali bicara dengan orang berkepala kosong. Si kepala kosong ternyata lebih cantik daripada yang Dana takutkan. Rachel Stevens jangkung dan ramping, dengan rambut pirang panjang dan tebal, kulit kecokelatan mulus, dan raut wajah memesona. Dana langsung membencinya. "Dana Evans, ini Rachel Stevens." Dana menggerutu dalam hati, Tidakkah seharusnya "Rachel Stevens, ini Dana Evans"? Rachel Stevens berkata, "... siaranmu dari Sarajevo kalau bisa. Luar biasa. Kami semua bisa merasakan kesedihanmu dan ikut menanggungnya." Bagaimana cara menanggapi pujian yang tulus? "Terima kasih," kata Dana lirih. "Kalian ingin makan siang di mana?" Jeff bertanya. Rachel mengajukan usul, "Ada restoran hebat bernama Straits of Malaya. Cuma dua blok dari Dupont Circle." Ia menoleh pada Dana dan bertanya, "Apakah kau suka masakan Thai?" Seolah ia peduli saja. "Ya." Jeff tersenyum. "Baiklah. Ayo kita coba." Rachel berkata, "Letaknya hanya beberapa blok dari sini. Bagaimana kalau kita jalan kaki?" Dalam cuaca beku seperti ini? "Baiklah," jawab Dana gagah, ia mungkin pernah berjalan-jalan telanjang bulat di salju. Mereka menuju Dupont Circle. Dana merasa dirinya makin lama makin jelek, ia menyesal telah menerima undangan ini. Restoran itu ternyata penuh. Selusin orang berkumpul di bar, menunggu meja kosong. Sang maitre d' datang menghampiri. "Meja untuk tiga orang." kata Jeff. "Apakah Anda sudah memesan tempat?" "Tidak, tapi kami-" "Maaf, tapi-" Ia mengenali Jeff. "Mr. Connors, senang bertemu Anda." Ia mengalihkan pandangan pada Dana. "Miss Evans, ini suatu kehormatan " Ia sedikit mengerutkan mulut untuk menyatakan penyesalan. "Saya khawatir Anda harus menunggu sebentar." Pandangannya bergeser pada Rachel, dan wajahnya jadi berseri. "Miss Stevens! Saya baca Anda tengah melakukan pemotretan di Cina." 'Tadinya, Somchai. Saya sudah kembali." "Bagus." Ia berpaling pada Dana dan Jeff. "Tentu saja kami punya meja untuk Anda." Ia membawa mereka ke meja di tengah ruangan. Aku benci dia, pikir Dana. Aku betul-betul benci dia. Ketika mereka duduk, Jeff berkata, "Kau tampak hebat, Rachel. Apa pun yang sedang kaulakukan cocok denganmu." Dan kita semua bisa menerkanya. "Selama ini aku banyak bepergian. Kupikir aku akan mulai sedikit bersantai." Ia menatap mata Jeff. "Kau ingat malam ketika kau dan aku-" Dana mengangkat muka dari menu. "Makanan apa udang goreng ini?" Rachel memandang Dana sepintas. "Itu udang berkuah santan. Rasanya lezat sekali." Ia kembali memandang Jeff. "Malam ketika kau dan aku memutuskan kita ingin-" "Kalau laksa?' Rachel berkata sabar, "Itu semacam sup berempah dengan mi." Ia berpaling kembali pada Jeff "Kau mengatakan kau ingin-" "Dan poh pia?" Rachel kembali menoleh pada Dana dan berkata manis, "Itu jicama ditumis dengan sayuran." "Oh ya?" Dana memutuskan untuk tidak menanyakan apa yang disebut jicama itu. Tetapi selama makan siang, Dana heran ketika ternyata ia mulai menyukai Rachel Stevens. Wanita itu memiliki kepribadian yang hangat dan menarik. Tidak seperti kebanyakan wanita-wanita cantik kelas dunia, Rachel tampaknya sama sekali tidak terobsesi dengan penampilan dan tidak menonjolkan egonya Ia cerdas dan pintar bicara, dan ketika ia berbahasa Thai pada pelayan waktu memesan makanan, tak ada sedikit pun nada pongah. Bagaimana Jeff dapat membiarkan istri seperti ini pergi? Dana bertanya-tanya dalam hati. "Berapa lama kau akan berada di Washington?" tanya Dana. "Aku harus pergi besok." "Mau ke mana kau kali ini?" Jeff ingin tahu. Rachel ragu-ragu. "Hawaii. Tapi aku merasa letih sekali, Jeff. Aku bahkan menimbang-nimbang untuk membatalkan yang ini." 'Tapi kau tidak akan melakukannya," kata Jeff paham. Rachel menghela napas. "Ya, aku tidak akan melakukannya." "Kapan kau akan kembali?" Dana bertanya. Rachel memandangnya lama, kemudian berkata lirih, "Aku rasa aku tidak akan kembali ke Washington, Dana. Kudoakan semoga kau dan Jeff berbahagia." Ada pesan tak terucap dalam kata-katanya. Di luar, sesudah makan siang, Dana berkata, "Aku perlu berbelanja sebentar. Kalian berdua teruskanlah mengobrol." Rachel menggenggam tangan Dana. "Aku sangat senang kita bertemu." "Aku juga," kata Dana, dan terkejut ketika menyadari ia mengucapkannya dengan tulus. Dana mengawasi Jeff dan Rachel berjalan. Pasangan yang memesona, pikirnya. Karena sekarang awal bulan Desember, Washington sedang bersiap-siap menghadapi masa liburan. Jalan-jalan di ibu kota itu dihiasi lampu dan karangan bunga Natal, dan hampir di setiap sudut berdiri Sinterklas dari Bala Keselamatan, membunyikan lonceng mereka untuk meminta sumbangan. Trotoar penuh orang yang berbelanja sambil menantang angin dingin. Waktunya sudah tiba, pikir Dana. Aku harus mulai belanja juga. Dana memikirkan orang-orang yang harus dibelikannya hadiah. Ibunya, Kemal, Matt, bosnya, dan, tentu saja, Jeff yang hebat. Dana melompat ke dalam taksi dan menuju Hecht's, salah satu toko serba ada terbesar di Washington. Tempat itu penuh sesak dengan orang-orang yang merayakan semangat Natal dengan menyikut orang lain yang sedang berbelanja agar dapat berjalan * * * Selesai berbelanja, Dana kembali ke apartemen untuk menaruh hadiah-hadiahnya. Apartemen itu terletak di Calvert Street, di daerah pemukiman yang tenang. Dengan penataan menarik, apartemen tersebut terdiri atas satu kamar tidur, satu ruang duduk, satu dapur, satu kamar mandi, dan satu ruang belajar, tempat Kemal tidur. Dana meletakkan hadiah-hadiahnya dalam lemari, memandang sekeliling apartemen kecil itu, dan berpikir riang, Kami harus punya tempat yang lebih besar setelah aku dan Jeff menikah. Ketika ia menghampiri pintu untuk kembali ke studio, telepon berdering. Dana mengangkat bahu, tapi tetap menjawabnya. "Halo." "Dana, sayang." Ternyata dari ibunya. "Halo, Ibu. Aku baru saja hendak pergi-" "Aku dan teman-teman mendengar siaranmu tadi malam. Kau hebat sekali." "Terima kasih." "Meskipun kami pikir kau sebetulnya bisa sedikit mempercerah berita itu." Dana menghela napas. "Mempercerah berita itu?" "Ya. Segala yang kaubicarakan begitu menyesakkan Tidak bisakah kau menemukan topik yang ceria?" "Akan kulihat apa yang bisa kulakukan. Ibu." "Bagus. Omong-omong, aku agak kekurangan uang bulan ini. Apakah kau bisa membantuku lagi?" Ayah Dana sudah bertahun-tahun yang lalu menghilang. Akhirnya ibu Dana pindah ke Las Vegas. Rasanya ia selalu kekurangan uang. Jatah bulanan yang Dana berikan kepada ibunya sepertinya tidak pernah cukup. "Apakah kau berjudi. Ibu?" "Tentu saja tidak," tukas Mrs. Evans marah. Las Vegas kota yang sangat mahal. Omong-omong, kapan kau datang ke sini? Aku ingin bertemu Kimbal. Kau harus membawanya ke sini." "Namanya Kemal, Ibu. Sekarang ini aku belum bisa pergi." Terasa keraguan sesaat di ujung sana. "Belum bisa? Semua temanku mengatakan kau beruntung punya pekerjaan yang cuma butuh waktumu satu atau dua jam sehari." Dana berkata, "Kurasa aku memang beruntung." Sebagai pembawa berita. Dana tiba di studio televisi pukul 09.00 setiap hari dan menghabiskan sebagian besar waktunya untuk melakukan hubungan telepon internasional, mendapatkan berita-berita terbaru dari London, Paris, Italia, dan lokasi-lokasi asing lain. Sisa harinya dipergunakan untuk rapat, menyusun semua berita itu, dan memutuskan apa yang akan disiarkan dan bagaimana urutan pembacaannya. Ia melakukan dua siaran malam. "Sungguh menyenangkan kau punya pekerjaan segampang itu. Sayang." "Terima kasih, Ibu." "Kau akan segera datang dan menjengukku, bukan?" "Ya." "Aku sudah tidak sabar untuk bertemu bocah kecil itu." Baik juga kiranya bagi Kemal untuk bertemu dengannya, pikir Dana. Ia akan punya nenek. Dan sesudah aku dan Jeff menikah nanti, Kemal akan punya keluarga lagi. Sewaktu Dana melangkah ke koridor gedung apartemennya, Mrs. Wharton muncul. "Aku ingin mengucapkan terima kasih karena kau telah mengurus Kemal kemarin, Dorothy. Aku sungguh berterima kasih." 'Tidak apa-apa." Dorothy Wharton dan suaminya, Howard, pindah ke gedung itu setahun yang lalu. Mereka orang Kanada, pasangan setengah baya yang ramah. Howard Wharton adalah insinyur yang bekerja memperbaiki monumen-monumen. Seperti yang pernah dijelaskannya pada Dana saat makan malam, "Tidak ada kota di dunia ini yang lebih baik daripada Washington untuk jenis pekerjaanku. Di mana lagi aku bisa menemukan peluang seperti ini?" Dan ia menjawab pertanyaannya sendiri. 'Tidak ada." "Aku dan Howard sama-sama sangat menyukai Washington," kata Mrs. Wharton. "Kami tidak akan pernah meninggalkannya." * * * Ketika Dana kembali ke kantornya, edisi terbaru Washington Tribune sudah ada di meja kerjanya. Halaman depannya dipenuhi berbagai kisah dan foto keluarga Winthrop. Dana melihat foto-foto itu beberapa lama, pikirannya berputar cepat. Mereka berlima meninggal dunia dalam jangka waktu kurang dari setahun. Luar biasa. Telepon itu ditujukan ke telepon pribadi di menara eksekutif Washington Tribune Enterprises. "Aku baru saja mendapatkan instruksinya." "Bagus. Mereka sudah menunggu. Kau ingin lukisan-lukisan itu diapakan?" "Bakar saja." "Seluruhnya? Lukisan-lukisan itu bernilai jutaan dolar." "Semua sudah berjalan sempurna. Kita tidak boleh ambil risiko. Bakar semuanya sekarang juga." Sekretaris Dana, Olivia Watkins, berbicara di interkom. "Ada telepon untukmu di saluran tiga. Ia sudah dua kali menelepon." "Siapa, Olivia?" "Mr. Henry." Thomas Henry adalah kepala sekolah Theodore Roosevelt Middle School. Dana menggosok kening untuk menyingkirkan sakit kepala yang mulai terasa. Ia mengangkat gagang telepon. "Selamat siang, Mr. Henry." "Selamat siang, Miss Evans. Saya hendak menanyakan apakah Anda bisa datang menemui saya?" "Tentu saja. Satu atau dua jam lagi, saya-" "Saya rasa sebaiknya sekarang juga, kalau bisa." "Saya akan segera ke sana." TIGA Sekolah merupakan siksaan tak tertanggungkan bagi Kemal. ia lebih kecil dibanding anak-anak lain di kelasnya, dan yang memalukan, juga dibandingkan dengan anak-anak perempuan. Ia diolok-olok dengan julukan "si kerdil", "si udang", dan "si teri". Mengenai pelajaran, minat Kemal hanyalah matematika dan komputer, nilainya selalu yang tertinggi. Salah satu bagian pelajaran itu adalah klub catur, dan Kemal mendominasinya. Dulu ia suka sepak bola, tapi ketika ia mencoba bergabung dalam regu sekolah, si pelatih melihat lengan kaus Kemal yang kosong dan berkata "Maaf, kami tidak bisa memakaimu." Meskipun tidak diucapkan dengan kasar, penolakan itu merupakan pukulan yang menghancurkan. Musuh bebuyutan Kemal adalah Ricky Underwood. Saat istirahat beberapa murid makan siang di patio tertutup, bukan di kafeteria. Ricky Underwood menunggu untuk melihat di mana Kemal makan siang dan bergabung dengannya. "Hei, bocah yatim piatu. Kapan ibu tirimu yang jahat akan mengirimmu kembali ke tempat asalmu?" Kemal tak menghiraukannya. "Aku bicara padamu, payah. Kau tentu tidak mimpi ia akan terus memeliharamu, bukan? Semua orang tahu mengapa ia membawamu ke sini, muka unta. Sebab ia wartawati perang kenamaan, dan menyelamatkan anak cacat membuatnya kelihatan baik." "Fukat!" Kemal berteriak. Ia berdiri dan menerjang Ricky. Tinju Ricky mendarat di perut Kemal, kemudian menghantam wajahnya. Kemal jatuh ke tanah, menggeliat kesakitan. Ricky Underwood berkata. "Kapan saja kau mau lagi, beri tahu aku. Dan sebaiknya lakukan secepatnya, sebab kudengar riwayatmu sudah tamat." Kemal hidup dalam keraguan yang menyiksa. Ia tidak percaya apa yang diucapkan Ricky Underwood, tapi... Bagaimana kalau ternyata benar? Bagaimana kalau Dana memang ingin mengirimnya kembali? Ricky betul pikir Kemal. Aku memang payah. Untuk apa orang sehebat Dana menginginkan aku? Kemal tadinya yakin hidupnya sudah berakhir ketika orangtua dan saudara perempuannya tewas di Sarajevo. Ia dikirim ke Orphans Institution di luar Paris, dan kehidupan di sana bagai mimpi buruk. Pada pukul 14.00 setiap Jumat, anak-anak panti asuhan dibariskan sementara para calon orangtua angkat datang untuk mengamati mereka dan memilih satu untuk dibawa pulang. Begitu Jumat datang, semangat dan ketegangan di antara anak-anak melambung hingga ke tingkat yang tak tertahankan. Mereka mandi dan berpakaian rapi, dan sementara orang-orang dewasa memeriksa barisan, setiap anak berdoa dalam hati agar terpilih. Tanpa kecuali, ketika para calon orangtua angkat itu melihat Kemal, mereka berbisik, "Lihat, ia cuma punya satu tangan," dan mereka terus berjalan. Setiap Jumat selalu sama, tetapi Kemal tetap menunggu dengan penuh harap ketika orang-orang dewasa itu memeriksa barisan calon anak angkat. Namun mereka selalu memilih anak lain. Saat berdiri di sana, terabaikan, Kemal merasa sangat terhina Pasti selalu orang lain, pikirnya putus asa. Tak seorang pun menghendaki aku. Kemal sangat ingin menjadi bagian dari suatu keluarga, ia mencoba segala cara yang dapat dipikirkannya untuk membuat keinginannya itu terwujud. Suatu Jumat ia tersenyum cerah pada orang-orang dewasa itu agar mereka tahu ia anak yang ramah dan baik. Jumat berikutnya ia berpura-pura asyik dengan sesuatu, memperlihatkan pada mereka bahwa ia tidak peduli apakah dirinya terpilih atau tidak, dan bahwa mereka beruntung jika mendapatkannya. Pada kesempatan-kesempatan lain, ia memandang mereka dengan sorot mata meminta, memohon tanpa kata pada mereka agar membawanya pulang. Namun minggu demi minggu, selalu saja orang lain yang dipilih dan dibawa pulang ke rumah yang indah dan keluarga yang bahagia. Sungguh suatu mukjizat, Dana mengubah semua itu. Dana-lah yang menemukannya hidup menggelandang di jalanan Sarajevo. Sesudah Kemal diterbangkan Palang Merah ke panti asuhan tersebut, Kemal menulis surat pada Dana. ia terkejut waktu wanita itu menelepon rumah yatim piatu dan mengatakan ingin Kemal Jingga! bersamanya di Amerika. Itu adalah saat paling membahagiakan dalam hidup Kemal. Peristiwa itu bagai mimpi mustahil yang jadi kenyataan, dan ternyata lebih membahagiakan dari yang pernah dibayangkannya. Hidup Kemal berubah seratus persen. Ia kini bersyukur tidak ada yang memilihnya sebelum ini. Ia tidak lagi sendiri di dunia. Ada orang yang memedulikannya, ia menyayangi Dana dengan segenap hati dan jiwa, tapi dalam dirinya selalu ada ketakutan luar biasa yang dibangkitkan Ricky Underwood, bahwa suatu saat Dana akan berubah pikiran dan mengembalikannya ke panti asuhan itu, ke neraka yang telah ditinggalkannya. Berulang kali ia bermimpi: Ia kembali berada di panti asuhan, dan saat itu hari Jumat. Sederet orang dewasa sedang memeriksa anak-anak, dan Dana ada di sana. Ia memandang Kemal dan berkata, Bocah jelek itu cuma punya satu tangan, dan ia melewatinya serta memilih anak di sampingnya. Kemal terbangun sambil bercucuran air mata. Kemal tahu Dana tidak suka ia berkelahi di sekolah, dan ia berusaha keras menghindarinya, tapi ia tidak tahan jika Ricky Underwood atau teman-temannya menghina Dana. Begitu mereka menyadari hal tersebut, hinaan terhadap Dana makin gencar, demikian pula perkelahian-perkelahian itu. Ricky biasa menyapa Kemal dengan mengatakan, "Hei, kau sudah mengemasi kopermu, kerdil? Dalam siaran berita pagi ini, katanya ibu angkatmu yang busuk itu akan mengirimmu kembali ke Yugoslavia." "Zbosti!" Kemal berteriak. Dan perkelahian pun mulai. Kemal pulang dengan mata lebam dan bengkak, tapi bila Dana bertanya apa yang terjadi, ia tidak bisa mengatakan yang sebenarnya, karena ia sangat takut bila ia mengucapkannya, maka apa yang dikatakan Ricky Underwood bakal terjadi. Kini, sewaktu menunggu kedatangan Dana di kantor kepala sekolah, Kemal berpikir, Bila ia mendengar apa yang telah kulakukan kali ini, ia pasti akan mengusirku. Ia duduk dengan perasaan tersiksa, jantungnya berdebar-debar. Ketika Dana memasuki kantor Thomas Henry, sang kepala sekolah sedang mondar-mandir, wajahnya muram. Kemal duduk di kursi di seberang ruangan. "Selamat pagi. Miss Evans. Silakan duduk." Dana melirik Kemal sepintas dan duduk. Thomas Henry mengambil sebilah pisau daging besar dari meja kerjanya. "Salah satu guru Kemal mengambil ini darinya." Dana berputar memandang Kemal, gusar. "Kenapa?" ia bertanya marah. "Mengapa kau membawa-bawa ini ke sekolah?" Kemal menatap Dana dan berkata dengan muka cemberut, "Aku tidak punya senapan." "Kemal!" Dana berpaling pada si kepala sekolah. "Boleh saya bicara dengan Anda sendirian, Mr. Henry?" "Ya." Ia memandang Kemal, rahangnya dikatupkan rapat. "Tunggu di luar." Kemal berdiri, sekali lagi melihat pisaunya, dan berlalu. Dana mulai bicara, "Mr. Henry, Kemal baru dua belas tahun. Selama bertahun-tahun ia harus tidur dengan suara ledakan bom di telinga, bom an juga telah membunuh ibu, ayah, dan saudara perempuannya. Salah satu bom itu merenggut tangannya. Waktu saya menemukan Kemal di Sarajevo, ia tinggal di kardus di lapangan kosong. Ada seratus anak lain yang tak lagi memiliki rumah dan hidup seperti binatang." Ia mengingat kengerian itu, berusaha agar suaranya tidak bergetar. "Bom-bom itu sudah berhenti meledak, tapi anak-anak itu masih tetap tidak punya rumah dan tak berdaya. Satu-satunya cara mereka mempertahankan diri dari musuh adalah dengan menggunakan pisau atau batu atau senjata api, kalau mereka cukup beruntung mendapatkannya." Dana memejamkan mata sebentar dan menarik napas dalam. "Anak-anak itu ketakutan. Kemal ketakutan, tapi ia anak yang baik. Ia hanya perlu memahami bahwa ia aman di sini. Kita bukan musuhnya. Saya berjanji pada Anda ia tidak akan melakukan hal ini lagi." Mereka lama terdiam. Ketika Thomas Henry berbicara, ia berkata, "Kalau saya sampai butuh pengacara, Miss Evans, saya ingin Anda yang jadi pembela saya." Dana tersenyum lega. "Saya janji." Thomas Henry menghela napas. "Baiklah. Bicaralah dengan Kemal. Kalau ia sampai melakukan hal seperti ini lagi, saya khawatir saya harus-" "Saya akan bicara dengannya. Terima kasih, Mr. Henry." Kemal menunggu di koridor. "Ayo pulang," kata Dana pendek. "Apakah mereka menyimpan pisauku?" Dana tak mau menjawab. Dalam perjalanan pulang, Kemal berkata, "Maafkan aku karena telah menyusahkanmu, Dana." "Oh, bukan masalah. Mereka memutuskan untuk tidak mendepakmu dari sekolah. Dengar, Kemal-" "Oke. Tidak ada lagi pisau." Sesampainya mereka di apartemen, Dana berkata, "Aku harus kembali ke studio. Pengasuh akan ke sini sebentar lagi. Malam ini kau dan aku harus bicara panjang lebar." Ketika siaran malam selesai, Jeff berpaling pada Dana. "Kau kelihatan khawatir, Sayang." "Memang. Karena Kemal Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan dengannya, Jeff. Hari ini aku harus menemui kepala sekolahnya lagi, dan sudah dua pembantu rumah tangga berhenti gara-gara dia." "ia anak yang hebat," kata Jeff. "Ia cuma butuh waktu." "Mungkin. Jeff?" "Ya?" "Kuharap aku tidak melakukan kesalahan besar dengan membawanya ke sini." Waktu Dana kembali ke apartemen, Kemal sudah menunggu. Dana berkata, "Duduklah. Kita harus bicara. Kau harus mulai mematuhi peraturan, dan perkelahian di sekolah harus dihentikan. Aku tahu anak-anak lain memang menyulitkanmu, tapi kau harus bisa saling memahami dengan mereka. Kalau kau terus terpancing berkelahi, Mr. Henry akan menge-luarkanmu dari sekolah." "Aku tidak peduli." "Kau harus peduli. Aku ingin kau punya masa depan yang baik, itu tidak bisa terwujud tanpa pendidikan. Mr. Henry memberimu kelonggaran, tapi-" "Persetan dengannya." "Kemal!" Tanpa berpikir. Dana menampar wa-jahnya. Seketika itu juga ia menyesal. Kemal menatapnya, tertegun. Ia berdiri, berlari masuk ruang belajar, dan membanting pintu hingga menutup. Telepon berdering. Dana mengangkatnya. Dari Jeff. "Dana-" "Sayang, aku-aku tidak bisa bicara sekarang. Perasaanku terlalu kacau." "Ada apa?" "Kemal. Ia sangat menjengkelkan." "Dana..." "Ya?" "Coba berada pada posisinya." "Apa?" "Pikirkanlah. Maaf, aku ada tenggat. Aku sayang padamu, dan kita akan bicara lagi nanti." Berada pada posisinya? Itu tidak masuk akal, pikir Dana. Bagaimana aku bisa tahu apa yang Kemal rasakan? Aku bukan yatim piatu korban perang berumur dua belas tahun yang bertangan satu, dan aku tidak pernah mengalami apa yang pernah dialaminya. Dana duduk berlama-lama sambil berpikir. Berada pada posisinya. ia berdiri, pergi ke kamar tidur, menutup pintu, dan membuka pintu lemari pakaian. Sebelum Kemal datang, Jeff sering menginap beberapa malam seminggu di apartemen ini dan meninggalkan beberapa pakaiannya. Di dalam lemari ada beberapa celana panjang, kemeja dan dasi, sweter, dan jaket sport. Dana mengeluarkan beberapa polong pakaian dan meletakkannya di ranjang, ia pergi ke laci dan mengambil celana dalam dan kaus kaki Jeff. Kemudian Dana menanggalkan seluruh pakaian. Dengan tangan kiri ia mengambil celana dalam milik Jeff dan mencoba mengenakannya. Ia kehilangan keseimbangan dan jatuh. Setelah dua kali mencoba barulah ia bisa memakainya. Selanjutnya, ia mengambil salah satu kemeja Jeff. Karena hanya menggunakan tangan kiri, ia butuh tiga menit yang mengesalkan untuk memakai dan mengancing-kannya. Ia harus duduk di ranjang untuk mengenakan celana panjang, dan sulit sekali menutup rit-sletingnya. Butuh dua menit lagi untuk mengenakan sweter Jeff. Ketika akhirnya selesai berpakaian, Dana duduk untuk menenangkan napas. Itulah yang harus dilakukan Kemal setiap pagi. Dan itu baru permulaan. Ia harus mandi, menggosok gigi. dan menyisir rambut. Dan itu sekarang. Bagaimana dulu? Hidup di tengah kengerian perang, menyaksikan ibu, ayah, saudara perempuan, dan teman-temannya tewas. Jeff benar, pikirnya. Aku berharap terlalu banyak dan terlalu cepat, ia butuh waktu untuk menyesuaikan diri. Aku tidak boleh menyerah dengannya. Ayahku meninggalkan aku dan ibuku, dan aku tidak pernah benar-benar memaafkan perbuatannya. Seharusnya ada suruhan ketiga belas: Jangan tinggalkan orang-orang yang menyayangimu. Perlahan-lahan, sambil mengenakan pakaiannya sendiri, ia memikirkan lirik lagu-lagu yang berulang kali didengarkan Kemal. CD Britney Spears, Backstreet Boys, Limp Bizkit. "Dont want to lose you", "I need you tonight", "As long as you love me", "I just want to be with you", I need love". Semua lirik itu tentang kesepian dan kerinduan. Dana mengambil kartu rapor Kemal. Memang benar ia gagal pada hampir semua mata pelajaran, tetapi ia memperoleh nilai A untuk matematika. Nilai A itulah yang penting, pikir Dana. Di pelajaran itulah Kemal menonjol. Di situlah ia memiliki masa depan. Kami akan berusaha memperbaiki nilai-nilai lainnya. Saat Dana membuka pintu ruang belajar, Kemal sudah berbaring di ranjang, matanya terpejam rapat dan wajahnya yang pucat basah dengan air mata. Dana memandanginya sesaat, lalu membungkuk dan mencium pipinya. "Aku minta maaf, Kemal," ia berbisik. "Maafkan aku." Besok akan lebih baik. Pagi-pagi keesokan harinya. Dana membawa Kemal ke dokter ortopedi terkemuka, dr. William Wilcox. Sesudah melakukan pemeriksaan, dr. Wilcox berbicara empat mata dengan Dana. "Miss Evans, untuk memasang prostese perlu biaya dua puluh ribu dolar dan di sinilah letak persoalannya. Kemal baru berumur dua belas tahun. Tubuhnya akan terus tumbuh sampai ia mencapai usia tujuh belas atau delapan belas tahun. Setiap beberapa bulan, tubuhnya bisa tumbuh lebih besar dari prostese itu. Saya khawatir, secara finansial, hal ini tidak praktis." Semangat Dana nyaris padam. "Saya mengerti. Terima kasih, Dokter." Di luar. Dana berkata pada Kemal, "Jangan khawatir, Sayang. Kita akan temukan cara lain." Dana mengantar Kemal ke sekolah, kemudian berangkat ke studio. Enam blok dari sekolah, telepon genggamnya berbunyi, ia mengangkatnya. "Halo?" "Ini Matt. Siang ini di markas besar kepolisian akan diadakan konferensi pers mengenai pembunuhan Winthrop. Aku ingin kau meliputnya. Aku akan mengirimkan kru kamera. Polisi benar-benar kerepotan. Berita ini semakin besar setiap menit, dan polisi tidak punya petunjuk apa pun." "Aku akan ke sana, Matt." Kepala Polisi Dan Burnett sedang berbicara di telepon di kantornya ketika sekretarisnya berkata, "Walikota di saluran dua." Burnett membentak, "Katakan padanya aku sedang bicara dengan Gubernur di saluran satu." Ia kembali berbicara ke telepon. "Ya, Gubernur. Saya tahu bahwa... Ya, Sir. Menurut saya... saya yakin kami bisa... Segera sesudah kami... Benar. Sampai nanti, Sir." Ia membanting telepon. "Sekretaris pers Gedung Putih di saluran empat."" Seperti itulah sepanjang pagi. Tengah hari, ruang konferensi di Municipal Center yang terletak di Indiana Avenue nomor 300, pusat kota Washington, penuh sesak dengan orang-orang dari media massa. Kepala Polisi Burnett masuk dan berjalan ke depan ruangan. "Semua harap tenang." ia menunggu sampai suasana hening. "Sebelum menerima pertanyaan-pertanyaan kalian, saya akan memberikan pernyataan. Pembunuhan biadab atas Gary Winthrop merupakan kehilangan besar bukan saja bagi masyarakat ini, tetapi juga bagi dunia, dan penyelidikan akan terus kami lakukan sampai kami menangkap pihak-pihak yang bertanggung jawab atas kejahatan besar ini. Saya sekarang akan menerima pertanyaan Anda sekalian." Seorang reporter berdiri. "Chief Burnett, apakah pihak kepolisian sudah punya petunjuk?" "Sekitar pukul tiga pagi, seorang saksi melihat dua laki-laki memasukkan barang ke van putih di halaman rumah Gary Winthrop. Tindak-tanduk mereka tampak mencurigakan, dan ia mencatat nomor pelat kendaraan itu. Pelat itu berasal dari truk curian." "Apakah polisi tahu apa yang diambil dari rumah itu?' "Dua belas lukisan berharga hilang." "Selain lukisan, apakah ada barang lain yang dicuri?" "Tidak." "Bagaimana dengan uang tunai dan perhiasan?" "Perhiasan dan uang tunai di rumah itu tidak disentuh. Maling-maling itu hanya mengincar lukisan." "Chief Burnett, apakah tidak ada sistem alarm di rumah itu, dan kalau ada, apakah tidak dihidupkan?" "Menurut pengurus rumah tangganya, sistem alarm itu selalu dinyalakan di waktu malam. Pencuri-pencuri itu menemukan cara untuk mengatasinya. Kami belum tahu pasti bagaimana caranya." "Bagaimana pencuri-pencuri itu masuk ke rumah?" Chuef Burnett ragu-ragu. "Itu pertanyaan yang menarik. Tidak ada tanda-tanda pengrusakan. Kami belum punya jawaban untuk pertanyaan itu." "Mungkinkah ada hubungannya dengan orang dalam?" "Saya rasa tidak. Staf Gary Winthrop sudah bertahun-tahun bekerja padanya." "Apakah Gary Winthrop sendirian di rumah itu?" "Sejauh yang saya ketahui, ya. Stafnya sedang libur." Dana berseru, "Apakah Anda punya daftar lukisan yang dicuri?" "Ya. Semua lukisan terkenal. Daftar itu sudah diedarkan ke berbagai museum, pedagang barang seni, dan kolektor. Begitu salah satu lukisan itu muncul, kasus ini akan terpecahkan." Dana duduk, bertanya-tanya bingung. Para pembunuh itu pasti menyadari hal itu, jadi mereka tidak akan berani menjual lukisan-lukisan tersebut. Lalu untuk apa mereka mencurinya? Dan melakukan pembunuhan? Dan mengapa mereka tidak mengambil uang dan perhiasan? Ada yang tidak beres. Upacara pemakaman Gary Winthrop diadakan di National Cathedral, katedral keenam terbesar di dunia. Wisconsin dan Massachusetts Avenue ditutup. Agen-agen Secret Service dan polisi Washington dikerahkan besar-besaran. Di dalam katedral itu, menunggu upacara dimulai, ada wakil presiden Amerika Serikat, selusin senator dan anggota Kongres, seorang Hakim Agung, dua anggota kabinet, dan sejumlah tokoh terkemuka dari seluruh penjuru dunia. Helikopter-helikopter kepolisian dan pers berseliweran di langit. Di jalan sudah ada ratusan penonton yang datang untuk menyampaikan penghormatan atau melihat para selebriti. Orang-orang bukan memberikan penghormatan untuk Gary saja, tetapi untuk seluruh dinasti Winthrop yang bernasib malang. Dana meliput upacara itu bersama dua kru kamera. Di dalam, katedral hening. "Tuhan bertindak dengan cara-cara yang misterius," sang pendeta berkata. "Keluarga Winthrop mengabdikan hidup mereka untuk membangun harapan. Mereka menyumbangkan milyaran dolar untuk sekolah, gereja, dan kaum papa serta kelaparan. Mereka juga menyumbangkan waktu dan bakat mereka. Gary Winthrop meneruskan tradisi keluarga besar ini. Mengapa keluarga ini, dengan segala prestasi dan kemurahan hati mereka, direnggut dari kita dengan cara yang demikian keji, sama sekali di luar batas pemahaman kita. Di satu segi, mereka sesungguhnya tidak benar-benar tiada, karena warisan mereka akan hidup selamanya. Apa yang telah mereka lakukan bagi kita akan terus membuat kita bangga..." Tuhan seharusnya tidak membiarkan orang-orang seperti itu meninggal dengan cara yang demikian mengerikan, pikir Dana sedih. Ibu Dana menelepon. "Aku dan teman-teman menyaksikan kau meliput upacara pemakaman itu. Dana. Ketika kau bicara tentang keluarga Winthrop tadi, aku sempat mengira kau akan menangis." "Aku pun mengira begitu. Ibu. Aku juga." Malam itu Dana sulit tidur. Ketika akhirnya ia pulas, mimpinya merupakan kaleidoskop gila berisi kebakaran, kecelakaan mobil, dan penembakan. Tengah malam, ia mendadak terbangun dan duduk. Lima anggota keluarga yang sama tewas terbunuh kurang dari setahun? Seberapa mungkinnya peristiwa seperti itu terjadi? EMPAT "Apa sebenarnya yang ingin kaukatakan, Dana?" "Matt, aku ingin mengatakan bahwa lima ke-matian keji yang menimpa sebuah keluarga dalam kurun waktu kurang dari setahun tidak mungkin sekadar kebetulan." "Dana, seandainya tidak mengenalmu dengan baik. aku tentu sudah menelepon psikiater dan mengatakan ada Chicken Little di kantorku, mengatakan langit akan runtuh. Kaupikir kita berhadapan dengan semacam konspirasi? Siapa di belakangnya? Fidel Castro? CIA? Oliver Stone? Aduh, tidak tahukah kau bahwa tiap kali ada orang penting terbunuh, selalu ada seratus teori konspirasi yang berlainan? Minggu lalu orang datang kemari dan mengatakan ia bisa membuktikan Lyndon Johnson membunuh Abraham Lincoln. Washington selalu penuh dengan teori konspirasi." "Matt, kita sedang menyiapkan Crime Line. Kau mau mulai dengan berita yang menggegerkan? Yah, kalau aku tidak keliru, ini memenuhi syarat." Matt Baker mengamatinya beberapa saat. "Kau menyia-nyiakan waktumu." "Terima kasih. Matt." Ruang arsip Washington Tribune berada di lantai bawah tanah gedung, dipenuhi ribuan rekaman siaran berita, semua dikatalogkan dengan rapi. Laura Lee Hill, wanita menarik berambut cokelat yang berusia empat puluhan, duduk di belakang meja kerja sambil mengkatalogkan pita rekaman. Ia mendongak ketika Dana masuk. "Hai, Dana. Aku menonton liputan upacara pemakaman itu. Menurutku liputanmu itu sangat hebat." "Terima kasih." "Tragedi yang mengerikan, ya?" "Ya," jawab Dana. 'Tidak ada yang bisa meramal nasib," kata Laura Lee Hill muram "Yah-apa yang bisa kulakukan untukmu?" "Aku ingin melihat beberapa rekaman tentang keluarga Winthrop." "Kau ingin rekaman tertentu?" "Tidak. Aku cuma ingin tahu seperti apa keluarga itu." "Aku bisa memberitahumu seperti apa mereka. Mereka seperti santo." "Begitulah yang selalu kudengar," kata Dana. Laura Lee Hill berdiri. "Kuharap kau punya banyak waktu, Sayang. Kita punya banyak sekali liputan tentang mereka." "Bagus. Aku tidak buru-buru " Laura Lee membawa Dana ke meja yang dilengkapi monitor televisi. "Aku akan segera kembali," katanya. Ia kembali lima menit kemudian dengan tangan penuh pita rekaman. "Kau bisa mulai dengan yang ini," katanya. "Masih ada banyak lagi." Dana memandang tumpukan kaset itu dan berpikir, Mungkin aku memang Chicken Little. Tapi kalau aku benar... Dana memasukkan sebuah kaset, dan gambar seorang laki-laki tampan memesona muncul di layar. Raut mukanya keras dan tegas. Ia memiliki rambut hitam, mata biru jernih, dan dagu kokoh. Di sebelahnya ada seorang anak laki-laki. Seorang komentator berkata, 'Taylor Winthrop baru saja menambah satu lagi perkemahan di alam terbuka dari beberapa perkemahan yang sudah dibangunnya untuk anak-anak kurang mampu. Putranya Paul di sini bersamanya, siap untuk ikut bergembira. Ini perkemahan kesepuluh yang dibangun Taylor Winthrop. Ia merencanakan membangun sedikitnya selusin lagi." Dana menekan satu tombol dan gambar pun berganti. Taylor Winthrop yang tampak lebih tua, dengan uban di sana-sini, sedang berjabat tangan dengan beberapa tokoh. "... baru saja mengkonfir-masikan penunjukannya sebagai konsultan NATO. Taylor Winthrop akan berangkat ke Brussel dua minggu lagi untuk..." Dana mengganti kaset. Gambar memperlihatkan halaman depan Gedung Putih. Taylor Winthrop sedang berdiri di samping Presiden, yang berkata. "... dan saya menugaskannya untuk memimpin FRA, Badan Riset Federal. Lembaga ini didirikan untuk membantu negara-negara berkembang di seluruh penjuru dunia, dan saya tidak bisa memikirkan orang lain yang lebih berbobot daripada Taylor Winthrop untuk memimpin organisasi itu..." Monitor menampakkan gambar selanjutnya, bandara Leonardo da Vinci di Roma. Tampak Taylor Winthrop sedang turun dari pesawat. "Beberapa kepala negara hadir di sini untuk menyambut Taylor Winthrop saat ia tiba untuk menegosiasikan kesepakatan perdagangan antara Italia dan Amerika Serikat. Fakta bahwa Mr. Winthrop dipilih Presiden untuk menangani negosiasi ini menunjukkan betapa penting " Orang ini melakukan segalanya, pikir Dana. Ia mengganti kaset lagi. Taylor Winthrop berada di istana kepresidenan di Paris, bersalaman dengan presiden Prancis. "Suatu perjanjian kerja sama perdagangan penting dengan Prancis baru saja diselesaikan oleh Taylor Winthrop..." Satu kaset lain. Istri Taylor Winthrop, Madeline, di depan sebuah bangunan bersama sekelompok anak-anak, laki-laki dan perempuan. "Madeline Winthrop hari ini mempersembahkan sebuah pusat perawatan baru bagi anak-anak yang mengalami penganiayaan, dan-" Ada satu kaset berisi gambar anak-anak keluarga Winthrop sedang bermain di tanah pertanian mereka di Manchester, Vermont. Dana memasukkan kaset berikutnya. Taylor Winthrop di Gedung Putih. Di latar belakang tampak istrinya, dua putranya yang tampan, Gary dan Paul, serta putrinya yang cantik, Julie. Presiden sedang menganugerahkan bintang kehormatan Medal of Freedom kepada Taylor Winthrop. "... dan untuk pengabdiannya tanpa memikirkan diri sendiri pada negara ini dan untuk semua prestasinya yang luar biasa, saya menganugerahi Taylor Winthrop dengan tanda penghargaan sipil tertinggi yang bisa kami berikan-Medal of Freedom." Ada kaset berisi gambar Julie sedang bermain ski.... Gary menyumbangkan dana pada yayasan untuk * membantu seniman-seniman muda.... Ruang Oval lagi. Pers meliput besar-besaran. Taylor Winthrop dengan rambut yang sudah kelabu dan istrinya berdiri di samping Presiden. "Saya baru saja mengangkat Taylor Winthrop sebagai duta besar baru kita untuk Rusia. Saya tahu kalian semua sudah mengetahui berbagai pengabdian Mr Winthrop bagi negara ini, dan saya gembira ia setuju untuk menerima penugasan ini, bukannya melewatkan hari-harinya dengan bermain golf." Orang-orang pers tertawa. Taylor Winthrop menanggapi, "Anda belum pernah menyaksikan permainan golf saya, Mr. President." Tertawa lagi.... Kemudian datang serangkaian bencana. Dana memasukkan kaset baru. Pemandangan di luar sebuah rumah yang terbakar habis di Aspen, Colorado. Seorang reporter wanita menunjuk rumah yang sudah runtuh itu. "Kepala kepolisian Aspen sudah mengkonfirmasikan bahwa Duta Besar Winthrop dan istrinya, Madeline, tewas dalam bencana kebakaran ini. Dinas pemadam kebakaran dipanggil dini hari ini dan dalam lima belas menit tiba di tempat kejadian, tetapi sudah terlambat untuk menyelamatkan mereka. Menurut Chief Nagel, kebakaran itu disebabkan masalah listrik. Duta Besar dan Mrs. Winthrop dikenal luas di seluruh dunia karena kedermawanan dan dedikasi mereka pada pemerintah." Dana memasukkan kaset lain. Tampak Grand Corniche di Riviera Prancis. Seorang reporter berkata, "Di tikungan inilah mobil Paul Winthrop tergelincir dari jalan dan terjerumus ke jurang. Menurut kantor pemeriksa jenazah, ia tewas seketika akibat benturan itu. Tidak ada penumpang lain. Polisi sedang menyelidiki penyebab kecelakaan. Ironi yang menyedihkan adalah baru dua bulan yang lalu ibu dan ayah Paul Winthrop juga tewas dalam kebakaran di rumah mereka di Aspen, Colorado." Dana meraih satu kaset lain. Sebuah jalur ski di pegunungan Juneau, Alaska. Seorang pembawa berita dalam pakaian tebal berbicara, "... dan di sinilah kecelakaan ski yang tragis itu terjadi kemarin malam. Pihak yang berwajib tidak tahu mengapa Julie Winthrop, pemain ski yang hebat, bermain ski seorang diri di malam hari di jalur ini, yang sebenarnya sudah ditutup, tetapi mereka sedang menyelidikinya. Pada bulan September, hanya enam minggu yang lalu, saudara laki-laki Julie, Paul, tewas dalam kecelakaan mobil di Prancis dan pada bulan Juli tahun ini, orangtuanya. Duta Besar Taylor Winthrop serta istrinya, tewas dalam kebakaran. Presiden sudah menyampaikan ucapan belasungkawa." Kaset selanjutnya. Rumah Gary Winthrop di bagian barat laut Washington, D.C. Reporter berkerumun di luar rumah besar tersebut. Di depan rumah, seorang pembawa berita berkata, "Dalam peristiwa yang amat tragis dan mengejutkan, Gary Winthrop, anggota terakhir keluarga Winthrop. tewas ditembak pencuri. Pagi ini satpam melihat lampu alarm padam, masuk ke dalam rumah, dan menemukan jenazah Mr. Winthrop. Ia ditembak dua kali. Tampaknya pencuri-pencuri itu sedang mengambil lukisan-lukisan berharga dan tepergok Gary Winthrop adalah anggota kelima dan terakhir keluarga ini yang tewas karena kekerasan tahun ini." Dana mematikan televisi dan duduk beberapa lama. Siapakah yang ingin menyapu habis keluarga hebat seperti itu? Siapa? Mengapa? Dana membuat janji pertemuan dengan Senator Perry Leff di Hart Senate Office Building. Leff berusia lima puluhan, pria yang serius dan penuh semangat Ia berdiri ketika Dana diantar masuk. "Apa yang bisa saya lakukan untuk Anda, Miss Evans?" "Saya tahu Anda pernah bekerja erat dengan Taylor Winthrop, Senator?" "Ya. Kami diangkat Presiden untuk bertugas pada beberapa komite." "Saya tahu citranya di mata masyarakat bagus sekali, Senator Leff, tapi bagaimanakah ia sebagai pribadi?" Senator Leff mengamati Dana sesaat. "Dengan senang hati akan saya katakan pada Anda. Taylor Winthrop adalah salah satu orang terhebat yang pernah saya jumpai. Yang paling luar biasa pada dirinya adalah caranya bergaul dengan orang. Ia benar-benar peduli. Ia berusaha keras membuat dunia ini menjadi lebih baik. Saya akan selalu kehilangan dia. dan kejadian yang menimpa keluarganya sangat mengerikan." Dana berbicara dengan Nancy Patchin, salah satu sekretaris Taylor Winthrop, wanita berusia enam puluhan, dengan wajah yang sudah keriput dan mata sedih. "Anda lama bekerja pada Mr. Winthrop?" "Lima belas tahun." "Selama periode itu, saya rasa Anda jadi mengenal Mr. Winthrop dengan baik." "Ya, tentu saja." Dana berkata, "Saya mencoba mendapatkan gambaran tentang orang macam apakah ia sebenarnya. Apakah ia-" Nancy Patchin menyela. "Bisa saya ceritakan dengan tepat orang seperti apa ia, Miss Evans. Ketika ia mengetahui anak laki-laki saya menderita penyakit Lou Gehrig, Taylor Winthrop membawanya ke dokter-dokternya sendiri dan membayar semua biaya perawatan medisnya. Ketika putra saya meninggal, Mr. Winthrop membayar seluruh biaya pemakaman dan mengirim saya ke Eropa untuk memulihkan diri." Matanya berkaca-kaca. "Ia orang paling hebat, paling murah hati yang pernah saya kenal." Dana membuat janji pertemuan dengan Jenderal Victor Booster, direktur FRA, Badan Riset Federal, yang pernah dikepalai Taylor Winthrop. Tadinya Booster menolak berbicara dengan Dana, tapi ketika mengetahui siapa yang hendak dibicarakan Dana, ia setuju untuk menemuinya. Pagi hari menjelang siang. Dana mengemudikan mobil menuju Badan Riset Federal, di dekat Fort Mead, Maryland. Kantor pusat lembaga itu terletak di lahan seluas delapan puluh dua ekar yang dijaga ketat. Sama sekali tidak tampak tanda-tanda beberapa parabola satelit yang tersembunyi di balik pepohonan. Dana menyetir sampai pagar setinggi 2,5 yang bagian atasnya dilapisi kawat duri. Ia memberitahukan namanya dan memperlihatkan SIM pada penjaga bersenjata di gardu dan dipersilakan masuk. Satu menit kemudian ia sampai di gerbang listrik tertutup yang dilengkapi kamera pengamat. Sekali lagi ia menyebutkan nama dan gerbang itu otomatis membuka. Ia menyusuri jalan masuk ke gedung administrasi besar berwarna putih. Seorang pria berpakaian sipil menemui Dana di luar. "Saya akan mengantar Anda ke kantor Jenderal Booster, Miss Evans." Mereka naik lift khusus ke lantai lima dan menyusuri koridor panjang ke suite perkantoran di ujung lorong. Mereka memasuki ruang penerimaan tamu yang luas dan berisi dua meja sekretaris. Salah satu sekretaris itu berkata, "Jenderal sudah menunggu Anda, Miss Evans. Silakan masuk." Ia menekan sebuah tombol dan pintu ke kantor dalam berdetak membuka. Dana berada di kantor luas, dengan langit-langit dan dinding kedap suara. Ia disambut laki-laki menarik berperawakan tinggi, ramping, berusia empat puluhan. Ia mengangsurkan tangan pada Dana dan berkata ramah, "Saya Mayor Jack Stone. Saya ajudan Jenderal Booster." ia memberi tanda ke arah laki-laki yang duduk di belakang meja tulis. "Ini Jenderal Booster." Victor Booster orang Afrika-Amerika, dengan wajah keras dan mata tajam. Kepalanya yang gundul berkilau di bawah lampu langit-langit. "Duduklah," katanya. Suaranya dalam dan berat. Dana duduk. "Terima kasih atas kesediaan Anda menemui saya. Jenderal." "Anda mengatakan ini mengenai Taylor Winthrop?" "Ya. Saya ingin-" "Apakah Anda sedang menggarap berita mengenai dia, Miss Evans?" "Well, saya " Suaranya mengeras. "Tidak bisakah kalian, para wartawan, membiarkan yang sudah meninggal beristirahat dengan tenang? Kalian segerombolan coyote yang menggerogoti bangkai." Dana terperangah. Jack Stone tampak jengah. Dana mengendalikan amarahnya. "Jenderal Booster, saya pastikan pada Anda saya tidak tertarik untuk membongkar-bongkar kesalahan. Saya tahu legenda tentang Taylor Winthrop. Saya mencoba mendapatkan gambaran tentang laki-laki itu sendiri. Apa pun yang bisa Anda ceritakan pada saya akan sangat saya hargai." Jenderal Booster mencondongkan badan ke depan. "Saya tidak tahu apa sebenarnya yang Anda cari, tapi saya bisa mengatakan satu hal pada Anda. Legenda itulah ia sebenarnya. Ketika Taylor Winthrop memimpin FRA, saya bekerja di bawahnya. Ia direktur terbaik yang pernah dimiliki organisasi ini. Semua orang mengaguminya. Apa yang terjadi padanya dan keluarganya merupakan tragedi yang sama sekali tidak bisa saya pahami." Wajahnya kaku. "Terus terang, saya tidak suka pers. Miss Evans. Menurut saya, kalian sudah tak terkendali. Saya menyaksikan liputan Anda di Sarajevo. Siaran berita Anda yang penuh perasaan dan berbunga-bunga sama sekali tidak membantu kami." Dana mencoba sekuat tenaga mengendalikan amarah. "Saya ke sana bukan untuk membantu Anda, Jenderal. Saya berada di sana untuk melaporkan apa yang terjadi pada orang-orang tak berdosa-" 'Terserahlah. Sebagai informasi untuk Anda, Taylor Winthrop adalah salah satu negarawan besar yang pernah dimiliki negeri ini." Matanya menatap mata Dana. "Bila Anda berniat menghancurkan kenangan atas dirinya, Anda akan dapati diri Anda berhadapan dengan banyak musuh. Saya nasihati. Anda. Jangan mencari-cari masalah, atau Anda akan menemukannya. Itu janji saya. Saya peringatkan Anda agar menyingkir. Selamat tinggal, Miss Evans." Dana menatapnya sesaat, lalu berdiri. "Terima kasih banyak, Jenderal." Ia berjalan cepat keluar kantor. Jack Stone bergegas menyusulnya. "Saya antar Anda keluar." Di dalam koridor, Dana menarik napas dalam dan berkata marah, "Apakah ia selalu seperti itu?" Jack Stone menghela napas. "Saya minta maaf. Ia memang bisa agak ketus. Tapi ia sama sekali tidak bermaksud begitu." Dana berkata tegang, "Benarkah? Saya punya perasaan ia sungguh-sungguh." "Bagaimanapun juga, saya minta maaf," kata Jackston. Ia hendak berbalik. Dana menyentuh lengannya. 'Tunggu. Saya ingin bicara dengan Anda. Sekarang pukul dua belas. Bisakah kita makan siang bersama di suatu tempat?" Jack Stone melirik pintu kantor sang jenderal. "Baiklah. Sholl's Colonial Cafeteria di K Street satu jam lagi?" "Bagus. Terima kasih." "Jangan buru-buru berterima kasih, Miss Evans." Dana sudah menunggu ketika ia melangkah masuk ke kafeteria yang setengah kosong itu. Jack Stone berdiri di ambang pintu beberapa saat untuk memastikan tidak ada orang yang dikenalnya di dalam restoran itu, lalu ia bergabung dengan Dana. "Jenderal Booster pasti akan memarahi saya kalau ia tahu saya bicara dengan Anda. Ia orang baik. Ia menangani pekerjaan yang berat, sensitif, dan ia sangat cakap mengerjakannya." Jack Stone ragu-ragu. "Saya rasa ia tidak menyukai pers." "Saya tahu itu," kata Dana kering. "Saya harus menjelaskan sesuatu kepada Anda, Miss Evans. Percakapan ini sama sekali off the record." "Saya mengerti." Mereka mengambil nampan dan memilih makanan. Ketika mereka duduk kembali, Jack Stone berkata, "Saya tidak ingin Anda mendapatkan kesan yang keliru mengenai organisasi kami. Kami adalah orang-orang baik. Itulah sebabnya kami terlibat di sini. Kami bekerja untuk membantu negara-negara sedang berkembang." "Saya menghargai itu," kata Dana "Apakah yang bisa saya ceritakan pada Anda tentang Taylor Winthrop?" Dana berkata, "Semua yang saya dapatkan sejauh cuma kisah-kisah kebaikannya. Orang ini pasti punya kekurangan." "Memang," Jackson mengakui. "Coba saya ceritakan lebih dulu hal-hal yang baik. Taylor Winthrop peduli pada orang lain, lebih dari siapa pun yang pernah saya kenal." Ia berhenti. "Maksud saya, sungguh-sungguh peduli. Ia ingat hari ulang tahun dan hari jadi pernikahan orang-orang, dan semua orang yang bekerja padanya menyayanginya. Ia memiliki pikiran yang cerdas, tajam, dan ia pandai menyelesaikan masalah. Dan meskipun sangat terlibat dalam segala yang dikerjakannya, pada dasarnya ia menyayangi keluarganya. Ia mencintai istrinya dan menyayangi anak-anaknya." Ia berhenti bicara. Dana berkata, "Apakah bagian buruknya?" Jack Stone berkata enggan. "Taylor Winthrop bagai magnet bagi kaum wanita Ia laki-laki berkarisma, tampan, kaya. dan berpengaruh. Wanita sulit menolak semua itu." Ia meneruskan, "Maka sesekali, Taylor... tergelincir. Ia pernah punya beberapa affair, tapi bisa dipastikan tak ada yang serius, dan ia menyimpannya sebagai rahasia pribadi, ia takkan pernah melakukan apa pun yang dapat menyakiti keluarganya." "Mayor Stone, bisakah Anda memikirkan siapa-siapa yang mungkin punya alasan untuk membunuh Taylor Winthrop dan keluarganya?" Jack Stone meletakkan garpunya. "Apa?" "Orang dengan kedudukan setinggi itu pasti punya sejumlah musuh di bawah." "Miss Evans-apakah Anda bermaksud mengatakan bahwa keluarga Winthrop dibunuh?" "Saya cuma bertanya," Dana berkata. Jack Stone menimbang-nimbang pertanyaan itu sejenak. Lalu ia menggeleng. "Tidak," katanya. "Itu tidak masuk akal. Taylor Winthrop tidak pernah menyakiti siapa pun selama hidupnya. Bila Anda pernah berbicara dengan sahabat atau rekan kerjanya, Anda tentu akan tahu itu." "Biar saya ceritakan pada Anda apa yang telah saya ketahui sejauh ini," kata Dana. "Taylor Winthrop adalah-" Jack Stone mengangkat satu tangan. "Miss Evans, makin sedikit yang saya tahu, makin baik. Saya berusaha untuk tidak terlibat. Dengan begitu saya dapat membantu Anda, kalau Anda tahu apa yang saya maksud." Dana memandangnya, kebingungan. "Saya tidak tahu pasti." "Terus terang, demi kebaikan Anda sendiri, saya berharap Anda melupakan semua urusan ini. Kalau Anda tidak bersedia, maka berhati-hatilah." Dan ia berdiri dan berlalu. Dana tercenung, memikirkan apa yang baru saja didengarnya. Jadi Taylor Winthrop tidak punya musuh. Mungkin aku menggarapnya dari sudut yang keliru. Bagaimana kalau bukan Taylor Winthrop yang menyebabkan adanya musuh mematikan? Bagaimana kalau salah satu anaknya? Atau istrinya? Dana bercerita kepada Jeff tentang makan siangnya bersama Mayor Jack Stone. "Menarik. Sekarang apa?" "Aku ingin bicara dengan beberapa orang yang mengenal anak-anak Winthrop. Paul Winthrop bertunangan dengan gadis bernama Harriet Berk. Mereka menjalin hubungan selama hampir satu tahun." "Aku ingat pernah membaca tentang mereka," kata Jetf. Ia ragu. "Sayang, kau tahu aku seratus persen mendukungmu..." "Tentu, Jeff." 'Tapi bagaimana kalau kau keliru mengenai semua ini? Kecelakaan bisa saja terjadi. Berapa banyak waktu yang hendak kaucurahkan untuk ini?" 'Tidak banyak lagi," Dana berjanji. "Aku cuma akan memeriksa sedikit lagi." Harriet Berk tinggal di apartemen dua lantai yang anggun di barat laut Washington. Ia wanita ramping berambut pirang yang berusia tiga puluhan, dengan senyum memikat. "Terima kasih Anda bersedia menemui saya," kata Dana. "Saya tidak tahu pasti mengapa saya mau menemui Anda, Miss Evans. Anda mengatakan ini mengenai Paul." "Ya." Dana memilih kata-katanya dengan hati-hati. "Saya tidak bermaksud ikut campur dalam kehidupan pribadi Anda, tetapi Anda dan Paul bertunangan dan akan menikah, dan saya yakin Anda mungkin mengenalnya lebih baik daripada siapa pun." "Saya ingin berpikir begitu." "Saya ingin tahu lebih banyak tentang Paul Winthrop, bagaimana ia sebenarnya." Harriet Berk diam beberapa saat. Ketika ia berbicara, suaranya lembut. "Paul tidak seperti laki-laki mana pun yang pernah saya kenal. Ia memiliki semangat hidup yang menggelora. Ia baik hati dan penuh pengertian terhadap orang lain. ia bisa sangat lucu. Ia tidak terlalu sibuk dengan diri sendiri. Ia sungguh menyenangkan sebagai teman. Kami merencanakan menikah bulan Oktober." ia terdiam. "Ketika Paul tewas dalam kecelakaan itu, saya-saya merasa seakan hidup saya sudah berakhir." Ia memandang Dana dan berkata lirih, "Saya masih merasa seperti itu." "Saya turut berduka," kata Dana. "Saya tidak suka mendesak, tetapi apakah Anda tahu barangkali ia punya musuh, orang yang mungkin punya alasan untuk membunuhnya?" Harriet Berk memandangnya dan air mata menggenangi matanya. "Membunuh Paul?" Suaranya tercekik. "Seandainya saja Anda mengenalnya, Anda tentu takkan mengajukan pertanyaan itu." Wawancara Dana selanjutnya adalah dengan Steve Rexford, kepala pelayan yang dulu bekerja pada Julie Winthrop. ia pria Inggris setengah baya berpenampilan anggun. "Bagaimana saya bisa membantu Anda, Miss Evans?" "Saya ingin menanyai Anda tentang Julie Winthrop." "Ya. Ma'am?" "Sudah berapa lama Anda bekerja padanya?" "Empat tahun sembilan bulan." "Bagaimana sikapnya sebagai majikan?" Pria itu tersenyum sendu. "Ia amat menyenangkan, wanita hebat dalam segala hal. Saya-saya sungguh tidak bisa percaya ketika mendengar kabar tentang kecelakaan yang menimpanya." "Apakah Julie Winthrop punya musuh?" Ia mengernyit. "Maaf?" "Apakah Miss Winthrop pernah terlibat dengan seseorang yang mungkin pernah ia... tolak cintanya? Atau seseorang yang mungkin ingin mencelakainya atau keluarganya?" Steve Rexford menggeleng perlahan-lahan. "Miss Julie bukan orang semacam itu. Ia tidak mungkin pernah menyakiti siapa pun. Tidak. Ia amat murah hati dengan waktu dan kekayaannya. Semua orang menyukainya." Dana mengamatinya sejenak. Laki-laki itu bersungguh-sungguh dengan ucapannya. Mereka semua bersungguh-sungguh. Apa sebetulnya yang kulakukan? Dana bertanya-tanya dalam hati. Aku merasa seperti Dana Quixote. Cuma dalam hal ini tidak ada kincir angin. Morgan Ormond, direktur Georgetown Museum of Art, adalah nama berikut dalam daftar Dana "Saya diberitahu Anda ingin menanyai saya tentang Gary Winthrop?" "Ya. Saya ingin tahu-" "Kematiannya merupakan kehilangan luar biasa. Negara kita telah kehilangan pecinta seni terbesarnya." "Mr. Ormond, apakah ada banyak persaingan dalam dunia seni?" "Persaingan?" "Bukankah kadang-kadang beberapa orang memburu karya seni yang sama dan terlibat-" "Tentu saja. Tapi tidak pernah dengan Mr. Winthrop. Ia memiliki koleksi pribadi yang hebat, tapi ia sekaligus amat murah hati terhadap museum. Bukan saja dengan museum ini, tapi dengan museum-museum di seluruh penjuru dunia. Ambisinya adalah membuat karya seni akbar bisa dinikmati setiap orang." "Apakah Anda tahu musuh-musuh yang mungkin-" "Gary Winthrop? Tidak pernah, tidak, tidak." Pertemuan terakhir Dana adalah dengan Rosalind Lopez, yang selama lima belas tahun bekerja sebagai pelayan pribadi Madeline Winthrop. Ia kini bergerak dalam bisnis katering yang dimilikinya sendiri bersama suaminya. 'Terima kasih Anda bersedia menemui saya, Miss Lopez," kata Dana. "Saya ingin bicara dengan Anda mengenai Madeline Winthrop." "Wanita malang. Ia-ia orang paling baik yang pernah saya kenal." Ini mulai kedengaran seperti kaset rusak, pikir Dana. "Kematiannya sungguh menyedihkan." "Ya," Dana mengiyakan. "Anda lama bekerja padanya." "Oh, ya, Ma'am." "Apakah Anda tahu sesuatu yang mungkin pernah dilakukannya sehingga menyinggung orang lain atau menimbulkan permusuhan?" Rosalind Lopez memandang Dana dengan tatapan terkejut. "Musuh? Tidak, Ma'am. Setiap orang menyukainya." Ini memang kaset rusak, putus Dana. * * * Dalam perjalanan kembali ke kantor, Dana berpikir, Kurasa aku memang keliru. Meskipun rasanya mustahil, kematian mereka pasti cuma kebetulan. Dana pergi menemui Matt Baker. Ia disambut Abbe Lasmann. "Hai, Dana." "Apakah Matt siap menemui aku?" "Ya. Kau boleh masuk." Matt Baker mengangkat muka ketika Dana melangkah masuk ke kantornya. "Bagaimana kabar Sherlock Holmes hari ini?" "Sederhana, sobatku Watson. Aku keliru. Tidak ada cerita apa pun di situ." LIMA Eileen, ibu Dana, tiba-tiba menelepon. "Dana, Sayang. Aku punya kabar sangat menarik untukmu!" "Ya, Ibu?" "Aku akan menikah." Dana tertegun. "Apa?" "Ya. Aku pergi ke Westport, Connecticut, untuk mengunjungi teman, dan ia memperkenalkan aku pada laki-laki hebat ini." "Aku-aku ikut gembira, Ibu. Luar biasa." "Ia-ia begitu-" Ibunya cekikikan. "Aku tidak bisa menggambarkannya, tapi ia amat menyenangkan. Kau akan menyukainya." Dana berkata hati-hati, "Sudah berapa lama Ibu mengenalnya?" "Cukup lama. Sayang. Kami pasangan yang sempurna. Aku sungguh beruntung." "Apakah ia punya pekerjaan?" tanya Dana. "Jangan bersikap seperti ayahku. Tentu saja ia punya pekerjaan. Ia agen asuransi yang sukses. Namanya Peter Tomkins. ia memiliki rumah indah di Westport, dan aku ingin kau dan Kimbal datang ke sini dan menemuinya. Maukah kau datang?" "Tentu saja." "Peter sangat ingin bertemu denganmu. Ia sudah menceritakan kepada semua orang betapa terkenalnya kau. Kau yakin bisa datang?" "Ya." Akhir pekan ini Dana libur, jadi tidak akan ada masalah. "Aku dan Kemal sangat ingin datang ke sana." Ketika Dana menjemput Kemal di sekolah, ia berkata, "Kau akan menemui nenekmu Kita akan benar-benar jadi keluarga, Sayang." "Dope." Dana tersenyum. "Ya, bagus." Sabtu pagi Dana dan Kemal bermobil ke Connecticut. Dana gembira membayangkan perjalanan ke Westport itu. "Ini pasti menyenangkan bagi semua orang." Dana meyakinkan Kemal. "Semua kakek dan nenek butuh cucu untuk dimanjakan. Itulah enaknya mempunyai anak. Dan kau kadang-kadang akan bisa tinggal bersama mereka." Kemal berkata cemas. "Apakah kau akan berada di sana juga?" Dana meremas tangannya. "Aku akan ada di sana." Rumah Peter Tomkins adalah pondok tua yang indah di Blind Brook Road. Sungai kecil mengalir di sebelahnya. "Hei, asyik sekali," kata Kemal. Dana mengacak rambut Kemal. "Aku senang kau menyukainya. Kita akan sering datang ke sini." Pintu depan pondok itu terbuka, dan Eileen Evans berdiri di sana. Masih tampak tanda-tanda kecantikan masa mudanya, bagaikan gambaran tentang masa lalunya, namun kepahitan hidup telah menghapus masa lalu itu dengan kasar. Ini situasi Dorian Gray. Kecantikannya menurun pada Dana. Di samping Eileen berdiri laki-laki setengah baya berwajah ramah yang tersenyum lebar. Eileen bergegas maju dan merangkul Dana. "Dana, Sayang! Dan ini yang namanya Kimbal!" "Ibu..." Peter Tomkins berkata, "Jadi inilah Dana Evans yang termasyhur itu, eh? Aku sudah menceritakan dirimu pada semua klienku." Ia menoleh pada Kemal. "Dan inilah anak itu." Ia melihat lengan Kemal yang hilang. "Hei, kau tidak bercerita padaku ia cacat." Darah Dana serasa membeku, ia melihat ekspresi terkejut di wajah Kemal. Peter Tomkins menggeleng. "Seandainya punya asuransi di perusahaan kami sebelum kejadian, ia akan jadi bocah kaya raya." Ia berbalik menuju pintu. "Ayo, masuklah. Kalian pasti lapar." "Tidak lagi," kata Dana dingin. Ia berpaling pada Eileen. "Aku menyesal, Ibu. Aku dan Kemal akan kembali ke Washington." "Aku minta maaf, Dana. Aku-" "Aku juga. Kuharap mudah-mudahan Ibu tidak melakukan kesalahan besar. Semoga pernikahannya menyenangkan." "Dana-" Dengan perasaan sedih ibu Dana mengawasi Dana dan Kemal masuk ke mobil dan berlalu. Peter Tomkins memandangi mereka dengan tatapan terkejut. "Hei, aku bilang apa tadi?" Eileen Evans menghela napas. "Tidak apa-apa, Peter. Tidak apa-apa." Kemal bungkam sepanjang perjalanan pulang. Dari waktu ke waktu Dana meliriknya. "Aku minta maaf, Sayang. Ada orang yang memang dungu." "Ia benar," kata Kemal pahit. "Aku cacat." "Kau tidak cacat," kata Dana sengit. "Kau menilai orang bukan dari berapa lengan atau kaki yang mereka miliki. Kau menilai mereka berdasarkan diri mereka." "Yeah? Dan apakah diriku?" "Kau orang tangguh yang berhasil bertahan. Dan aku bangga padamu. Kau tahu, si tuan ramah tadi memang benar tentang satu hal-aku lapar. Kurasa kau tidak bakal tertarik, tapi aku melihat ada restoran McDonald's di depan." Kemal tersenyum. "Bagus." Sesudah Kemal tidur. Dana berjalan ke ruang duduk dan berpikir, ia menyalakan televisi dan mulai berpindah-pindah saluran berita. Semua menyajikan berita lanjutan tentang pembunuhan Gary Winthrop. "...berharap van curian itu bisa memberikan beberapa petunjuk ke arah identitas si pembunuh..." "...dua butir peluru dari sepucuk Beretta. Polisi memeriksa semua toko senjata untuk..." "...dan pembunuhan brutal terhadap Gary Winthrop di daerah barat laut yang eksklusif membuktikan tidak ada seorang pun..." Ada yang mengusik benak Dana. Baru berjam-jam kemudian ia bisa tidur. Pagi hari, ketika terjaga, ia tiba-tiba sadar apa yang selama ini meresahkan pikirannya. uang dan perhiasan itu tergeletak begitu saja. Mengapa para pembunuh itu tidak mengambilnya ? Dana bangun dan membuat satu teko kopi sambil mempelajari kembali apa yang dikatakan Chief Burnett. Apakah Anda punya daftar lukisan yang dicuri? Ya. Semua lukisan terkenal. Daftar itu sudah diedarkan ke berbagai museum, pedagang barang seni, dan kolektor. Begitu salah satu lukisan itu muncul, kasus ini akan terpecahkan. Pencuri itu pasti tahu lukisan-lukisan tersebut tidak mungkin mudah dijual, pikir Dana, yang bisa berarti pencurian itu diatur kolektor kaya yang berniat menyimpan lukisan-lukisan tersebut untuk diri sendiri. Tetapi mengapa orang seperti itu melibatkan dua bajingan pembunuh? Pada hari Senin pagi, ketika Kemal bangun, Dana tengah menyiapkan sarapan. Setelah itu ia mengantarkannya ke sekolah. "Baik-baiklah hari ini." "Sampai nanti, Dana." Dana mengawasi Kemal berjalan memasuki pintu depan sekolah, lalu meneruskan perjalanan menuju kantor polisi di Indiana Avenue Salju turun lagi dan angin kencang mengoyak apa saja yang menghadang jalannya. Phoenix Wilson, detektif yang menangani penyelidikan pembunuhan Gary Winthrop, adalah polisi berpengalaman yang tidak suka bergaul, ia memiliki beberapa bekas luka yang menunjukkan pengalamannya. Ia mengangkat muka ketika Dana melangkah ke dalam kantornya. "Tidak ada wawancara," ia menggeram. "Bila ada informasi baru mengenai pembunuhan Winthrop, kau akan mendengarnya dalam konferensi pers bersama yang lain." "Saya datang ke sini bukan untuk menanyakan soal itu," kata Dana. Ia memandang Dana skeptis. "Oh, benarkah?" "Sungguh. Saya tertarik pada lukisan-lukisan yang dicuri itu. Saya rasa Anda punya daftarnya?" "Lalu?" "Bisakah Anda memberikan salinannya untuk saya?" Detektif Wilson bertanya curiga, "Mengapa? Mau apa kau?" "Saya ingin melihat apa yang diambil pembunuh-pembunuh itu. Saya mungkin akan membuat segmen mengenai hal tersebut." Detektif Wilson mengamati Dana beberapa saat. "Bukan gagasan yang buruk. Makin banyak publi-sitas, makin kecil peluang pembunuh-pembunuh itu menjualnya." ia bangkit. "Mereka mengambil dua belas lukisan dan meninggalkan lebih banyak lagi. Aku rasa mereka terlalu malas untuk membawa semuanya. Tenaga andal sulit didapatkan belakangan ini. Aku akan memberikan salinan laporan itu." Beberapa menit kemudian ia kembali dengan membawa dua fotokopi. Ia memberikannya kepada Dana. "Ini daftar lukisan yang diambil. Ini daftar lainnya." Dana memandangnya, kebingungan. "Daftar lain apa?" "Seluruh lukisan yang dimiliki Gary Winthrop, termasuk lukisan-lukisan yang ditinggalkan para pembunuh." "Oh. Terima kasih. Saya amat menghargai tindakan Anda." Sesampainya di koridor, Dana memeriksa dua daftar tersebut. Apa yang dilihatnya amat membingungkan. Dana berjalan ke udara dingin di luar dan menuju Christie's, balai lelang terkenal di dunia. Salju turun makin lebat, dan orang-orang bergegas menyelesaikan belanja Natal mereka, lalu kembali ke rumah dan kantor mereka yang hangat. Ketika Dana tiba di Christie's, sang manajer langsung mengenalinya. "Wah! Ini kehormatan besar. Miss Evans. Apa yang bisa saya lakukan untuk Anda?" Dana menjelaskan, "Saya punya dua daftar lukisan. Saya sungguh berterima kasih kalau ada yang bisa menjelaskan kepada saya berapa nilai lukisan-lukisan ini." "Tentu saja. Dengan senang hati. Silakan lewat sini... Dua jam kemudian Dana sudah berada di kantor Matt Baker. "Sesuatu yang sangat aneh tengah berlangsung," Dana mulai bicara. "Kita tidak kembali pada teori konspirasi sinting itu, bukan?" "Coba lihat." Dana menyerahkan daftar yang lebih panjang pada Matt. "Daftar ini berisi semua karya seni yang dimiliki Gary Winthrop. Aku baru saja minta balai lelang Christie's menilai lukisan-lukisan itu." Matt Baker memeriksa daftar. "Hei, aku melihat beberapa mahakarya di sini. Vincent van Gogh, Hals, Matisse, Monet, Picasso, Manet." ia mengangkat muka. "Lalu?" "Sekarang lihat daftar ini" kala Dana. Ia mengangsurkan daftar yang lebih pendek, yang berisi lukisan-lukisan yang dicuri. Matt membacanya keras-keras. "Camille Pissarro, Marie Laurencin, Paul Klee, Maurice Utrillo. Henry Lebasque. Jadi apa maksudmu?" Dana berkata perlahan-lahan, "Banyak di antara lukisan-lukisan pada daftar lengkap itu bernilai lebih dari sepuluh juta dolar sebuah." Ia berhenti sejenak. "Kebanyakan lukisan pada daftar yang lebih pendek, yaitu lukisan-lukisan yang dicuri, bernilai dua ratus ribu dolar sebuah atau kurang." Mata Matt Baker berkedip. "Maling-maling itu mengambil lukisan yang kurang berharga?" "Benar." Dana mencondongkan badan ke depan "Matt, kalau mereka pencuri profesional, mereka tentu akan mengambil juga uang tunai dan perhiasan yang bergeletakan di sana. Kita berasumsi seseorang membayar mereka untuk mencuri lukisan-lukisan yang lebih berharga saja. Tapi menurut daftar ini, mereka tidak tahu apa-apa mengenai seni. Jadi untuk apakah mereka sebenarnya disewa? Gary Winthrop tidak bersenjata. Mengapa mereka membunuhnya?" "Apakah kau bermaksud mengatakan perampokan itu cuma kedok, dan motif sesungguhnya adalah pembunuhan?" "Itulah satu-satunya penjelasan yang bisa kupikirkan." Matt menelan ludah. "Coba kita periksa ini. Seandainya benar Taylor Winthrop punya musuh dan dibunuh-mengapa orang ingin melenyapkan seluruh keluarganya?" "Aku tidak tahu." kata Dana. "Itulah yang ingin kuselidiki." Dr. Armand Deutsch adalah salah satu psikiater paling disegani di Washington. Ia berpenampilan menarik meskipun sudah berusia tujuh puluhan, dengan kening lebar dan mata biru tajam. Ia mendongak ketika Dana masuk. "Miss Evans?" "Ya. Saya amat berterima kasih Anda bersedia menemui saya. Dokter. Tujuan saya menemui Anda sangat penting." "Dan persoalan apakah yang sedemikian penting itu?" "Anda sudah membaca tentang kematian beruntun yang menimpa keluarga Winthrop?" 'Tentu. Tragedi yang menyedihkan. Begitu banyak kecelakaan." Dana berkata. "Bagaimana kalau semua itu bukan kecelakaan?" "Apa? Apa maksud Anda?" "Maksud saya, ada kemungkinan mereka semua dibunuh." "Keluarga Winthrop dibunuh! Itu rasanya terlalu mengada-ada. Miss Evans. Sangat mengada-ada." "Tapi mungkin saja terjadi." "Apa yang membuat Anda berpikir mereka mungkin dibunuh?" "Cuma-cuma firasat," Dana mengaku. "Saya mengerti. Firasat." Dr. Deutsch mengamatinya. "Saya menyaksikan siaran-siaran Anda dari Sarajevo. Anda reporter yang hebat." 'Terima kasih." Dr. Deutsch mencondongkan badan ke depan dengan bertumpu di siku, matanya yang biru menatap mata Dana. "Jadi, belum lama, Anda berada di tengah peperangan yang mengerikan. Ya?" "Ya." "Melaporkan bagaimana orang-orang diperkosa, dibunuh, bayi-bayi dibantai..." Dana mendengarkan, hatinya was-was. "Anda jelas mengalami tekanan hebat." Dana berkata, "Ya." "Sudah berapa lama Anda kembali-lima, enam bulan?" "Tiga bulan," kata Dana. Ia mengangguk, puas. "Waktu yang pendek untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan sipil lagi. bukan? Anda sering mendapat mimpi buruk mengenai berbagai pembunuhan keji yang Anda saksikan, dan kini pikiran bawah sadar Anda membayangkan-" Dana memotongnya. "Dokter, saya tidak paranoid. Saya tidak punya bukti, tapi saya punya alasan untuk percaya bahwa kematian keluarga Winthrop bukanlah kebetulan. Saya datang menemui Anda karena saya berharap Anda bisa membantu saya." "Membantu Anda? Caranya?" "Saya butuh motif. Motif apa yang dapat dimiliki seseorang sehingga ia memusnahkan suatu keluarga?" Dr. Deutsch memandang Dana dan merapatkan kedua tangannya. "Memang ada beberapa preseden untuk agresi sekeji itu. Pembalasan dendam. Di Italia, Mafia terkenal sering membunuh seluruh anggota keluarga. Atau mungkin melibatkan obat-obat terlarang. Mungkin pembalasan atas tragedi mengerikan yang disebabkan keluarga tersebut. Atau bisa jadi pelakunya maniak yang tidak punya motif rasional untuk-" "Saya kira masalahnya bukan begitu." "Kalau demikian, masih ada salah satu motif paling tua di dunia-uang." Uang. Dana sudah memikirkan hal itu. Walter Calkin, pimpinan biro hukum Calkin, Taylor & Anderson, sudah lebih dari 25 tahun menjadi pengacara keluarga Winthrop. Ia tua, pincang karena radang sendi, tapi meskipun tubuhnya rapuh, pikirannya masih jernih. Ia mengamati Dana sejenak. "Anda bilang pada sekretaris saya Anda ingin bicara dengan saya mengenai harta Winthrop?" "Ya." Ia menghela napas, "Saya tak habis pikir menyaksikan apa yang terjadi pada keluarga itu. Luar biasa." "Setahu saya Anda menangani urusan hukum dan Finansial mereka," kata Dana. "Ya." "Mr. Calkin, sepanjang tahun lalu, apakah ada yang ganjil menyangkut urusan-urusan tersebut?" Ia memandang Dana dengan tatapan ingin tahu. "Ganjil bagaimana?" Dana berkata hati-hati, "Rasanya kurang enak mengutarakannya, tapi-apakah Anda kiranya akan tahu kalau ada anggota keluarga itu ternyata... diperas?" Suasana hening beberapa saat. "Anda maksudkan, apakah saya tahu seandainya ada pembayaran dalam jumlah besar kepada seseorang?" "Ya." "Saya kira saya akan tahu, ya." "Dan apakah ada hal seperti itu?" Dana meneruskan. 'Tidak ada. Saya kira Anda mengasumsikan ada semacam permainan kotor di sini? Harus saya katakan kepada Anda bahwa saya rasa itu sama sekali tidak masuk akal." "Tapi mereka semua tewas," kata Dana. "Harta kekayaan itu nilainya pasti beberapa milyar dolar. Saya akan sangat berterima kasih kalau Anda bisa mengatakan siapa yang akan menerima uang itu." Ia mengamati si pengacara membuka sebotol pil, mengambil sebutir, dan menelannya dengan seteguk air. "Miss Evans, kami tidak pernah membicarakan urusan klien kami." Ia ragu-ragu. "Tetapi, dalam hal ini, saya tidak melihat ada halangan apa pun, sebab pengumuman kepada pers akan dilakukan besok." Dan masih ada salah satu motif paling tua di dunia-uang. Walter Calkin memandang Dana. "Dengan ke-matian Gary Winthrop, anggota terakhir keluarga itu-" "Ya?" Dana menahan napas. "Seluruh kekayaan keluarga Winthrop diserahkan untuk amal." ENAM Para staf sedang bersiap untuk siaran berita malam. Dana berada di studio A di depan meja pembawa berita, mempelajari perubahan-perubahan terakhir untuk siaran nanti. Buletin-buletin berita yang masuk sepanjang hari dari teleks dan kepolisian sudah dipelajari dan dipilih atau disisihkan. Jeff Connors dan Richard Melton duduk di meja pembawa berita di samping Dana. Anastasia Mann memulai hitungan mundur dan mengakhiri hitungan 3-2-1 dengan telunjuk. Lampu merah kamera menyala. Suara announcer membahana, "Kini siaran berita langsung dari WTN bersama Dana Evans"- Dana tersenyum pada kamera -"dan Richard Melton." Melton memandang ke kamera dan mengangguk. "Jeff Connors dengan berita olahraga dan Marvin Greer dengan ramalan cuaca. Siaran berita pukul sebelas mulai sekarang juga." Dana memandang kamera. "Selamat malam. Saya Dana Evans." Richard Melton tersenyum. "Dan saya Richard Melton." Dana membaca dari TelePromTer. "Kami punya berita menarik. Pengejaran polisi berakhir malam ini sesudah perampokan bersenjata di sebuah toko minuman di pusat kota." "Putar rekaman." Layar memperlihatkan interior helikopter. Di depan panel kontrol helikopter WTN itu duduk Norman Bronson, mantan pilot marinir. Di sampingnya duduk Alyce Barker. Sudut kamera berubah. Di daratan di bawah sana tiga mobil polisi mengepung sebuah sedan yang telah menabrak pohon. Alyce Barker berkata, "Pengejaran dimulai ketika dua pria masuk ke Haley Liquor Store di Pennsylvania Avenue dan mencoba menodong penjaganya. Ia melawan dan menekan tombol alarm untuk memanggil polisi. Perampok-perampok itu kabur, tetapi polisi memburu mereka sejauh enam kilometer hingga mobil tersangka menabrak pohon." Kejar-mengejar itu diliput helikopter stasiun televisi. Dana melihat gambar itu dan berpikir: Tindakan paling tepat yang pernah dilakukan Matt adalah mendesak Elliot untuk membeli helikopter baru tersebut. Liputan kami jadi jauh berbeda. Kemudian ada tiga segmen lagi, dan sang sutradara memberi tanda untuk jeda. "Kami akan segera kembali sesudah pesan-pesan berikut ini," kata Dana. Iklan muncul di layar. Richard Melton menoleh pada Dana. 'Kau sudah melihat ke luar? Sungguh menyebalkan di luar sana." "Aku tahu." Dana tertawa. "Pembawa acara ramalan cuaca kita pasti akan menerima banyak surat makian." Lampu merah kamera menyala. TelePrompTer kosong sesaat, lalu mulai bergerak lagi, memperlihatkan apa yang harus dibaca. Dana mulai membaca, "Pada Malam Tahun Baru ini saya ingin-" Ia berhenti, tertegun ketika memandang kata-kata selanjutnya. Bunyinya: ...kita menikah. Kita akan punya alasan ganda untuk merayakan Malam Tahun Baru. Jeff berdiri di samping TelePrompter, tersenyum lebar. Dana memandang kamera dan berkata canggung, "Kami-kami akan berhenti sebentar untuk pesan-pesan berikut ini." Lampu merah padam. Dana berdiri. "Jeff!" Mereka saling menghampiri dan berpelukan. "Apa jawabanmu?" ia bertanya. Dana memeluknya erat dan berbisik, "Jawabanku ya." Studio itu riuh dengan sorak-sorai kru. Ketika siaran selesai dan mereka sendirian, Jeff berkata, "Apa yang kauinginkan, Sayang? Pernikahan besar, kecil, sedang?" Dana sudah memikirkan pernikahannya sejak kecil. Ia membayangkan dirinya mengenakan gaun putih indah berenda dengan ekor amat panjang. Dalam film-film yang ditontonnya, selalu ada kehebohan saat mempersiapkan pernikahan... daftar tamu yang harus disusun... katering yang harus dipilih... pengiring pengantin... gereja... Semua sahabatnya akan hadir, juga ibunya. Pernikahan itu akan jadi hari paling indah dalam hidupnya. Dan kini hal itu jadi kenyataan. Jeff berkata, "Dana...?" Ia menunggu jawabannya. Kalau kami mengadakan perayaan pernikan-an besar-besaran, pikir Dana, berarti aku harus mengundang Ibu dan suaminya. Aku tidak bisa melakukan itu pada Kemal. "Kita kawin lari saja," kata Dana. Jeff mengangguk, terperanjat. "Kalau itu yang kauinginkan, maka itu pula yang kuinginkan." Kemal girang luar biasa ketika mendengar kabar itu. "Maksudmu Jeff akan tinggal bersama kita?" "Benar. Kita semua akan bersama-sama. Kau bakal benar-benar punya keluarga, Sayang." Dana duduk di pinggir ranjang Kemal selama satu jam berikutnya, dengan penuh semangat membicarakan masa depan mereka. Mereka bertiga akan tinggal bersama, berlibur bersama, dan terus bersama. Kata ajaib itu. Ketika Kemal sudah tidur, Dana pergi ke kamar tidurnya dan menyalakan komputer. Apartemen. Apartemen. Kami akan butuh dua kamar tidur, dua kamar mandi, satu ruang duduk, dapur, ruang makan, dan mungkin kantor dan ruang belajar. Mestinya tidak akan terlalu sulit mencarinya. Dana memikirkan rumah mewah Gary Winthrop yang kosong, dan pikirannya mulai melayang. Apakah yang sebenarnya terjadi malam itu? Dan siapa yang mematikan alarm? Bila tidak ada tanda-tanda masuk secara paksa, bagaimana pencuri-pencuri itu bisa masuk? Hampir tanpa sadar jari-jarinya mengetikkan kata "Winthrop" pada keyboard. Kenapa aku ini? Dana melihat informasi yang sudah pernah ia lihat sebelumnya. Regional > Negara-negara bagian A.S. > Washington D.C. > Pemerintah > Politik > Badan Riset Federal * Winthrop, Taylor- bertugas sebagai Duta Besar untuk Rusia dan menegosiasikan perjanjian dagang penting dengan Italia... * Winthrop, Taylor-Taylor Winthrop, milyarder atas usaha sendiri, mengabdikan diri untuk negaranya... * Winthrop, Taylor- keluarga Winthrop mendirikan yayasan amal untuk membantu berbagai sekolah, perpustakaan, dan program-program sosial... Ada 54 Web site mengenai keluarga Winthrop. Dana sudah hendak mengalihkan pencarian ke bagian Apartemen ketika matanya melihat sebuah entry acak. * Winthrop, Taylor- Gugatan hukum. Joan Sinisi, mantan sekretaris Taylor Winthrop, mengajukan gugatan dan kemudian mencabutnya. Dana membaca item itu lagi. Gugatan apa ini? Dana bertanya-tanya dalam hati. Ia beralih ke beberapa Web site lain mengenai Winthrop, tapi tidak ada yang menyinggung soal gugatan hukum Dana mengetikkan nama Joan Sinisi. Tidak muncul informasi apa pun. "Apakah saluran ini aman?" "Ya." "Aku ingin laporan mengenai semua Web site yang diperiksa subjek." "Kami akan segera menanganinya " Pagi berikutnya, ketika Dana tiba di kantor sesudah mengantar Kemal ke sekolah, ia memeriksa buku petunjuk telepon Washington. Tidak ada nama Joan Sinisi. Ia mencoba buku petunjuk telepon Maryland... Virginia... Nihil. Ia mungkin sudah pindah. Dana memutuskan. Tom Hawkins, produser acara, masuk ke kantor Dana. "Kita unggul lagi kemarin malam." "Bagus." Dana tercenung sesaat. "Tom. apakah kau kenal seseorang di perusahaan telepon?" "Tentu. Kau butuh sambungan telepon?" "Tidak. Aku ingin mengecek apakah seseorang memiliki nomor tak terdaftar. Menurutmu kau bisa memeriksanya?" "Siapa namanya?" "Sinisi. Joan Sinisi." Ia mengernyit. "Mengapa nama itu rasanya familier?" "Ia terlibat dalam gugatan hukum dengan Taylor Winthrop." "Ah, ya. Aku ingat sekarang. Kejadiannya sekitar setahun yang lalu. Waktu itu kau ada di Yugoslavia. Kukira bakal ada berita menghebohkan, tetapi perkara itu cepat diredam. Ia sekarang mungkin tinggal di suatu tempat di Eropa, tapi aku akan mencoba menyelidikinya." Lima belas menit kemudian Olivia Watkins berkata, 'Tom meneleponmu." "Tom?" "Joan Sinisi masih tinggal di Washington. Aku mendapatkan nomor teleponnya yang tidak terdaftar, kalau kau memerlukannya." "Bagus," kata Dana. Ia mengambil pena. "Teruskan." "Lima-lima-lima-dua-enam-sembilan-nol." 'Terima kasih." 'Tidak usah mengucapkan terima kasih. Traktir saja makan siang." "Baiklah" Pintu kantor membuka dan Dean Ulrich, Robert Fenwick, serta Maria Toboso, tiga penulis yang mengerjakan berita televisi, masuk. Robert Fenwick berkata, "Siaran malam ini penuh berita bencana. Ada dua kecelakaan kereta api, kecelakaan pesawat terbang, dan tanah longsor." Mereka berempat mulai membaca buletin berita yang masuk. Dua jam kemudian, setelah rapat berakhir, Dana mengambil kertas berisi nomor telepon Joan Sinisi dan menelepon. Seorang wanita menjawab. "Rumah Miss Sinisi." "Bisakah saya bicara dengan Miss Sinisi? Ini Dana Evans." Wanita itu berkata, "Coba saya lihat apakah ia ada di tempat. Tunggu sebentar." Dana menunggu. Suara seorang wanita lain terdengar di telepon, lembut dan ragu-ragu. "Halo..." "Miss Sinisi?" "Ya." "Ini Dana Evans. Saya ingin tahu apakah-" "Dana Evans yang itu?" "Ehm-ya." "Oh! Saya menonton siaran Anda setiap malam. Saya penggemar berat Anda." "Terima kasih," kata Dana "Saya merasa sangat tersanjung. Saya ingin tahu apakah Anda bisa menyisihkan beberapa menit waktu Anda untuk saya. Miss Sinisi. Saya ingin bicara dengan Anda." "Anda ingin bicara?" Terdengar nada terkejut dan gembira dalam suaranya. "Ya. Bisakah kita bertemu?" "Well, tentu saja. Maukah Anda datang ke sini?" "Baiklah. Kapan waktu yang tepat untuk Anda?" ia bimbang sesaat. "Kapan saja. Saya ada sepanjang hari." "Bagaimana kalau besok siang, sekitar pukul dua?" "Baiklah." Ia memberikan alamatnya pada Dana. "Sampai jumpa besok," kata Dana. Ia meletakkan gagang telepon. Mengapa aku meneruskan persoalan ini? Yah, inilah yang terakhir. Pukul 14.00 keesokan harinya, Dana mengendarai mobil sampai di depan gedung tinggi apartemen Joan Sinisi di Prince Street. Penjaga pintu berse-ragam berdiri di depan gedung itu. Dana memandang bangunan menjulang megah tersebut dan berpikir. Bagaimana sekretaris bisa mampu hidup di sini? Ia memarkir mobil dan masuk ke lobi. Tampak seorang resepsionis di belakang meja. "Boleh saya bantu?" "Saya ada janji dengan Miss Sinisi. Dana Evans." "Ya. Miss Evans. Ia menunggu Anda. Silakan naik lift sampai penthouse. Apartemen A." Penthouse? Setibanya di lantai teratas. Dana keluar dari lift dan membunyikan bel pintu apartemen A. Seorang pembantu berseragam membukakan pintu. "Miss Evans?" "Ya." "Silakan masuk." Joan Sinisi tinggal di apartemen dua belas ruangan dengan teras luas yang menghadap kota. Pelayan itu membawa Dana melewati koridor panjang memasuki ruang duduk serba putih dan ditata indah. Seorang wanita kecil dan ramping duduk di sofa. Ia bangkit ketika Dana masuk. Joan Sinisi sangat mengejutkan. Dana tidak punya gambaran tentang wanita itu, tetapi wanita yang berdiri menyambutnya ini sama sekali di luar perkiraannya. Joan Sinisi berperawakan kecil dan berpenampilan sederhana, dengan mata cokelat samar tersembunyi di balik kacamata tebal. Suaranya lirih dan nyaris tak terdengar. "Sungguh senang berjumpa langsung dengan Anda, Miss Evans." "Terima kasih atas kesediaan Anda menemui saya," kata Dana. Ia bergabung dengan Joan Sinisi di sofa putih besar dekat teras. "Saya baru saja hendak minum teh. Apakah Anda mau?" "Terima kasih." Joan Sinisi menoleh pada si pelayan dan berkata nyaris malu-malu, "Greta, tolong bawakan kami teh ya?" "Ya, Ma'am." 'Terima kasih, Greta." Semua ini terasa tak nyata. Dana berpikir, Joan Sinisi dan penthouse ini sama sekali tidak cocok. Bagaimana ia mampu tinggal di sini? Perjanjian macam apa yang dibuat Taylor Winthrop dengannya? Dan tentang apakah gugatan itu? "...dan saya tidak pernah melewatkan siaran Anda" Joan Sinisi berkata pelan. "Menurut saya Anda sangat hebat." "Terima kasih." "Saya ingat ketika Anda menyiarkan berita dari Sarajevo. Ledakan bom dan letusan senapan terdengar di segala penjuru. Saya selalu ketakutan kalau sampai ada kejadian buruk terjadi pada Anda. " "Sejujurnya, saya pun takut." "Itu pasti pengalaman yang mengerikan." "Ya, dari satu segi memang demikian." Greta datang dengan membawa satu nampan teh dan kue. Ia meletakkannya di meja di hadapan kedua wanita itu. "Akan saya tuangkan," kata Joan Sinisi. Dana mengawasinya menuangkan teh. "Anda mau kue?" "Tidak, terima kasih." Joan Sinisi mengangsurkan secangkir teh pada Dana, lalu menuangkan secangkir lagi untuk diri sendiri. "Seperti saya katakan, saya senang sekali berjumpa Anda. tapi saya-saya tidak bisa membayangkan apa yang ingin Anda bicarakan dengan saya." "Saya ingin bicara dengan Anda mengenai Taylor Winthrop." Joan Sinisi tersentak kaget dan sebagian tehnya tumpah ke pangkuan. Wajahnya berubah pucat pasi. "Anda tidak apa-apa?" "Ya, saya-saya baik-baik saja." Ia menyeka roknya dengan serbet. "Saya-saya tidak tahu Anda ingin..." Suaranya menghilang Suasana tiba-tiba berubah. Dana berkata. "Anda dulu sekretaris Taylor Winthrop, bukan?" Joan Sinisi bicara dengan hati-hati, "Ya. Tapi saya berhenti bekerja pada Mr. Winthrop setahun yang lalu. Rasanya saya tidak bisa membantu Anda." Perempuan itu nyaris gemetaran. Dana berkata menghibur, "Saya sudah mendengar banyak hal baik mengenai Taylor Winthrop. Saya cuma ingin tahu kalau-kalau Anda bisa menambahnya?" Joan Sinisi tampak lega. "Oh, ya, tentu saja bisa. Mr. Winthrop adalah orang yang hebat." "Berapa lama Anda bekerja padanya?" "Hampir tiga tahun." Dana tersenyum. "Pasti pengalaman yang mengesankan." "Ya, ya, benar. Miss Evans." Ia kedengaran jauh lebih rileks. "Tetapi Anda mengajukan gugatan hukum terhadapnya." Ketakutan itu kembali tampak dalam mata Joan Sinisi. "Tidak-maksud saya, ya. Tetapi itu kekeliruan, Anda tahu. Saya keliru." "Kekeliruan macam apa?" Joan Sinisi menelan ludah. "Saya-saya salah mengerti tentang perkataan Mr. Winthrop pada seseorang. Saya berbuat sangat tolol. Saya malu pada diri sendiri." "Anda menggugat, tetapi Anda tidak mengajukannya ke pengadilan?" "Tidak, la-kami menyelesaikan gugatan itu. Tidak ada apa-apa." Dana memandang seputar penthouse itu. "Begitu. Bisakah Anda ceritakan kepada saya apakah bentuk penyelesaian itu?" 'Tidak, saya tidak bisa mengatakannya," kata Joan Sinisi. "Semua sangat rahasia." Dalam hati Dana bertanya-tanya, apakah yang mungkin mendorong wanita pemalu ini mengajukan gugatan hukum pada raksasa seperti Taylor Winthrop dan mengapa ia takut membicarakannya. Apakah yang ia takutkan? Mereka lama terdiam. Joan Sinisi memandangi Dana, dan Dana punya perasaan ia ingin mengatakan sesuatu. "Miss Sinisi-" Joan Sinisi berdiri. "Maaf saya tidak bisa lebih- kalau sudah tidak ada apa-apa lagi. Miss Evans..." "Saya mengerti," Dana berkata. Seandainya saja aku benar-benar mengerti. Ia memasukkan kaset itu ke mesin pemutar dan menekan tombol start. Saya-saya salah mengerti tentang perkataan Mr. Winthrop pada seseorang. Saya berbuat sangat tolol. Saya malu pada diri sendiri. Anda menggugat, tetapi Anda tidak mengajukannya ke pengadilan ? Tidak, la-kami menyelesaikan gugatan itu. Tidak ada apa-apa. Begitu. Bisakah Anda ceritakan kepada saya apakah bentuk penyelesaian itu? Tidak, saya tidak bisa mengatakannya. Semua sangat rahasia. Miss Sinisi- Maaf saya tidak bisa lebih-kalau sudah tidak ada apa-apa lagi, Miss Evans... Saya mengerti Kaset berakhir Bola mulai menggelinding. Dana membuat janji pertemuan dengan seorang agen real estate untuk melihat-lihat apartemen, tapi pagi itu terbuang sia-sia. Dana dan si agen menjelajahi Georgetown, Dupont Circle, dan distrik Adams-Morgan. Apartemen-apartemen itu kalau bukan terlalu sempit, maka terlalu besar, atau terlalu mahal. Menjelang siang, Dana sudah siap untuk menyerah. "Jangan khawatir," agen real estate itu membesarkan hati. "Kita akan menemukan tempat yang tepat seperti keinginan Anda." "Kuharap begitu." kata Dana. Dan segera. Dana tak dapat menyingkirkan Joan Sinisi dari pikirannya. Apakah yang diketahuinya tentang Taylor-Winthrop sehingga laki-laki itu bersedia membayarnya dengan penthouse dan entah apa lagi? ia ingin mengatakan sesuatu padaku, pikir Dana. Aku yakin. Aku harus bicara lagi dengannya. Dana menelepon apartemen Joan Sinisi. Greta menjawab, "Selamat siang." "Greta, ini Dana Evans. Saya ingin berbicara dengan Miss Sinisi." "Maaf. Miss Sinisi tidak bersedia menerima telepon." "Yah, bisakah kau memberitahunya telepon ini dari Dana Evans, dan saya perlu-" "Maaf, Miss Evans. Miss Sinisi tidak bersedia bicara." Sambungan terputus. Keesokan paginya, Dana mengantar Kemal ke sekolah. Matahari berusaha muncul di langit yang beku. Di sudut-sudut jalan di seluruh penjuru kota, Sinterklas palsu membunyikan lonceng, mencari derma. Aku harus menemukan apartemen untuk kami bertiga sebelum Malam Tahun Baru, pikir Dana. Sesampainya di studio, Dana menghabiskan sepanjang pagi untuk rapat dengan staf siaran berita, membicarakan berita tertentu yang akan disiarkan dan lokasi yang perlu mereka rekam. Ada berita tentang pembunuhan brutal yang tak terpecahkan, dan pikiran Dana melayang pada keluarga Winthrop. Ia menelepon Joan Sinisi kembali. "Selamat siang." "Greta, penting sekali bagi saya untuk berbicar dengan Miss Sinisi. Katakan padanya Dana Evans-" "Ia tidak bersedia berbicara dengan Anda, Miss Evans." Sambungan terputus. Apa yang terjadi? tanya Dana dalam hati. Dana menemui Matt Baker. Abbe Lasmann menyambutnya. "Selamat! Kudengar tanggal pernikahan sudah ditentukan." Dana tersenyum. "Ya." Abbe menghela napas. "Pinangan yang romantis sekali." "Ia memang begitu." "Dana, kolumnis Advice to Lovelorn mengatakan sesudah pernikahan kau harus membeli beberapa kantong makanan kaleng dan menyimpannya di bagasi mobil." "Untuk apa...?" "Katanya, selama menjalani pernikahan, kau mungkin saja akan memutuskan untuk melakukan kegiatan 'ekstrakurikuler' sehingga terlambat pulang ke rumah. Bila Jeff menanyakan ke mana saja kau pergi, perlihatkanlah saja tas-tas itu dan bilang, 'Dari belanja'. Ia pasti akan-" 'Terima kasih, Abbe. Apakah Matt di tempat?" "Akan kuberitahu dia bahwa kau ada di sini." Sesaat kemudian, Dana sudah berada dalam kantor Matt Baker. "Duduklah, Dana. Ada kabar baik. Kita baru saja menerima daftar peringkat terbaru Nielsens. Kemarin malam kita berhasil menghajar lagi pesaing kita." "Baguslah. Matt, aku baru saja bicara dengan mantan sekretaris Taylor Winthrop dan ia-" Ia tersenyum lebar. "Orang-orang berbintang Virgo memang pantang menyerah. Kau mengatakan padaku bahwa kau-" "Aku tahu. tapi dengar dulu ini. Ketika bekerja pada Taylor Winthrop, ia pernah mengajukan gugatan hukum terhadap pria itu. Gugatan itu tidak pernah sampai disidangkan karena mereka menyelesaikannya di luar pengadilan. Ia tinggal di penthouse besar yang tak mungkin mampu dibelinya dengan gaji sekretaris, jadi penyelesaian perkara itu pasti melibatkan banyak uang. Ketika aku menyebut nama Winthrop, perempuan itu jadi ketakutan, luar biasa ketakutan. Ia seakan takut kehilangan nyawa." Matt Baker berkata sabar, "Apakah ia mengatakan takut kehilangan nyawa?" "Tidak." "Apakah ia mengatakan takut pada Taylor Winthrop?" 'Tidak, tapi-" "Jadi sejauh yang kauketahui, ia mungkin saja ketakutan pacarnya memukulinya atau ada pencuri di bawah ranjangnya. Kau sama sekali tidak punya apa-apa untuk meneruskan penyelidikan ini, bukan?" "Yah, aku-" Dana melihat ekspresi wajah Matt. 'Tidak ada yang konkret." "Oke. Mengenai daftar peringkat Nielsens itu..." Joan Sinisi menyaksikan siaran berita malam WTN. Dana berbicara, "...dan dalam berita daerah, menurut laporan terakhir, tingkat kejahatan di Amerika Serikat turun sebesar dua puluh tujuh persen dalam dua belas bulan terakhir. Penurunan terbesar terjadi Los Angeles, San Francisco, dan Detroit..." Joan Sinisi mengamati wajah Dana, menatap matanya, berusaha mengambil keputusan. Ia menonton seluruh siaran tersebut, dan ketika siaran berakhir, ia sudah memutuskan. TUJUH Ketika Dana memasuki kantornya pada Senin pagi, Olivia berkata, "Selamat pagi. Ada tiga telepon untukmu dari wanita yang tak mau menyebutkan namanya." "Apakah ia memberitahukan nomor teleponnya?" 'Tidak. Katanya ia akan menelepon kembali." Tiga puluh menit kemudian, Olivia berkata, "Wanita itu menelepon lagi. Apakah kau mau bicara dengannya?" "Baiklah." Dana mengangkat telepon. "Halo, di sini Dana Evans. Siapakah-" "Ini Joan Sinisi" Jantung Dana berdetak lebih kencang. "Ya, Miss Sinisi..." "Apakah Anda masih ingin bicara dengan saya?" Ia kedengaran gelisah. "Ya. Sangat ingin." "Baiklah." "Saya bisa sampai ke apartemen Anda dalam-" "Jangan!" Suaranya panik "Kita harus bertemu di tempat lain. Saya-saya rasa saya diawasi." "Terserah Anda. Di mana?" "Di kandang burung besar di kebun binatang. Bisakah Anda ke sana dalam satu jam?" "Saya akan ke sana." Taman itu kosong. Angin dingin bulan Desember yang menyapu seluruh kota telah mengusir orang-orang yang biasa datang ke sana. Dana berdiri di sangkar burung, menunggu Joan Sinisi, menggigil di tengah udara dingin. Dana melihat arloji. Sudah lebih dari satu jam ia berada di sini. Kuberi ia seperempat jam lagi. Lima belas menit kemudian Dana berkata pada diri sendiri, Setengah jam lagi. tidak lebih. Tiga puluh menit kemudian ia berpikir, Persetan! ia pasti berubah pikiran. Dana kembali ke kantor, kedinginan dan basah. "Ada telepon?" ia bertanya penuh harap pada Olivia. "Enam. Catatannya ada di meja kerjamu." Dana melihat daftar tersebut. Nama Joan Sinisi tidak ada di situ. Dana menelepon Joan Sinisi, ia mendengar telepon berdering puluhan kali sebelum akhirnya menutupnya. Mungkin ia berubah pikiran kembali. Dana mencoba dua kali lagi. tapi tetap tak ada jawaban. Ia berdebat dengan diri sendiri apakah akan kembali ke apartemen itu, tapi akhirnya memutuskan untuk tidak melakukannya. Aku harus menunggu sampai ia datang padaku, demikian Dana memutuskan. Tak ada kabar lebih jauh dari Joan Sinisi. Pukul 06.00 keesokan harinya, Dana menyaksikan siaran berita sambil berpakaian, "...dan situasi Chechnya kian memburuk. Ditemukan selusin lagi mayat orang Rusia, dan meskipun pemerintah Rusia mengatakan pihak pemberontak sudah dikalahkan, pertempuran masih berlangsung... Dalam berita lo kal seorang wanita tewas terjatuh dari apartemen penthouse-nya di lantai tiga puluh. Korban, Joan Sinisi, adalah mantan sekretaris Duta Besar Taylor Winthrop. Polisi sedang menyelidiki kecelakaan tersebut." Dana berdiri kaku, tak mampu bergerak. "Matt, kau ingat wanita yang kubilang akan kutemui-Joan Sinisi, mantan sekretaris Taylor Winthrop?" "Ya. Kenapa dia?" "Ia masuk berita pagi ini. Ia meninggal." "Apa?" "Kemarin pagi ia menelepon dan berjanji akan bertemu denganku. Katanya ada masalah sangat penting yang hendak diceritakannya padaku. Lebih dari satu jam aku menunggunya di kebun binatang. Ia tidak muncul." Matt menatapnya. "Ketika aku bicara dengannya di telepon, ia mengatakan ia merasa sedang diawasi." Matt Baker duduk di tempatnya sambil menggaruk-garuk dagu. "Astaga. Apa sebenarnya yang kita hadapi ini?" "Entahlah Aku mau bicara dengan pembantu rumah tangga Joan Sinisi." "Dana..." "Ya?" "Berhati-hatilah. Sangat hati-hati." Ketika Dana berjalan memasuki lobi gedung apartemen, ternyata yang bertugas penjaga pintu lain. "Boleh saya bantu?" "Saya Dana Evans. Saya datang ke sini sehubungan kematian Miss Sinisi. Sungguh tragedi yang sangat menyedihkan." Wajah penjaga pintu itu berubah sedih. "Ya, benar. Ia wanita yang sangat baik. Pendiam dan penyendiri." "Apakah ia menerima banyak tamu?" Dana bertanya selintas. "Tidak, sama sekali tidak. Ia sangat tertutup." "Apakah kemarin Anda bertugas ketika"-lidah Dana seolah tak sanggup bergerak-"kecelakaan itu terjadi?" "Tidak, Ma'am." "Jadi Anda tidak tahu apakah ada orang lain bersamanya atau tidak?" "Ya, Ma'am." "Tapi ada yang bertugas di sini?" "Oh, ya. Dennis. Polisi sudah menanyainya. Ia sedang keluar karena ada keperluan ketika Miss Sinisi jatuh." "Saya ingin bicara dengan Greta, pembantu rumah tangga Miss Sinisi." "Saya khawatir itu tidak mungkin dilakukan." "Tidak mungkin? Mengapa?" "Ia sudah pergi." "Ke mana?" "Katanya ia pulang. Ia sangat kalut." "Di mana rumahnya?" Penjaga pintu itu menggeleng. "Saya tidak tahu." "Apakah ada orang di apartemen itu sekarang?" "Tidak, Ma'am." Dana berpikir cepat. "Bos saya ingin saya meliput berita tentang kematian Miss Sinisi untuk WTN. Boleh saya melihat-lihat apartemen itu sekali lagi? Beberapa hari yang lalu saya sudah ke sini." Penjaga pintu itu berpikir beberapa saat, lalu mengangkat bahu. "Saya rasa tidak ada masalah. Saya harus ke atas bersama Anda." "Baiklah," kata Dana. Mereka naik menuju penthouse tanpa berbicara. Ketika sampai di lantai tiga puluh, si penjaga pintu mengeluarkan kunci khusus dan membuka pintu apartemen A. Dana melangkah ke dalam. Keadaan apartemen itu tepat seperti ketika terakhir kali Dana melihatnya. Namun sekarang Joan Sinisi tidak ada lagi di sana. "Apakah Anda ingin melihat bagian tertentu, Miss Evans?" "Tidak," Dana berbohong. "Saya hanya ingin menyegarkan ingatan." Ia berjalan di gang menuju ruang duduk dan bergerak ke arah teras. "Di situlah wanita malang itu jatuh," kata si penjaga pintu. Dana melangkah ke teras luar yang luas tersebut dan berjalan ke tepinya. Teras itu seluruhnya dikitari dinding setinggi 1,2 meter. Tidak mungkin orang tanpa sengaja jatuh ke baliknya. Dana melihat ke jalan di bawahnya, yang dipenuhi lalu lintas padat menjelang Natal, dan berpikir, Siapakah yang begitu kejam sehingga tega melakukan hal seperti itu? Ia bergidik. Si penjaga pintu berdiri di sebelahnya. "Anda tidak apa-apa?" Dana menarik napas dalam. "Ya, tidak apa-apa Terima kasih." "Apakah Anda ingin melihat-lihat lagi?" "Tidak, sudah cukup yang saya lihat." Lobi kantor polisi di pusat kota penuh dengan bajingan, pemabuk, pelacur, dan turis-turis yang kesal karena dompet mereka menghilang secara misterius. "Saya ke sini untuk menemui Detektif Marcus Abrams," kata Dana pada sersan yang bertugas di meja depan. "Lantai tiga di sebelah kanan." "Terima kasih." Dana berjalan di koridor. Pintu kantor Detektif Abrams terbuka. "Detektif Abrams?" Ia sedang berada di depan lemari arsip, laki-laki berperawakan besar dengan perut buncit dan mata cokelat yang letih. Ia memandang Dana. "Ya?" Pria itu mengenalinya. "Dana Evans. Apa yang bisa saya lakukan untuk Anda?" "Saya diberitahu bahwa Andalah yang menangani kasus-sekali lagi kata itu-"kecelakaan Joan Sinisi." "Benar." "Bisakah Anda ceritakan soal tersebut pada saya?" Ia berjalan ke meja kerjanya sambil membawa setumpuk dokumen, dan duduk. 'Tidak banyak yang bisa diceritakan. Kejadian itu kalau bukan kecelakaan, tentu bunuh diri. Duduklah." Dana mengambil kursi. "Apakah ada orang lain bersamanya ketika peristiwa itu terjadi?" "Cuma pembantu rumah tangganya. Waktu itu ia ada di dapur. Menurut pengakuannya, tidak ada orang lain di sana." "Apakah Anda tahu di mana saya bisa menghubungi pembantu itu?" Dana bertanya. Detektif Abrams berpikir. "Ia akan masuk berita malam ini, eh?" Dana tersenyum padanya. "Benar." Detektif Abrams berjalan kembali ke lemari arsip dan mencari-cari di antara berbagai dokumen. Ia mengambil selembar kartu. "Ini dia. Greta Miller. Connecticut Avenue sebelas-delapan puluh. Cukup?" Dua puluh menit kemudian Dana mengendarai mobilnya di Connecticut Avenue, melihat nomor-nomor rumah: 1170... 1172... 1174. 1176... 1178... Nomor 1180 adalah lapangan parkir. "Apakah kau benar-benar percaya perempuan Sinisi itu dilempar dari teras?" Jeff bertanya. "Jeff, tidak mungkin orang menelepon untuk mengadakan janji pertemuan penting, kemudian bunuh diri. Ada yang tidak ingin ia menceritakan sesuatu padaku. Ini sungguh mengesalkan. Rasanya seperti Hound of the Baskervilles. Tidak seorang pun mendengar anjing itu menyalak. Tak seorang pun tahu apa-apa." Jeff berkata, "Masalah ini jadi menakutkan. Aku tidak yakin apakah kau harus meneruskan kasus ini." "Aku tidak bisa berhenti sekarang. Aku harus mencari tahu." "Kalau kau benar, Dana, berarti enam orang sudah terbunuh." Dana menelan ludah. "Aku tahu." "...dan pembantu itu memberikan alamat palsu pada polisi dan menghilang," Dana berkata pada Matt Baker. "Ketika aku berbicara dengan Joan Sinisi, ia memang tampak gelisah, tapi aku sama sekali tidak punya kesan ia orang yang berniat bunuh diri. Pasti ada orang yang membantunya terjun dari balkon." "Tapi kita tidak punya bukti." "Ya. Tapi aku tahu aku benar. Ketika pertama kali aku bertemu dengannya, Joan Sinisi baik-baik saja sampai aku menyebut nama Taylor Winthrop untuk kedua kalinya. Saat itulah ia jadi panik. Itulah pertama kali aku melihat cacat pada legenda indah yang dibangun Taylor Winthrop. Orang seperti Winthrop tidak bakal memberikan banyak uang pada sekretarisnya kalau wanita itu tidak punya rahasia penting mengenai atasannya. Pasti ini pemerasan. Ada yang aneh. Matt, apakah kau kenal orang yang pernah bekerja pada Taylor Winthrop dan mungkin pernah punya masalah dengannya, orang yang tidak takut untuk bicara?" Matt Baker merenung sejenak. "Kau mungkin bisa pergi menemui Roger Hudson. Ia pimpinan mayoritas di Senat sebelum pensiun, dan pernah bekerja pada Taylor Winthrop dalam satu atau dua komite. Ia mungkin tahu sesuatu. Ia orang yang tidak pernah takut pada siapa pun." "Bisakah kau mengaturkan pertemuanku dengannya?" "Coba kulihat apa yang bisa kulakukan." Satu jam kemudian, Matt Baker berbicara di telepon. "Kau dapat menemui Roger Hudson hari Kamis siang di rumahnya di Georgetown." "Terima kasih, Matt. Aku sangat menghargai jerih payahmu." "Aku harus memperingatkanmu. Dana..." "Ya?" "Hudson bisa menyengat" "Akan kuusahakan untuk tidak terlalu dekat. Matt Baker sudah hendak meninggalkan kantor ketika Elliot Cromwell masuk. "Aku ingin bicara denganmu soal Dana." "Ada masalah?" "Tidak, dan aku tidak ingin ada masalah. Urusan Taylor Winthrop yang sedang diselidikinya-" "Ya." "Ia telah mengusik beberapa orang, dan menurutku ia cuma buang-buang waktu. Aku kenal Taylor Winthrop dan keluarganya. Mereka semua orang baik." Matt Baker berkata, "Bagus. Kalau begitu tentu tidak ada bahayanya kalau Dana terus menyelidik." Elliot Cromwell memandang Matt sesaat, lalu mengangkat bahu. 'Terus kabari aku." "Apakah sambungan ini aman?" "Ya, Sir." "Bagus. Kita sangat mengandalkan informasi dari WTN. Apakah kau yakin informasimu dapat diandalkan?" "Sepenuhnya. Informasi itu datang dari menara eksekutif." DELAPAN Rabu pagi, waktu sedang menyiapkan sarapan, Dana mendengar suara keras di luar. ia melongok keluar jendela dan terkejut melihat ada truk barang di depan gedung apartemen. Orang-orang tengah memuat perabotan ke atas truk itu. Siapa yang pindah? Dana bertanya dalam hati. Apartemen-apartemen di gedung ini sudah terisi, dan mereka semua menyewa untuk jangka panjang. Dana meletakkan sereal di meja ketika mendengar ketukan di pintu. Ternyata Dorothy Wharton. "Dana, aku punya kabar untukmu," ia berkata gembira. "Aku dan Howard akan pindah ke Roma hari ini." Dana tercengang menatapnya. "Roma? Hari ini?" "Luar biasa, bukan? Minggu lalu seseorang datang menemui Howard. Urusannya sangat rahasia. Howard melarangku bicara pada siapa pun. Yah, tadi malam laki-laki itu menelepon dan menawari Howard pekerjaan di perusahaannya di Italia dengan gaji tiga kali yang sekarang." Dorothy berseri-seri. "Wah, sungguh-sungguh menyenangkan," kata Dana. "Kami akan merindukan kalian." "Kami akan merindukanmu juga." Howard datang ke pintu. "Kurasa Dorothy sudah memberitahumu ?" "Ya. Aku turut gembira. Tapi aku mengira kalian sudah memutuskan untuk tinggal di sini seumur hidup? Namun tiba-tiba-" Howard terus berbicara. "Tak bisa dipercaya. Betul-betul mendadak. Perusahaan besar pula. Ita-liano Ripristino. Mereka salah satu konglomerat terbesar di Italia. Mereka punya anak perusahaan yang bergerak di bidang restorasi bangunan rusak. Aku tidak tahu bagaimana mereka tahu tentang aku. tapi mereka mengirim orang jauh-jauh ke sini hanya untuk merundingkan pekerjaan denganku. Banyak monumen di Roma yang perlu diperbaiki. Mereka bahkan membayar sisa uang sewa di sini selama satu tahun dan kami mendapatkan kembali uang depositnya. Satu-satunya masalah, kami harus ada di Roma besok pagi. Itu berarti kami harus keluar dari sini hari ini juga." Dana berkata hati-hati, "Itu tidak biasa, bukan?" "Aku rasa mereka terburu-buru." "Apakah kau perlu bantuan untuk berkemas?" Dorothy menggeleng. "Tidak. Kami tidak tidur semalaman. Sebagian barang-barang itu akan disumbangkan. Dengan gaji Howard yang baru, kami bisa membeli yang lebih baik." Dana tertawa. "Kirim kabar, Dorothy" Satu jam kemudian keluarga Wharton sudah meninggalkan apartemen mereka dan dalam perjalanan menuju Roma. Ketika Dana tiba di kantor, ia berkata pada Olivia, "Bisakah kau mengecek sebuah perusahaan untukku?" "Tentu." "Namanya Italiano Ripristino. Aku yakin kantor pusatnya ada di Roma." "Baiklah." Tiga puluh menit kemudian Olivia memberikan secarik kertas pada Dana. "Ini. Perusahaan itu salah satu yang paling besar di Eropa " Dana merasa sangat lega. "Bagus. Aku senang mendengarnya." "Omong-omong," kata Olivia, "itu bukan perusahaan swasta." "Oh?" "Ya. Perusahaan itu milik pemerintah Italia." Ketika siang itu Dana membawa pulang Kemal dari sekolah, seorang laki-laki separo baya yang berkacamata tengah pindah ke apartemen Wharton. Hari Kamis, hari pertemuan Dana dengan Roger Hudson, dimulai dengan berbagai kekacauan. Pada rapat televisi pertama, Robert Fenwick mengatakan, "Tampaknya kita akan mendapat masalah untuk siaran malam nanti." "Coba jelaskan," kata Dana. "Kau tahu kru yang kita kirim ke Irlandia? Kita akan memakai Film mereka malam ini?" "Ya?" "Mereka ternyata ditahan. Seluruh peralatan mereka disita." "Kau serius?" "Aku tidak pernah bercanda soal orang Irlandia." Ia mengangsurkan sehelai kertas pada Dana. "Ini berita pembukaan kita tentang bankir Washington yang dituduh melakukan penggelapan." "Ini cerita yang bagus," kata Dana. "Liputan eksklusif kita." "Bagian legal kita baru saja mencoretnya." "Apa?" "Mereka takut digugat." "Hebat," kata Dana pahit. "Aku belum selesai. Saksi kasus pembunuhan yang kita jadwalkan untuk wawancara langsung malam ini-" "Ya..." "Ia berubah pikiran. Ia tidak akan datang." Dana mengerang. Saat ini belum lagi pukul 10.00. Satu-satunya yang diharapkan Dana bisa mencerahkan hari ini hanyalah pertemuannya dengan Roger Hudson. * * * Ketika Dana kembali dari rapat, Olivia berkata, "Sekarang pukul sebelas, Miss Evans. Dengan cuaca seperti ini, barangkali kau harus berangkat sekarang juga untuk memenuhi janji pertemuan dengan Mr. Hudson." 'Terima kasih, Olivia. Aku akan kembali dalam dua atau tiga jam." Dana memandang ke luar jendela. Salju mulai turun lagi. Ia memakai mantel dan syal dan beranjak ke pintu. Telepon berdering. "Miss Evans..." Dana berbalik. "Ada telepon untukmu di saluran tiga." "Jangan sekarang," kata Dana. "Aku harus pergi." "Ini dari sekolah Kemal." "Apa?" Dana buru-buru kembali ke mejanya. "Halo?" "Miss Evans?" "Ya." "Ini Thomas Henry." "Ya. Mr. Henry. Apakah Kemal baik-baik saja?" "Saya sungguh tidak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan itu. Saya sangat menyesal harus mengatakan ini, tapi Kemal dikeluarkan." Dana berdiri dengan perasaan terguncang. "Dikeluarkan. Kenapa? Apakah yang telah diperbuatnya?" "Mungkin kita seharusnya bertemu untuk membicarakan persoalan ini. Saya akan sangat berterima kasih kalau Anda bersedia datang dan menjemputnya." "Mr. Henry-" "Akan saya jelaskan begitu Anda datang ke sini, Miss Evans. Terima kasih." Dana tertegun dan meletakkan kembali gagang telepon. Apa yang terjadi? Olivia bertanya, "Semua baik-baik saja?" "Hebat." Dana mengerang. "Pagi ini jadi sempurna." "Apakah ada yang bisa kulakukan?" "Doakan aku saja." Pagi tadi, ketika Dana mengantar Kemal ke sekolah, melambai sebelum berpisah, dan berlalu, Ricky Underwood mengawasi. Begitu Kemal melewatinya, Ricky berkata, "Hei, ini dia sang pahlawan perang. Ibumu itu pasti sangat frustrasi. Kau cuma punya satu tangan, jadi saat kau main-main dengannya-" Gerakan Kemal nyaris tak bisa dilihat saking cepatnya. Kakinya menendang keras selangkangan Ricky, dan sewaktu Ricky menjerit dan membungkuk, lutut kiri Kemal terayun ke atas dan mematahkan hidungnya. Darah muncrat. Kemal mencondongkan badan ke arah sosok yang mengaduh-aduh di tanah itu. "Lain kali aku akan membunuhmu." Dana mengemudikan mobil secepat mungkin ke Theodore Roosevelt Middle School, sambil dalam hati bertanya-tanya apakah yang telah terjadi. Apa pun kejadiannya, aku harus membujuk Henry agar Kemal bisa tetap bersekolah. Thomas Henry sudah menunggu Dana di kantornya. Kemal duduk di kursi di seberangnya. Ketika Dana masuk, ia merasakan deja vu, seakan kejadian ini sudah pernah dialaminya "Miss Evans." Dana berkata, "Apa yang terjadi?" "Putra Anda mematahkan hidung dan tulang pipi anak lain. Ia harus dibawa dengan ambulans ke UGD." Dana memandangnya dengan perasaan tak percaya. "Bagaimana-bagaimana mungkin itu bisa terjadi? Kemal cuma punya satu tangan." "Ya." kata Thomas Henry kaku. "Tapi ia punya dua kaki. Ia mematahkan hidung anak itu dengan lututnya." Kemal mengamati langit-langit. Dana menoleh ke arahnya. "Kemal, bagaimana kau bisa melakukan itu?" Ia memandang ke bawah. "Gampang." "Anda lihat apa yang saya maksudkan, Miss Evans," Thomas Henry berkata. "Sikapnya itu- saya-saya tidak tahu bagaimana menjelaskannya. Saya merasa kami tidak bisa lagi mentolerir tingkah laku Kemal. Saya sarankan Anda mencari sekolah yang lebih cocok untuknya." Dana berkata sungguh-sungguh, "Mr. Henry, Kemal tidak pernah memulai perkelahian. Saya yakin, bila ia berkelahi, tentu ada alasannya. Anda tidak bisa-" Mr. Henry berkata tegas, "Kami sudah mengambil keputusan. Miss Evans." Ada kepastian tak terbantah dalam suaranya Dana menarik napas dalam. "Baiklah. Kami akan mencari sekolah yang lebih punya pengertian. Ayo, Kemal." Kemal berdiri, melotot pada Mr. Henry, dan mengikuti Dana keluar dari kantor. Mereka berjalan ke trotoar tanpa berbicara. Dana melihat arloji. Ia sudah terlambat untuk menghadiri janji pertemuannya, dan ia tidak punya tempat untuk menitipkan Kemal. Aku harus membawanya. Ketika mereka masuk ke mobil. Dana berkata, "Baiklah, Kemal. Apa yang sebenarnya terjadi?" Tidak mungkin ia menceritakan apa yang sebenarnya diucapkan Ricky Underwood. "Maaf, Dana. Aku yang salah." Rad, pikir Dana. Rumah Hudson terletak di lahan seluas lima ekar di daerah eksklusif Georgetown. Rumah itu, tak terlihat dari jalan, adalah rumah tiga tingkat bergaya Georgia dan terletak di bukit. Bagian luarnya berwarna putih dan ada jalan masuk yang panjang hingga ke pintu depan. Dana menghentikan mobil di depan rumah itu. Ia memandang Kemal. "Kau ikut denganku." "Mengapa?" "Sebab di luar sini sangat dingin. Ayolah." Dana pergi ke pintu depan dan Kemal dengan enggan mengikuti. Dana menoleh padanya. "Kemal, aku ke sini untuk wawancara yang sangat penting. Aku ingin kau tenang dan sopan. Oke?" "Oke." Dana membunyikan bel. Pintu dibukakan laki-laki raksasa berwajah ramah yang mengenakan seragam kepala pelayan. "Miss Evans?" "Ya." "Saya Cesar. Mr. Hudson sudah menunggu Anda." Ia memandang Kemal, lalu kembali pada Dana. "Boleh saya simpan mantel Anda?" Sesaat kemudian ia menggantungkannya di lemari ruang depan. Kemal terus memandangi Cesar, yang menjulang tinggi di depannya. "Berapa tinggimu?" Dana berkata, "Kemal! Bersikaplah yang sopan." "Oh, tidak apa-apa, Miss Evans. Saya sudah terbiasa mendengar pertanyaan seperti itu." "Apakah kau lebih besar daripada Michael Jordan?" Kemal bertanya. "Kurasa begitu." Si pengurus rumah tangga tersenyum. "Tinggi saya sekitar 2,3 meter. Silakan lewat sini." Ruang depan rumah itu luar biasa besar, berupa lorong dengan lantai kayu hardwood, dihiasi cermin-cermin antik, dan meja-meja marmer. Sepanjang dindingnya ada rak-rak berisi patung-patung kecil dari Dinasti Ming dan kaca tiup Chihuly. Dana dan Kemal mengikuti Cesar menyusuri lorong panjang itu menuju ruang duduk berdinding kuning pucat dan berperabotan kayu putih. Ruangan itu diisi sofa-sofa nyaman, meja Ratu Anne, dan kursi Sheraton yang dibungkus sutra kuning pucat. Senator Roger Hudson dan istrinya, Pamela, duduk di depan meja backgammon. Mereka berdiri ketika Cesar mengabarkan kedatangan Dana dan Kemal. Roger Hudson berwajah tegas, berusia akhir lima puluhan, dengan mata kelabu dingin dan senyum waspada. Sikapnya menjaga jarak dan hati-hati. Pamela Hudson cantik, sedikit lebih muda dan suaminya. Ia tampak hangat, terbuka, dan rendah hati. Rambutnya pirang terang dan sedikit beruban, dan ia tidak berusaha menyembunyikannya. "Maaf saya terlambat," kata Dana. "Saya Dana Evans. Ini anak saya, Kemal." "Saya Roger Hudson. Ini istri saya, Pamela." Dana sudah mencari informasi tentang Roger Hudson di Internet. Ayahnya "memiliki perusahaan baja kecil, Hudson Industries, dan Roger Hudson membangunnya menjadi konglomerat yang merambah ke seluruh dunia. Ia milyarder, pernah menjadi pimpinan mayoritas Senat, dan mengepalai Komite Angkatan Bersenjata. Ia sudah pensiun dari bisnis dan kini menjadi penasihat politik Gedung Putih. Dua puluh lima tahun yang lalu, ia menikah dengan wanita cantik bernama Pamela Donnelly. Mereka berdua tokoh di masyarakat Washington dan berpengaruh dalam dunia politik. Dana berkata, "Kemal, ini Mr. dan Mrs. Hudson." Ia memandang Roger. "Saya minta maaf karena harus membawanya serta, tapi-" "Sama sekali bukan masalah," kata Pamela Hudson. "Kami tahu semua tentang Kemal." Dana memandangnya, terkejut. "Benarkah?" "Ya. Banyak artikel yang sudah ditulis mengenai Anda, Miss Evans. Anda menyelamatkan Kemal dari Sarajevo. Itu perbuatan yang sangat mulia." Roger Hudson berdiri saja, berdiam diri. "Apa yang bisa kami sajikan untuk Anda?" Pamela Hudson bertanya. "Tidak perlu repot-repot, terima kasih," kata Dana. Mereka mengalihkan pandangan pada Kemal. Anak itu menggeleng. "Silakan duduk." Roger Hudson dan istrinya duduk di sofa. Dana dan Kemal duduk di dua kursi santai di depan mereka. Roger Hudson berkata tegas, "Saya tidak tahu pasti mengapa Anda ke sini, Miss Evans. Matt Baker meminta saya menemui Anda. Apakah yang bisa saya lakukan untuk Anda?" "Saya ingin bicara dengan Anda mengenai Taylor Winthrop." Roger Hudson mengernyit. "Memangnya kenapa?" "Saya tahu Anda mengenalnya?" "Ya. Saya bertemu dengan Taylor ketika ia menjadi duta besar untuk Rusia. Waktu itu, saya adalah kepala Komite Angkatan Bersenjata. Saya pergi ke Rusia untuk mengevaluasi kemampuan persenjataan mereka. Taylor bersama komite kami selama dua atau tiga hari." "Bagaimana pendapat Anda tentang dia, Mr. Hudson?" ia merenung sejenak. "Terus terang, Miss Evans, saya tidak terlalu terkesan dengan semua kehebatannya. Tetapi harus saya katakan bahwa menurut saya orang itu sangat mampu." Kemal, karena bosan, melihat sekelilingnya, berdiri, dan pergi ke ruang sebelah. "Apakah Anda tahu kalau-kalau Duta Besar Winthrop terlibat masalah ketika bertugas di Rusia?" Roger menatapnya dengan pandangan bertanya-tanya. "Saya kurang mengerti. Masalah seperti apa?" "Masalah... masalah yang mungkin menimbulkan permusuhan. Maksud saya, musuh yang sungguh mematikan." Roger Hudson menggeleng perlahan. "Miss Evans, seandainya itu pernah terjadi, bukan saya saja yang akan mengetahuinya, seluruh dunia tentu akan tahu juga. Taylor Winthrop selalu dalam sorotan publik. Boleh bertanya ke mana arah pertanyaan ini?" Dana berkata canggung, "Saya pikir Taylor Winthrop mungkin pernah melakukan sesuatu kepada seseorang yang begitu buruk sehingga menimbulkan motif untuk membunuhnya beserta keluarganya." Pasangan Hudson sama-sama menatapnya. Dana cepat-cepat meneruskan. "Saya tahu ini kedengarannya terlalu mengada-ada, tetapi demikian pula kematian mereka yang penuh kekerasan dalam jangka waktu kurang dari setahun." Roger Hudson berkata tegas, "Miss Evans, saya sudah hidup cukup lama untuk mengetahui bahwa apa saja mungkin terjadi, tetapi ini-apa yang mendasari pendapat Anda ini?" "Kalau yang Anda maksud bukti nyata, saya tidak memilikinya." "Saya tidak heran." Ia ragu-ragu. "Saya memang pernah mendengar bahwa..." Suaranya menghilang. "Sudahlah." Dua wanita itu memandangnya. Pamela berkata lembut. "Itu tidak adil bagi Miss Evans, Sayang. Apakah yang tadi hendak kaukatakan?" Ia mengangkat bahu. "Tidak penting." Ia berpaling pada Dana. "Ketika saya ke Moskow, memang ada desas-desus Winthrop terlibat suatu transaksi pribadi dengan orang-orang Rusia. Tapi saya tidak mau berurusan dengan kabar angin, dan saya yakin Anda pun tidak, Miss Evans." Nadanya terdengar seperti memarahi. Sebelum Dana sempat menanggapi, terdengar suara keras dari perpustakaan di ruang sebelah. Pamela Hudson berdiri dan bergegas mendatangi suara itu. Roger dan Dana mengikuti. Mereka berhenti di pintu. Di perpustakaan, sebuah vas biru Dinasti Ming tergeletak di lantai, hancur berkeping-keping. Kemal berdiri di sebelahnya "Oh, Tuhan," kata Dana, ngeri. "Saya minta maaf. Kemal, bagaimana kau bisa-" 'Tidak sengaja kok." Dana berpaling pada suami-istri Hudson, wajahnya merah padam karena jengah. "Saya sungguh minta maaf. Saya pasti akan menggantinya. Saya-" "Jangan mengkhawatirkan soal ini," Pamela Hudson berkata sambil tersenyum ramah. "Anjing kami sering berbuat lebih parah." Wajah Roger Hudson muram. Ia hendak mengatakan sesuatu, tetapi tatapan sang istri membungkamnya. Dana memandang kepingan-kepingan vas itu. Harganya mungkin lebih dari gajiku selama sepuluh tahun, pikirnya. "Bagaimana kalau kita kembali ke ruang duduk saja?" Pamela Hudson mengusulkan. Dana mengikuti suami-istri Hudson bersama Kemal di sebelahnya. "Jangan ke mana-mana" gumamnya gusar. Mereka duduk kembali Roger Hudson memandang Kemal. "Apa penyebab kau kehilangan lenganmu. Nak?" Dana terperanjat mendengar pertanyaan tanpa basa-basi itu, tetapi Kemal langsung menjawab. "Bom." "Oh, begitu. Bagaimana dengan orangtuamu, Kemal?" "Mereka berdua tewas bersama saudara perempuan saya karena serangan udara." Roger Hudson mendengus. "Perang terkutuk." Pada saat itu Cesar masuk ruangan. "Makan siang sudah siap." Santap siangnya amat lezat. Dana melihat Pamela hangat dan menyenangkan, sementara Roger Hudson banyak berdiam diri. "Apa yang sedang Anda kerjakan sekarang?" tanya Pamela Hudson pada Dana. "Kami sedang merancang tayangan baru yang akan dinamai Crime Line. Kami akan menyoroti orang-orang yang lolos dari hukum meskipun telah melakukan kejahatan, dan kami mencoba menolong orang-orang tak bersalah yang dijebloskan ke dalam penjara." Roger Hudson berkata, "Washington tempat yang bagus untuk mulai. Kota ini penuh petinggi munafik yang lolos walaupun sudah melakukan segala kejahatan yang bisa kaupikirkan." "Roger pernah duduk di beberapa komite reformasi pemerintah," Pamela Hudson berkata bangga. "Dan banyak sekali manfaatnya," sang suami menggerutu. "Perbedaan antara benar dan salah rasanya kian kabur. Hal itu seharusnya diajarkan di rumah. Sekolah-sekolah kita jelas tidak mengajarkannya." Pamela Hudson memandang Dana. "Omong-omong, saya dan Roger akan mengadakan jamuan makan malam kecil Sabtu malam ini. Apakah Anda mau datang?" Dana tersenyum. "Terima kasih. Dengan senang hati." "Apakah Anda punya pasangan?" "Ya. Jeff Connors." Roger Hudson berkata, "Reporter berita olahraga di stasiun Anda?" "Ya." "Ia bagus. Saya kadang-kadang menontonnya," katanya. "Saya ingin bertemu dengannya." Dana tersenyum. "Saya yakin Jeff pasti mau datang." Ketika Dana dan Kemal berpamitan pulang, Roger Hudson menarik Dana ke pinggir. "Terus terang, Miss Evans, saya berpendapat teori konspirasi Anda mengenai keluarga Winthrop tadi cuma angan-angan. Tetapi demi Matt Baker, saya bersedia menyelidik untuk melihat apakah saya bisa menemukan informasi yang dapat mendukungnya." "Terima kasih." Terus terang, Miss Evans, saya berpendapat teori konspirasi Anda mengenai keluarga Winthrop tadi cuma angan-angan. Tetapi demi Matt Baker, saya bersedia menyelidik untuk melihat apakah saya bisa menemukan informasi yang dapat mendukungnya. Terima kasih. Rekaman habis. SEMBILAN Mereka sedang rapat pagi membicarakan Crime Line, dan Dana berada di ruang rapat itu bersama enam staf reporter dan periset. Olivia menjulurkan kepala ke dalam. "Mr. Baker ingin menemuimu." "Katakan padanya aku akan ke sana sebentar lagi." "Bos menunggumu." 'Terima kasih, Abbe. Kau kelihatan ceria." Abbe mengangguk. "Aku akhirnya bisa tidur nyenyak semalam. Selama beberapa- " "Dana? Masuklah ke sini," Matt berseru. "Kita teruskan nanti,"" kata Abbe. Dana masuk ke kantor Matt. "Bagaimana pembicaraan dengan Roger Hudson?" "Aku merasa ia tidak terlalu tertarik. Menurutnya teoriku gila." "Sudah kubilang ia bukan orang yang terlalu ramah." "Memang butuh kesabaran untuk menghadapinya. Istrinya menyenangkan. Kau harus mendengarkannya bicara tentang kegilaan masyarakat Washington. Bicara tentang kejahatan." "Aku tahu. Ia wanita yang luar biasa." Dana kebetulan bertemu Elliot Cromwell di ruang makan eksekutif. "Bergabunglah denganku," kata Elliot Cromwell. "Terima kasih." Dana duduk. "Bagaimana kabar Kemal?" Dana ragu-ragu. "Saat ini, kurasa sedang ada masalah." "Oh? Masalah apa?" "Kemal dikeluarkan dari sekolah." "Kenapa?" "Ia berkelahi sampai lawannya harus masuk rumah sakit." "Pantas." "Aku yakin perkelahian itu bukan karena Kemal," kata Dana defensif. "Ia sering sekali diejek karena hanya punya satu tangan." Elliot Cromwell berkata, "Aku rasa kondisi itu sangat sulit baginya." "Memang. Aku sudah berusaha membuatkan prostese. Tapi rupanya ada masalah." "Kelas berapa Kemal sekarang?" "Tujuh." Elliot Cromwell merenung. "Apakah kau pernah dengar tentang Lincoln Preparatory School?" "Oh, ya. Tapi setahuku sangat sulit masuk ke sana." Ia menambahkan, "Dan nilai Kemal tidak terlalu bagus." "Aku punya beberapa koneksi di sana. Apakah kau mau aku mengusahakannya?" "Aku-kau baik sekali." "Senang bisa membantu." Siang itu Elliot Cromwell memanggil Dana. "Aku punya kabar baik untukmu. Aku sudah bicara dengan kepala sekolah Lincoln Preparatory School, dan ia setuju Kemal bersekolah di sana selama masa percobaan. Bisakah kau mengantarkannya ke sana besok pagi?' "Tentu saja. Aku--" Dana butuh beberapa saat untuk memahami kabar itu. "Oh, luar biasa! Aku senang sekali. Terima kasih banyak. Aku sangat menghargai usahamu, Elliot." "Aku ingin kau tahu aku menghargaimu, Dana. Menurutku, tindakanmu membawa Kemal ke negeri ini sangat bagus. Kau orang yAng sangat istimewa." "Aku-terima kasih." Ketika Dana meninggalkan kantor tersebut, ia berpikir. Ini pasti butuh pengaruh amat besar. Dan kebaikan hati. Lincoln Preparatory School berlokasi di kompleks luas, terdiri atas gedung besar bergaya Edward, tiga sayap yang lebih kecil, halaman yang luas dan terawat baik, serta lapangan bermain yang luas, dipangkas rapi. Saat berdiri di depan pintu masuknya, Dana berkata, "Kemal, ini sekolah terbaik di Washington. Kau bisa belajar banyak di sini, tapi kau harus bersikap positif. Mengerti?" "Sweet." "Dan kau tidak boleh berkelahi." Kemal tidak menjawab. Dana dan Kemal diantar masuk ke kantor Rowana Trott, sang kepala sekolah. Ia wanita yang menarik, dengan sikap yang ramah. "Selamat datang," katanya. Ia menoleh pada Kemal. "Sudah banyak yang kudengar mengenai dirimu, anak muda. Kami semua berharap kau mau bergabung di sini." Dana menunggu Kemal mengucapkan sesuatu. Tetapi, ketika anak itu tetap bungkam, ia berkata, "Kemal juga berharap bisa bersekolah di sini." "Bagus. Kupikir kau akan menemukan banyak teman baik di sekolah ini." Kemal berdiri saja tanpa menjawab. Seorang wanita tua masuk ke kantor. Mrs. Trott berkata, "Ini Becky. Becky, ini Kemal. Bagaimana kalau kau ajak Kemal melihat-lihat? Perkenalkanlah ia pada beberapa gurunya." "Baiklah. Mari, Kemal." Kemal memandang Dana dengan tatapan memohon, lalu berbalik dan mengikuti Becky ke luar. "Saya ingin memberikan penjelasan soal Kemal," Dana mulai. "Ia-" Mrs. Trott berkata, "Anda tidak perlu melakukannya, Miss Evans. Elliot Cromwell sudah menceritakan situasi dan latar belakang Kemal. Saya tahu ia telah mengalami banyak peristiwa yang tak semestinya dialami anak-anak, dan kami siap untuk memberikan kelonggaran." "Terima kasih," kata Dana." "Saya sudah punya transkip nilai Kemal dari Theodore Roosevelt Middle School. Coba kita lihat apakah kita bisa memperbaikinya," Dana mengangguk. "Kemal anak yang amat cerdas." "Saya yakin begitu. Nilainya untuk pelajaran matematika membuktikan hal itu. Kami akan mencoba mendorongnya berprestasi dalam semua pelajaran lain." "Fakta bahwa ia cuma punya satu tangan sangat traumatis baginya," sambung Dana. "Saya berharap bisa membereskan persoalan ini." Mrs. Trott mengangguk penuh pengertian. 'Tentu." Ketika Kemal selesai berkeliling sekolah, ia dan Dana kembali ke mobil. Saat itulah Dana berkata, "Aku tahu kau akan senang belajar di sini." Kemal tak menyahut. "Sekolah yang bagus, bukan?" Kemal menjawab, "Parah." Dana menghentikan langkah. "Kenapa?" Suara Kemal seperti tersangkut di kerongkongan. "Mereka punya lapangan tenis dan sepak bola dan aku tak bisa-" Matanya berkaca-kaca. Dana memeluknya. "Maafkan aku, Sayang." Dan dalam hati ia berkata, Aku harus berbuat sesuatu untuk membereskan masalah ini. Jamuan santap malam di rumah keluarga Hudson Sabtu malam itu mewah dan bersuasana resmi. Ruangan-ruangan indah itu dipenuhi orang-orang paling berpengaruh di ibukota, termasuk di antaranya Menteri Pertahanan, beberapa anggota Kongres, dan kepala Federal Reserve, serta duta besar Jerman. Roger dan Pamela berdiri di ambang pintu ketika Dana dan Jeff tiba. Dana memperkenalkan Jeff. "Saya suka kolom dan siaran olahraga Anda," kata Roger Hudson. 'Terima kasih." Pamela berkata, "Mari saya perkenalkan kalian dengan beberapa tamu lain." Banyak di antara para tamu sudah mereka kenal, dan sambutan mereka sungguh hangat. Sepertinya hampir semua tamu di situ penggemar Dana atau Jeff, atau keduanya. Ketika mereka berdua beberapa saat, Dana berkata, "Aduh, daftar tamu di sini seperti daftar Who's Who." Jeff meraih tangannya. "Kau selebriti terhebat di sini. Sayang." "Tidak mungkin." kata Dana. "Aku cuma-" Saat itulah. Dana melihat Jenderal Victor Booster dan Jack Stone menghampiri mereka. "Selamat sore. Jenderal," sapa Dana. Booster memandangnya dan berkata ketus, "Apa yang kaukerjakan di sini?" Wajah Dana jadi merah padam. "Ini malam ramah taman," kata sang jenderal kasar. "Aku tidak tahu kalau pers diundang." Jeff memandang gusar Jenderal Booster. "Tunggu!" katanya. "Kita sama-sama berhak-" Victor Booster tak menghiraukannya. Ia mencondongkan badan ke dekat Dana. "Ingat apa yang kujanjikan padamu kalau kau mencari masalah." Ia berjalan pergi. Jeff tertegun memandangnya, takjub. "Ya Tuhan Apa-apaan tadi itu?" Jack Stone terpaku, wajahnya merah padam. "Saya-saya minta maaf. Jenderal kadang-kadang memang begitu. Ia tidak begitu diplomatis." "Kami sudah melihatnya," jawab Jeff dingin. Santap malam itu sendiri fantastis. Di hadapan masing-masing pasangan terdapat daftar menu bertulisan tangan indah: Foie gras Bismarck dengan Lettuce Boston, peppercorn dan dressing cuka xeres thernidor lobster maine dengan saus sampagne mornag Fillet daging wellington dengan kentang panggang Orloff dan tumis sayur Souffle cokelat hangat dengan saus alkohol rasa jeruk dan keping cokelat, disajikan dengan saus nougatine Sungguh jamuan yang mewah. Dana terkejut ketika tahu posisi duduknya ternyata di sebelah Roger Hudson. Pasti Pamela yang mengatur, pikirnya. "Pamela bercerita bahwa Kemal masuk Lincoln Preparatory School " Dana tersenyum. "Ya. Elliot Cromwell yang mengusahakannya, ia memang luar biasa " Roger Hudson mengangguk. "Begitulah yang saya dengar." Ia ragu sebentar. "Ini mungkin tidak berarti apa-apa, tapi tak lama sebelum Taylor Winthrop menjadi duta besar untuk Rusia, ia memberitahu teman-teman dekatnya ia betul-betul sudah mengundurkan diri dari kehidupan publik." Dana mengernyit. "Dan kemudian ia menerima penugasan sebagai duta besar untuk Rusia?" "Ya." Aneh. Dalam perjalanan pulang, Jeff bertanya pada Dana, "Apa yang kaulakukan sampai Jenderal Booster begitu sengit padamu?" "Ia tidak ingin aku menyelidiki kematian keluarga Winthrop." "Mengapa?" "Ia tidak menjelaskan. Ia cuma menyalak " Jeff berkata lambat-lambat. "Gigitannya lebih berbahaya daripada salakannya, Dana. Ia bukan sembarang musuh." Ia memandang Jeff dengan perasaan ingin tahu. "Kenapa?" "Ia kepala" FRA, Badan Riset Federal." "Aku tahu. Mereka mengembangkan teknologi untuk membantu negara-negara belum berkembang mempelajari produksi modern dan- " Jeff berkata kering, "Dan Sinterklas betul-betul ada." Dana memandangnya, bingung. "Apa maksudmu?" "Badan itu cuma kedok. Fungsi FRA yang sesungguhnya adalah memata-matai berbagai badan intelijen asing dan menyadap komunikasi mereka. Sungguh ironis. Frater dalam bahasa Latin berarti saudara-cuma yang ini berarti Saudara Tua, dan Saudara Tua ini ternyata mengawasi semua orang. Mereka lebih misterius daripada NSA sekalipun." Dana berkata sambil merenung, "Taylor Winthrop dulu pernah jadi kepala FRA. Menarik." "Kusarankan kau menyingkir sejauh-jauhnya dari Jenderal Booster" "Aku memang berniat begitu." "Aku tahu kau ada masalah dengan penjaga Kemal, Manis, jadi kalau kau mau pulang- " Dana merapatkan badan padanya. "Tidak, ia bisa menunggu. Aku tidak. Ayo kita pergi ke tempatmu " JefT tersenyum. "Sudah dari tadi aku menunggu kau bicara begitu." Jeff tinggal di apartemen kecil dalam bangunan empat lantai di Madison Street. Jeff membawa Dana ke kamar tidur. "Aku akan senang bila kita sudah pindah ke apartemen yang lebih besar," kala Jeff. "Kemal harus punya kamar sendiri. Bagaimana kalau kita- " "Bagaimana kalau kita berhenti bicara?" Dana mengusulkan. Jeff memeluknya. "Gagasan bagus." Ia mengulurkan tangan ke belakang Dana dan memeluk pinggulnya, membelai-belainya lembut. Ia mulai menanggalkan pakaian Dana. 'Tahukah kau bahwa kau memiliki tubuh yang indah?" "Semua orang mengatakan begitu," kata Dana. "Itu bahan omongan di seluruh penjuru kota. Kau mau membuka pakaian atau tidak?" "Aku sedang memikirkannya." Dana bergerak menghampiri dan mulai membuka kancing kemejanya. "Kau tahu, kau ini genit." Dana tersenyum. "Persis." Saat Jeff selesai menanggalkan pakaian. Dana sudah berbaring menunggunya di ranjang. Ia menghangatkan diri dalam pelukan Jeff. Jeff kekasih yang luar biasa, sensual, dan penuh perhatian. "Aku sangat cinta padamu," Dana berbisik. "Aku cinta padamu, Sayangku." Sewaktu Jeff meraihnya, terdengar suara telepon genggam berdering. "Punyaku atau punyamu?" Mereka tertawa. Telepon berdering lagi. "Punyaku." kata Jeff. "Biarkan saja berdering." "Mungkin penting," kata Dana. "Oh, baiklah." Jeff duduk, kesal. Ia mengangkat telepon. "Halo?" Suaranya berubah. "Tidak, tidak apa-apa... Teruskan... Tentu saja... Aku yakin tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Mungkin cuma stres." Percakapan berlanjut sampai lima menit. "Baik... Tenang saja... Baik... Selamat malam, Rachel." Ia mematikan telepon. Tidakkah sekarang sudah terlalu malam bagi Rachel untuk menelepon? "Ada yang tidak beres, Jeff?" "Tidak. Rachel terlalu banyak bekerja. Ia cuma perlu istirahat. Ia akan baik-baik saja." Ia memeluk Dana dan berkata lembut, "Sampai di mana kita tadi?" Ia menarik tubuh Dana yang telanjang agar merapat padanya dan pesona itu pun mulai. Dana lupa akan masalah keluarga Winthrop, Joan Sinisi, para jenderal, pembantu rumah tangga, Kemal, sekolah, dan hidup jadi terasa penuh gelora dan kegembiraan. Beberapa waktu kemudian, Dana berkata enggan, "Sayang sudah tiba saatnya Cinderella kembali jadi labu." "Dan labu yang hebat! Akan kusiapkan keretaku." Dana memandang bagian bawah tubuh Jeff. "Kurasa sudah siap. Sekali lagi?" Ketika Dana tiba di rumah, wanita dari perusahaan penyedia penjaga anak sudah tak sabar menunggu. "Sekarang sudah pukul setengah dua," katanya ketus. "Maaf. Saya tertahan." Dana memberi wanita itu uang ekstra. "Naik taksi saja," katanya. "Berbahaya di luar sana. Sampai besok malam." Wanita itu berkata, "Miss Evans, saya rasa Anda harus tahu..." "Ya?" "Sepanjang malam tadi Kemal terus merecoki saya, menanyakan kapan Anda pulang. Anak itu amat merasa tidak aman." "Terima kasih. Selamat malam." Dana masuk ke kamar Kemal. Ia belum tidur, sedang bennain game komputer. "Hai, Dana." "Kau seharusnya sudah tidur, pal." "Aku menunggumu pulang. Apakah jamuannya menyenangkan?" "Luar biasa, tapi aku merindukanmu. Sayang." Kemal mematikan komputer. "Apakah kau akan pergi setiap malam?" Dana memikirkan berbagai emosi di balik pertanyaan itu. "Aku akan berusaha lebih sering bersamamu, Sayang." SEPULUH Telepon itu datang tanpa disangka-sangka pada Senin pagi. "Dana Evans?' "Ya." "Saya Dr. Joel Hirschberg. Saya dari Children's Foundation." Dana mendengarkan, sambil bertanya-tanya dalam hati. "Ya?" "Elliot Cromwell memberitahu saya bahwa Anda ada masalah untuk mendapatkan lengan palsu bagi anak Anda." Dana harus berpikir beberapa saat. "Ya, begitulah." "Mr. Cromwell menguraikan latar belakangnya. Yayasan ini didirikan untuk menolong anak-anak dari negara-negara yang hancur karena perang. Dari uraian Mr. Cromwell pada saya, anak Anda jelas termasuk dalam kelompok itu. Saya ingin tahu apakah Anda mau membawanya menemui saya?" "Yah, saya-well, ya, tentu saja." Mereka membuat janji untuk bertemu siang itu. Ketika Kemal pulang dari sekolah. Dana berkata penuh semangat, "Kau dan aku akan pergi menemui seorang dokter untuk mendapatkan lengan baru untukmu. Kau mau?" Kemal memikirkannya. "Entahlah. Itu kan bukan lengan asli." "Akan dibuat semirip mungkin dengan aslinya. Oke, pal?" "Cool." Dr. Joel Hirschberg menarik, serius, berusia akhir empat puluhan, dengan sikap kompeten. Setelah Dana dan Kemal menyapanya, Dana berkata, "Dokter, saya ingin menjelaskan terlebih dahulu bahwa kita harus membereskan masalah keuangannya dulu, sebab saya pernah diberitahu bahwa karena Kemal masih dalam masa pertumbuhan, lengan palsu baru bakal tidak pas setiap-" Dr. Hirschberg menyela. "Seperti sudah saya katakan pada Anda di telepon, Miss Evans, Children's Foundation didirikan terutama untuk menolong anak-anak dari negara yang dilanda peperangan. Kami akan mengurus biayanya." Dana merasakan luapan perasaan lega. "Bagus sekali." Ia berdoa dalam hati. Semoga Tuhan memberkati Elliot Cromwell. Dr. Hirschberg menoleh kembali pada Kemal. "Sekarang, mari kita periksa dulu dirimu, anak muda." Tiga puluh menit kemudian Dr Hirschberg berkata pada Dana. "Saya kira kita bisa memperbaikinya sehingga hampir seperti baru lagi." Ia menarik gulungan gambar di dinding. "Kami punya dua macam prostese, lengan myoelectric adalah yang paling canggih, dan lengan yang dioperasikan dengan kabel. Seperti bisa kalian lihat di sini, lengan myoelectric terbuat dari plastik dan dibungkus sarung yang menyerupai tangan." Ia tersenyum pada Kemal. "Lengan ini kelihatan seperti asli." Kemal bertanya, "Apakah bisa digerakkan?" Dr. Hirschberg berkata, "Kemal, apakah kau pernah berpikir hendak menggerakkan tanganmu? Maksud saya, tangan yang sudah tidak ada lagi itu." "Ya." jawab Kemal. Dr. Hirschberg mencondongkan badan ke depan. "Nah, tiap kali kau memikirkan tangan bayangan itu, otot-otot yang dulu dipakai di sana akan berkontraksi dan otomatis menghasilkan sinyal myoelectric. Dengan kata lain. kau bakal bisa membuka dan menutup tangan hanya dengan memikirkannya." Wajah Kemal berubah cerah. "Benarkah? Bagaimana-bagaimana aku bisa memasang dan melepaskan lengan itu?" "Caranya sangat sederhana, Kemal. Kau hanya perlu menempelkan lengan baru itu. Lengan itu dilengkapi perangkat sedot dan diselubungi kaus nilon tipis. Kau memang tidak bisa memakainya ketika berenang, tetapi kau bisa melakukan hampir semua aktivitas lainnya. Lengan itu seperti sepatu. Kau melepasnya di waktu malam dan memasangnya lagi di pagi hari." "Berapakah bobotnya?" Dana bertanya. "Sekitar setengah kilogram." Dana menoleh pada Kemal. "Bagaimana pen-dapatmu. Sayang? Kita coba?" Kemal mencoba menyembunyikan luapan gembira hatinya. "Apakah lengan itu kelihatan seperti asli?" Dr. Hirschberg tersenyum. "Ya." "Kedengarannya hebat." "Selama ini kau terpaksa jadi kidal, jadi kau perlu melupakan kebiasaan itu dulu. Ini akan makan waktu, Kemal. Kami bisa langsung memasangnya, tetapi kau harus berkonsultasi dengan ahli terapi beberapa lama untuk belajar cara membuat lengan itu jadi bagian tubuhmu dan bagaimana mengendalikan sinyal-sinyal myoelectric tersebut." Kemal menarik napas dalam. "Bagus." Dana memeluk Kemal erat-erat. "Pasti hebat," katanya. Ia menahan tangis. Dr Hirschberg mengawasi mereka beberapa saat, lalu tersenyum. "Ayo kita mulai bekerja." Sekembalinya ke kantor, Dana langsung masuk untuk menemui Elliot Cromwell. "Elliot, kami baru saja pulang dari Dr. Hirschberg." "Bagus. Aku harap ia bisa membantu Kemal." "Kelihatannya bisa. Aku tidak bisa mengatakan betapa aku sangat berterima kasih." "Dana, kau tidak perlu berterima kasih. Aku senang bisa membantu. Kabari aku tentang perkembangannya." "Pasti!' Diberkatilah kau. "Bunga!" Olivia melangkah ke dalam kantor sambil membawa buket bunga besar. "Indah sekali!" Dana berseru. Ia membuka amplop dan membaca kartunya. Dear Miss Evans, Salakan teman kita jauh lebih hebat daripada gigitannya. Semoga Anda menyukai bunga-bunga ini. Jack Stone. Dana mengamati kartu itu sesaat. Menarik, pikirnya. Jeff mengatakan gigitannya lebih hebat daripada salakannya. Mana yang benar? Dana merasa Jack Stone benci pekerjaannya. Dan benci bosnya. Akan kuingat itu Dana menelepon Jack Stone di FRA. "Mr. Stone? Saya cuma mau mengucapkan terima kasih atas bunga-" "Apakah Anda ada di kantor?" "Ya. Saya-" "Saya akan menelepon kembali." Terdengar nada sambung. Tiga menit kemudian Jack Stone menelepon. "Miss Evans, akan lebih baik bagi kita berdua bila teman bersama kita tidak tahu kita bicara. Saya sudah mencoba mengubah sikapnya, tetapi ia keras kepala. Bila Anda membutuhkan saya- saya maksudkan benar-benar membutuhkan saya-saya akan memberi Anda nomor telepon selular pribadi saya. Anda jadi bisa berhubungan dengan saya kapan saja." 'Terima kasih." Dana mencatat nomor itu. "Miss Evans-" "Ya." "Tidak apa-apa. Hati-hati. Ketika Jack Stone masuk pagi itu. Jenderal Booster sudah menunggu. "Jack, aku merasa si Evans itu pengacau. Aku ingin kau mulai mengumpulkan informasi mengenai dia. Dan terus laporkan padaku." "Saya akan mengurusnya." Namun tidak akan ada laporan. Dan ia telah mengirim bunga pada Dana. Dana dan Jeff sedang berada di ruang makan eksekutif stasiun televisi, berbincang-bincang tentang prostese Kemal. Dana berkata, "Aku gembira sekali, Sayang. Ini akan membuat segalanya berubah. Selama ini ia suka berkelahi karena merasa rendah diri. Ini akan mengubah semuanya." "ia pasti gembira sekali," kata Jeff. "Aku tahu aku sangat gembira." "Dan hebatnya. Children's Foundation akan membiayai semuanya. Kalau kita bisa-" Telepon genggam Jeff berdering. "Maaf, Sayang." Ia menekan sebuah tombol dan berbicara ke telepon. "Halo?... Oh..." Ia melirik Dana. "Tidak... Tidak apa-apa... Teruskanlah..." Dana berusaha tidak mendengarkan. "Ya... aku tahu... Baiklah... Mungkin bukan masalah yang serius, tapi kau sebaiknya pergi ke dokter. Di mana kau sekarang? Brazil? Di sana banyak dokter yang baik. Tentu saja... aku mengerti... Tidak..." Percakapan itu sepertinya berlarut-larut. Jeff akhirnya berkata, "Hati-hati. Selamat tinggal." Ia meletakkan telepon. Dana berkata, "Rachel?" "Ya. Ia ada masalah fisik. Ia membatalkan pemotretan di Rio. Belum pernah ia berbuat seperti ini." "Mengapa ia meneleponmu. Jeff?" "Ia tidak punya orang lain, Sayang. Ia sendirian." "Selamat tinggal, Jeff." Rachel memutuskan percakapan telepon dengan enggan, tak rela menyudahinya. Ia memandang keluar jendela, ke gunung Sugarloaf di kejauhan dan pantai Ipanema jauh di bawah. Ia masuk ke kamar tidur dan berbaring, kehabisan tenaga. Kejadian-kejadian hari ini berpusar dalam benaknya. Pagi ini dimulai dengan baik. ia syuting iklan untuk American Express, berpose di pantai. Menjelang tengah hari sang sutradara berkata, "Yang terakhir tadi hebat, Rachel. Tapi mari kita lakukan sekali lagi." Ia hendak mengiyakan, tapi kemudian mendengar dirinya berkata, "Tidak. Maaf. Aku tidak bisa." Si sutradara terperanjat memandangnya. "Apa?" "Aku sangat letih. Maaf, aku harus pergi." Ia berbalik dan kembali ke hotel, melewati lobi, masuk dalam ketenteraman kamarnya. Ia gemetar dan merasa mual. Aku kenapa? Keningnya terasa demam. Ia mengangkat telepon dan menghubungi Jeff. Mendengar suaranya saja sudah membuatnya merasa lebih baik. Diberkatilah Jeff, ia selalu siap mendampingiku, penyelamatku. Ketika percakapan itu selesai, Rachel berbaring di ranjang, sambil berpikir. Kami pernah menikmati saat-saat indah bersama, ia selalu menyenangkan. Kami senang melakukan berbagai hal yang sama, dan kami senang berbagi segalanya. Mengapa aku bisa membiarkannya pergi? Ia memaksa dinnya mengingat kembali bagaimana perkawinan itu berakhir. Semua diawali sebuah telepon. "Rachel Stevens." "Ya." "Roderick Marshall ingin bicara." Salah satu sutradara paling penting di Hollywood. Sesaat kemudian pria itu berbicara di telepon "Miss Stevens?' "Ya?" "Roderick Marshall. Anda tahu siapa saya?" Ia pernah menonton beberapa filmnya. "Tentu saja, Mr. Marshall." "Saya sudah melihat beberapa foto Anda. Kami di Fox memerlukan Anda. Apakah Anda bersedia datang ke Hollywood untuk tes akting?" Rachel bimbang beberapa saat. "Entahlah. Maksud saya, saya tidak tahu apakah saya bisa berakting. Saya tidak pernah-" "Jangan khawatir. Saya yang akan menangani soal itu. Kami akan membayar semua pengeluaran Anda, tentu saja. Saya sendiri yang akan mengarahkan tes itu. Kapan kira-kira Anda bisa tiba di sini?" Rachel memikirkan jadwalnya. "Tiga minggu lagi" "Bagus. Studio akan membereskan semuanya." Sesudah meletakkan telepon, Rachel sadar ia belum berunding dengan Jeff, ia tidak akan keberatan, pikirnya. Kami toh jarang bersama. "Hollywood?" Jeff mengulangi. "Ini peluang bagus, Jeff." Jeff mengangguk. "Baik. Lakukanlah. Kariermu mungkin akan jadi melejit." "Kau bisa ikut denganku?" "Manis, kami akan main di Cleveland Senin ini, lalu kami akan pergi ke Washington, kemudian Chicago. Masih banyak pertandingan yang tersisa dalam jadwal. Kurasa tim akan timpang kalau salah satu pitcher mereka tidak hadir." "Sayang sekali." Ia mencoba bicara dengan nada biasa. "Hidup kita rasanya tidak pernah bersatu, ya. Jeff?" "Kurang sering." Rachel hendak menanggapinya, tapi ia berpikir. Sekarang bukan saat yang tepat. Rachel dijemput pegawai studio di bandara Los Angeles dengan limusin panjang. "Nama saya Henry Ford." Ia terkekeh. "Tidak ada sangkut pautnya dengan Henry Ford yang terkenal itu. Mereka memanggil saya Hank." Limusin meluncur mulus di antara lalu lintas. Sepanjang perjalanan, ia mengomentari tempat-tempat yang mereka lewati. "Pertama kali ke Hollywood, Miss Stevens?" "Tidak. Saya sudah berkali-kali ke sini. Terakhir dua tahun yang lalu." "Well, tentu sudah banyak perubahan. Kota ini makin besar dan makin bagus. Kalau Anda menyukai kemewahan, Anda akan menyukai tempat ini." Kalau aku menyukai kemewahan. "Studio sudah memesankan kamar untuk Anda di Chateau Marmont. Semua selebriti menginap di situ." Rachel pura-pura terkesan. "Benarkah?" "Oh, ya. John Belushi meninggal di sana. Anda tahu, sesudah overdosis." "Wah." "Gable dulu sering menginap di sana, Paul Newman, Marilyn Monroe." Daftar nama itu berlanjut terus. Rachel berhenti mendengarkan. Chateau Marmont terletak di sebelah utara Sunset Strip, tampak seperti puri dalam setting film. Henry Ford berkata, "Pukul dua saya akan menjemput dan membawa Anda ke studio. Anda akan bertemu Roderick Marshall di sana." "Saya akan siap." Dua jam kemudian Rachel sudah berada di kantor Roderick Marshall. Ia berumur empat puluhan, berperawakan kecil dan tegap, penuh energi. "Kau akan senang karena sudah memutuskan datang," katanya. "Aku akan membuatmu jadi bintang besar. Kita akan melakukan tes pengambilan gambar besok. Aku akan menyuruh salah satu asisten mengantarmu memilih pakaian yang bagus. Kau akan mengikuti tes adegan salah satu film besar kami. End of a Dream. Besok pagi pukul tujuh kita mulai dengan makeup dan tata rambut. Aku rasa itu bukan hal baru bagimu, heh?" Rachel berkata datar, "Ya." "Apakah kau sendirian di sini, Rachel?" "Ya." "Bagaimana kalau kita makan malam bersama nanti malam?" Rachel mempertimbangkannya sejenak. "Baiklah." "Aku akan menjemputmu pukul delapan " Makan malam ternyata merupakan malam yang menghebohkan "Kalau kau tahu ke mana harus pergi-dan kau bisa masuk," Roderick Marshal berkata kepada Rachel, "L.A. punya klub-klub paling panas di dunia." Acara malam itu dimulai di Standard, bar, restoran, dan hotel trendy di Sunset Boulevard. Saat mereka melewati meja penerimaan, Rachel berhenti dan terperangah. Di samping meja itu, di balik jendela berkaca hablur, ada seorang model telanjang yang sedang dilukis. "Hebat, kan?" "Luar biasa," kata Rachel. Sesudah mengunjungi beberapa klub yang riuh dan penuh sesak, di penghujung malam Rachel kehabisan tenaga. Roderick Marshall mengantarnya sampai hotel. "Tidurlah yang nyenyak. Besok akan mengubah seluruh hidupmu." Pukul 07.00, Rachel sudah berada di ruang make up. Bob Van Dusen, si juru rias, memandangnya kagum dan berkata, "Dan mereka membayarku untuk melakukan ini?" Rachel tertawa. "Kau tidak perlu banyak makeup. Alam sudah membereskannya." "Terima kasih." Setelah Rachel siap, seorang wanita penata busana membantunya mengenakan gaun yang sudah mereka coba siang kemarin. Asisten sutradara membawanya ke panggung besar. Roderick Marshall dan krunya sudah menunggu. Si sutradara mengamati Rachel sesaat dan berkata, "Sempurna. Kita akan melakukan tes yang terdiri atas dua bagian, Rachel. Kau akan duduk di kursi ini dan aku akan menanyaimu beberapa pertanyaan. Bersikaplah apa adanya." "Baik. Dan bagian kedua?" "Tes skenario pendek seperti yang pernah ku-sebutkan." Rachel duduk dan juru kamera mengatur fokus. Roderick Marshall berdiri di luar jangkauan kamera. "Apakah kau siap?" "Ya." "Bagus. Santai saja. Kau pasti bagus. Kamera. Action. Selamat pagi." "Selamat pagi." "Kudengar kau model." Rachel tersenyum. "Ya." "Bagaimana awalnya?" "Waktu itu aku berumur lima belas tahun. Pemilik sebuah agen model melihatku bersama ibuku di restoran. Ia mendatangi kami dan berbicara dengan ibuku, dan beberapa hari kemudian aku pun jadi model." Wawancara selama lima belas menit itu berlangsung lancar, dan kecerdasan serta ketenangan Rachel tampak jelas. "Cut! Bagus!" Roderick Marshall mengangsurkan skenario pendek untuk tes. "Kita akan istirahat. Bacalah ini. Begitu kau siap, beritahu aku, dan kita akan mengambil gambarnya. Kau sangat alami. Rachel." Rachel membaca skenario. Isinya tentang istri yang meminta cerai dari suaminya. Rachel membacanya lagi "Aku siap." Rachel diperkenalkan pada Kevin Webster, yang akan jadi lawan mainnya-pria muda dan tampan khas Hollywood "Baiklah," kata Roderick Marshall. "Mari kita ambil gambarnya. Kamera. Action." Rachel memandang Kevin Webster. "Aku sudah bicara dengan pengacara perceraian pagi tadi. Cliff." "Aku telah mendengarnya. Tidakkah seharusnya kau bicara lebih dulu denganku?" "Aku sudah bicara denganmu. Aku sudah bicara tentang masalah ini sepanjang tahun lalu. Kita sudah tidak punya perkawinan lagi. Tapi kau tidak mendengarkan, Jeff." "Cut," kata Roderick. "Rachel, namanya Cliff." Rachel berkata malu, "Maaf." "Ayo kita mulai lagi. Pengambilan kedua." Adegan ini benar-benar tentang aku dan Jeff, pikir Rachel. Kami sudah tidak punya perkawinan lagi Bagaimana bisa punya? Kami menjalani kehidupan sendiri-sendiri. Kami jarang bertemu. Kami berjumpa orang-orang yang menarik, tetapi kami tidak bisa terlibat gara-gara kontrak yang tidak lagi bermakna apa-apa. "Rachel!" "Maaf." Adegan itu dimulai lagi. Selesai menjalani tes tersebut, Rachel sudah mengambil dua Keputusan: Ia tidak cocok di Hollywood. Dan ia menginginkan perceraian.... Kini, berbaring di ranjang di Rio, merasa sakit dan letih, Rachel berpikir, Aku melakukan kesalahan. Tak seharusnya aku menceraikan Jeff. Hari Selasa ketika Kemal selesai sekolah, Dana membawanya ke ahli terapi yang menangani Kemal dan lengan barunya. Lengan buatan itu tampak seperti asli dan berfungsi dengan baik, tetapi Kemal masih sulit membiasakan diri, secara fisik maupun psikologis. "Ia akan merasa seperti ditempeli benda asing," demikian ahli terapi itu pernah menjelaskan pada Dana. "Tugas kami adalah membuatnya menerima lengan itu sebagai bagian tubuhnya sendiri. Ia harus membiasakan diri untuk bekerja dengan lengan kanan lagi. Biasanya butuh waktu belajar sekitar dua atau tiga bulan. Saya harus memperingatkan Anda bahwa ini bisa jadi saat-saat yang sangat sulit." "Kami bisa menanganinya," Dana meyakinkannya. Kenyataannya tidaklah demikian mudah. Pagi berikutnya, Kemal keluar dari ruang belajar tanpa prostesenya. "Aku siap." Dana memandangnya dengan perasaan kaget. "Mana lenganmu, Kemal?" Kemal mengangkat tangan kirinya dengan sikap menantang. "Ini." "Kau tahu apa yang kumaksud. Mana prostese-mu?" "Benda itu menyebalkan. Aku tidak mau memakainya lagi." "Kau akan terbiasa, Sayang. Aku janji. Kau harus mencobanya. Aku akan membantumu untuk-" "Tidak ada yang dapat membantuku. Aku orang cacat fukati... " Sekali lagi Dana pergi menemui Detektif Marcus Abrams. Ketika Dana melangkah masuk, Abrams sedang duduk di belakang meja kerja, sibuk menyusun berbagai laporan. Ia mengangkat muka, cemberut. "Kau tahu apa yang kubenci dari pekerjaan terkutuk ini?" Ia menunjuk tumpukan dokumen tersebut. "Ini. Aku seharusnya bisa berada di jalanan, asyik menembaki penjahat. Oh, aku lupa. Kau reporter, bukan? Jangan mengutip kata-kataku." "Terlambat." "Dan apa yang bisa kulakukan untukmu hari ini, Miss Evans?" "Saya datang untuk bertanya tentang kasus Sinisi. Apakah sudah diadakan autopsi?" "Pro forma." Ia mengambil beberapa dokumen dari laci meja. "Apakah ada yang mencurigakan dalam laporan itu?" Ia melihat Detektif Abrams memeriksa dokumen itu. "Tidak ada alkohol... tidak ada obat terlarang... Tidak." ia mengangkat muka. "Sepertinya wanita ini sangat tertekan dan memutuskan untuk mengakhiri segalanya. Begitu saja?" "Ya," kata Dana. Dana selanjutnya mampir ke kantor Detektif Phoenix Wilson. "Selamat pagi, Detektif Wilson " "Dan apakah yang membawamu ke kantorku yang buruk ini?" "Saya ingin tahu apakah ada berita baru mengenai pembunuhan Gary Winthrop." Detektif Wilson menghela napas dan menggaruk hidung. "Sama sekali tidak ada. Aku mengira sekarang ini mestinya salah satu lukisan itu sudah muncul Itulah yang kami harapkan." Dana hendak berkata, Seandainya aku jadi kau, aku tidak akan berharap begitu, tapi ia menahan diri. "Tidak ada petunjuk apa pun?" "Sama sekali tidak. Bajingan-bajingan itu lolos dengan mulus. Kami tidak banyak menghadapi kasus pencurian benda seni, tetapi modus operandinya hampir selalu sama. Itulah yang sangat mengherankan." "Mengherankan?" "Yeah. Yang ini beda." "Berbeda... bagaimana?" "Pencuri benda seni tidak membunuh orang yang tak bersenjata, dan tidak ada alasan bagi orang-orang ini untuk menembak Gary Winthrop dengan darah dingin seperti itu." Ia berhenti. "Apakah kau ada minat khusus pada kasus ini?" "Tidak," Dana berbohong. "Sama sekali tidak Cuma sekadar ingin tahu. Saya-" "Baiklah," kata Detektif Wilson. "Tetaplah me-ngabariku." Di akhir rapat yang diadakan di kantor Jenderal Booster di markas besar FRA yang terpencil, sang jenderal berpaling pada Jack Stone dan bertanya, "Bagaimana perkembangan si Evans?" "Ia bertanya ke sana-sini, tetapi saya kira tidak berbahaya. Ia tidak akan menemukan apa pun." "Aku tidak suka ia mengendus-endus kian kemari Tingkatkan sampai kode tiga." "Kapan Anda ingin mulai?" "Segera." Dana tengah bersiap untuk siaran berikutnya ketika Matt Baker masuk ke kantornya dan duduk di kursi. "Aku baru saja menerima telepon mengenai kau." Dana berkata ringan, "Penggemarku rupanya tidak pernah bosan denganku, bukan? "Yang ini sudah." "Oh?" 'Telepon tadi dari FRA. Mereka minta kau menghentikan penyelidikanmu mengenai Taylor Winthrop. Tidak ada permintaan resmi. Menurut istilah mereka, ini cuma saran bersahabat. Sepertinya mereka ingin kau memedulikan urusanmu sendiri saja." "Memang itu yang aku lakukan, bukan?" kata Dana. Ia beradu pandang dengan Matt. "Kau jadi bertanya-tanya apa penyebabnya, bukan? Aku tidak akan mundur dari menyelidiki suatu berita gara-gara ada lembaga pemerintah ingin aku berhenti. Masalah ini dimulai di Aspen, tempat Taylor dan istrinya tewas dalam kebakaran. Aku akan pergi ke sana dulu. Dan kalau ada sesuatu di sana, itu pasti akan jadi cerita awal yang hebat untuk Crime Line." "Berapa lama waktu yang kauperlukan?" "Tidak akan lebih dari satu atau dua hari." "Kerjakanlah." SEBELAS Rachel harus bersusah payah agar bisa bergerak. Sekadar berjalan dari satu ruangan ke ruangan lain di rumahnya di Florida saja terasa meletihkan. Ia tidak bisa mengingat kapan ia pernah merasa begini lelah. Aku mungkin kena flu. Jeff benar. Aku harus ke dokter. Mandi berendam air panas akan membuatku santai.... Saat Rachel berendam dalam air hangat yang menenangkan itulah tangannya meraba payudara dan merasakan benjolan. Reaksi pertamanya adalah merasa terguncang. Lalu penyangkalan. Ini bukan apa-apa. Ini bukan kanker. Aku tidak merokok. Aku berolahraga dan merawat tubuhku. Tidak ada kanker dalam keluargaku. Aku baik-baik saja. Aku akan ke dokter untuk memeriksanya, tapi ini bukan kanker. Rachel keluar dari bak mandi, mengeringkan badan, dan menelepon. "Agen Model Betty Richman." "Aku ingin bicara dengan Betty Richman. Tolong katakan ini dari Rachel Stevens." Sesaat kemudian Betty Richman berbicara di telepon. "Rachel! Senang berbicara denganmu. Kau baik-baik saja?" "Tentu. Mengapa kau bertanya begitu?" "Well, kau mendadak menghentikan pengambilan gambar di Rio, dan kukira mungkin-" Rachel tertawa. "Tidak, tidak. Aku cuma lelah, Betty. Aku ingin segera bekerja lagi." "Itu kabar bagus. Semua orang berusaha memesanmu." "Yah, aku siap. Apa yang ada dalam agenda?" 'Tunggu sebentar." Satu menit kemudian Betty Richman kembali berbicara di telepon. "Pengambilan gambar berikutnya di Aruba. Dimulai minggu depan. Kau masih punya banyak waktu. Mereka memang meminta-mu. "Aku suka Aruba. Ikutkan aku." "Beres. Aku senang kau merasa lebih baik." "Aku merasa hebat." "Akan kukirimkan semua rinciannya." Pukul 14.00 keesokan harinya, Rachel menemui dr. Graham Elgin. "Selamat siang, dr. Elgin." "Dan apakah yang bisa saya lakukan untuk Anda?" "Di payudara kanan saya ada kista kecil dan-" "Oh, Anda sudah menemui dokter?" "Belum, tapi saya tahu kok ini apa. Cuma kista kecil. Saya kenal tubuh saya. Saya ingin Anda melakukan operasi kecil untuk membuangnya." Ia tersenyum. "Saya model. Tidak boleh ada bekas luka pada tubuh saya. Kalau cuma cacat kecil, saya bisa menutupinya dengan makeup. Minggu depan saya akan berangkat ke Aruba, jadi bisakah Anda menjadwalkan operasi ini besok atau lusa?" Dr. Elgin mengamatinya. Mengingat situasinya, Rachel tampak tenang, tapi tak wajar. "Coba saya periksa Anda lebih dulu, lalu saya harus melakukan biopsi. Tetapi ya, kita bisa menjadwalkan operasi dalam minggu ini, bila diperlukan." Rachel berseri-seri. "Bagus." Dr. Elgin berdiri. "Mari kita pergi ke ruangan lain. Saya akan menyuruh juru rawat membawakan pakaian rumah sakit untuk Anda." Lima belas menit kemudian, dengan disaksikan juru rawat, dr. Elgin memeriksa benjolan di payudara Rachel. "Sudah saya katakan pada Anda, Dokter, ini cuma kista." "Well, untuk pastinya. Miss Stevens, saya ingin melakukan biopsi. Saya bisa melakukannya sekarang juga di sini." Rachel mencoba untuk tidak mengernyit ketika dr. Elgin menusukkan jarum kecil ke payudaranya untuk mengambil contoh jaringan. "Selesai. Tidak sakit, kan?" Ketika Rachel tiba di rumah, ia langsung mengeluarkan dua koper dan meletakkannya di ranjang Ia pergi ke lemari pakaian dan mulai mengumpulkan pakaian-pakaian yang akan dibawanya ke Aruba. Jeanette Rhodes, wanita pembersih rumahnya, masuk ke kamar tidur. "Miss Stevens, apakah Anda akan pergi lagi?" "Ya." "Ke mana kali ini?" "Ke Aruba." "Di manakah itu?" "Itu pulau indah di Laut Karibia, sebelah utara Venezuela. Tempat itu seperti surga. Pantai indah, hotel mewah, dan makanan lezat." "Kedengarannya hebat." "Omong-omong, Jeanette, sementara aku pergi, aku ingin kau datang tiga kali seminggu." "Tentu." Pukul 09.00 keesokan harinya, telepon berdering. "Miss Stevens?" "Ya." "Di sini dr. Elgin." "Halo, Dokter. Apakah Anda bisa menjadwalkan operasi itu?" "Miss Stevens, saya baru saja mendapatkan laporan sitologi. Saya ingin Anda datang ke kantor supaya kita bisa-" "Tidak. Saya ingin mendengarnya sekarang juga, Dokter." Dr. Elgin bimbang sesaat. "Saya tidak suka membicarakan hal semacam ini di telepon, tapi laporan penelitian awal ini menunjukkan Anda benar mengidap kanker." Jeff tengah menulis kolom olahraga ketika telepon berdering, ia mengangkatnya. "Halo?" "Jeff..." Ia menangis. "Rachel, kaukah itu? Ada apa? Ada apa?" "Aku-aku kena kanker payudara." "Oh, Tuhan. Seberapa serius?" "Aku belum tahu Aku harus menjalani pemeriksaan mamogram. Jeff, aku tidak bisa menghadapi masalah ini sendirian. Aku tahu aku terlalu banyak meminta, tapi bisakah kau datang ke sini?" "Rachel, aku-sayangnya aku-" "Sehari saja. Hanya sampai aku... tahu." Ia menangis lagi. "Rachel..." Perasaannya terkoyak. "Akan ku-usahakan. Aku akan menelepon lagi nanti." Rachel terisak-isak hebat sehingga tak sanggup bicara. Setelah selesai mengikuti rapat produksi. Dana berkata, "Olivia, tolong pesankan aku tiket pesawat pagi ke Aspen, Colorado. Pesankan hotel juga. Oh, dan aku perlu mobil sewaan." "Baik. Mr. Connors menunggumu di kantor." "Terima kasih." Dana masuk. Jeff sedang memandang ke luar jendela. "Hai, Sayang." Ia berbalik. "Hai, Dana." Tampak ekspresi aneh di wajahnya. Dana memandangnya, waswas. "Kau baik-baik saja?" "Jawabannya ada dua," katanya berat. "Ya dan tidak." "Duduklah," kata Dana. Ia duduk di kursi di depannya. "Ada apa?" Jeff mengembuskan napas. "Rachel kena kanker payudara." Dana merasa agak terkejut. "Aku-aku turut prihatin. Apakah ia akan sembuh?" "ia menelepon pagi tadi. Mereka akan memberitahukan sampai seserius apa keadaannya. Ia panik, ia ingin aku datang ke Florida untuk membantunya mendengar kabar itu. Aku ingin bicara dulu denganmu." Dana menghampiri Jeff dan memeluknya. "Tentu saja kau harus pergi." Dana teringat pada makan siang bersama Rachel dan betapa baik wanita itu. "Aku akan kembali satu atau dua hari lagi." Jeff masuk ke kantor Matt Baker. "Aku menghadapi situasi darurat, Matt. Aku harus cuti beberapa hari." "Kau baik-baik saja, Jeff?" "Ya. Ini soal Rachel " "Mantan istrimu?" Jeff mengangguk. "Ia baru saja tahu bahwa ia mengidap kanker." "Aku ikut prihatin." "Ia butuh dukungan moral. Aku ingin terbang ke Florida siang ini." "Pergilah. Aku akan minta Maury Falstein meng-gantikanmu. Kabari aku bagaimana perkembangannya." "Pasti. Terima kasih. Matt." Dua jam kemudian Jeff sudah berada di pesawat terbang menuju Miami. Kemal merupakan masalah Dana yang paling mendesak. Aku tidak bisa pergi ke Aspen tanpa ada seseorang yang bisa diandalkan di sini untuk menjaganya, Dana pikir. Tetapi siapa yang sanggup menangani kebersihan rumah dan cucian dan anak paling penyendiri di dunia? Ia menelepon Pamela Hudson. "Saya minta maaf terpaksa mengganggu Anda, Pamela, tapi saya harus pergi ke luar kota beberapa hari. dan saya butuh orang untuk tinggal dengan Kemal. Apakah Anda tahu pengurus rumah yang baik dan memiliki kesabaran luar biasa?" Mereka diam beberapa saat. "Kebetulan saya kenal seseorang. Namanya Mary Rowane JDaley, dan ia pernah bekerja pada kami bertahun-tahun yang lalu. Ia dapat dipercaya. Coba saya cari dia, nanti saya minta ia menelepon Anda." "Terima kasih," kata Dana. * * * Satu jam kemudian, Olivia berkata, "Dana, ada telepon untukmu dari orang bernama Mary Daley." Dana mengangkat telepon. "Mrs. Daley?" "Ya. Saya sendiri." Suara yang hangat itu beraksen Irlandia. "Mrs. Hudson mengatakan Anda butuh orang untuk mengurus putra Anda." "Benar," kata Dana. "Saya harus pergi ke luar kota satu atau dua hari. Apakah Anda bisa datang besok pagi-katakan saja sekitar pukul tujuh-supaya kita bisa bicara?" Mary Daley datang keesokan paginya tepat pukul 07.00. Ia tampaknya berusia lima puluhan, berperawakan bulat, dengan sikap ceria dan senyum cerah. Ia berjabatan tangan dengan Dana. "Saya senang sekali bertemu Anda, Miss Evans. Sebisa mungkin saya selalu menonton Anda di TV." "Terima kasih." "Dan di manakah anak muda rumah ini?" Dana memanggil, "Kemal." Sesaat kemudian Kemal keluar dan kamar. Ia memandang Mrs. Daley dan ekspresinya mengatakan Payah. Mrs. Daley tersenyum. "Kemal, kan? Aku belum pernah bertemu orang bernama Kemal Kau tampak seperti jagoan kecil." Ia menghampirinya. "Kau harus memberitahuku semua makanan favoritmu. Aku koki yang hebat. Kita akan bersenang-senang bersama, Kemal." Aku harap begitu, Dana berdoa dalam hati. "Mrs. Daley, apakah Anda bisa tinggal di sini bersama Kemal selama saya pergi?" "Pasti, Miss Evans." "Bagus sekali," kata Dana bersyukur. "Sayang di sini tidak cukup luas. Tempat tidurnya-" Mrs. Daley tersenyum. "Jangan khawatir. Sofa lipat itu sudah memadai." Dana menghela napas lega. Ia melihat arloji. "Bagaimana kalau Anda ikut dengan saya mengantar Kemal ke sekolah? Kemudian Anda bisa menjemputnya pukul dua kurang seperempat." "Baiklah." Kemal menoleh pada Dana. "Kau akan kembali, bukan, Dana?" Dana memeluknya. 'Tentu saja aku akan kembali padamu, Sayang." "Kapan?" "Aku akan kembali beberapa hari lagi." Dengan membawa beberapa jawaban. Ketika Dana tiba di studio, di mejunya tampak sebuah paket yang terbungkus indah. Ia memandangnya dengan perasaan ingin tahu, dan membukanya. Di dalamnya ada sebentuk pena emas yang indah. Kartunya bertuliskan "Dear Dana, semoga selamat di perjalanan." Kartu tersebut ditandatangani The Gang. Penuh perhatian sekali. Dana memasukkannya ke dalam tas tangan. Pada saat yang sama ketika Dana naik ke pesawat terbang, seorang laki-laki berpakaian kerja membunyikan bel apartemen yang pernah ditempati Wharton. Pintu dibuka dan penghuni baru itu memandangnya, lalu mengangguk, dan menutup pintu. Laki-laki itu beralih ke apartemen Dana dan membunyikan bel. Mrs. Daley membuka pintu. "Ya?" "Miss Evans menyuruh saya datang untuk memperbaiki pesawat TV." "Baik. Silakan masuk." Mrs. Daley mengawasi laki-laki itu pergi ke televisi dan mulai bekerja. DUA BELAS Rachel stevens sudah berada di Miami International Airport untuk menjemput Jeff ketika pesawatnya tiba. Ya Tuhan, ia begitu cantik, pikir Jeff Aku tak bisa percaya ia sakit. Rachel memeluknya. "Oh, Jeff! Terima kasih atas kedatanganmu." "Kau kelihatan hebat," Jeff menghiburnya. Mereka berjalan menuju limusin yang sudah menunggu. "Semua ini nanti akan terbukti bukan apa-apa. Lihat saja." "Tentu." Dalam perjalanan pulang, Rachel bertanya, "Bagaimana kabar Dana?" Jeff ragu. Karena Rachel dalam keadaan begitu sakit, ia tidak ingin mengumbar kebahagiaannya sendiri. "Ia baik-baik saja." "Kau beruntung memilikinya. Apakah kau tahu aku dijadwalkan untuk pemotretan di Aruba minggu depan?" "Aruba?" "Ya." Ia meneruskan, "Tahukah kau mengapa aku menerima pekerjaan itu? Karena kita berbulan madu di sana. Apa nama hotel tempat kita menginap dulu?" "Oranjestad" "Hotel yang indah, bukan? Dan apa nama gunung yang kita daki dulu?" "Hooiberg." Rachel tersenyum dan berkata lembut, "Kau belum lupa, ya?" "Biasanya orang tidak melupakan bulan madu mereka, Rachel" Ia memegang lengan Jeff. "Tempat itu seperti surga, bukan? Tidak pernah aku melihat pantai berpasir putih seindah itu." Jeff tersenyum. "Dan kau takut kulitmu jadi cokelat. Kau membungkus diri seperti mumi." Mereka diam beberapa saat. "Itulah salah satu penyesalanku yang paling dalam, Jeff." Ia memandangnya, tak mengerti. "Apa?" "Kita tidak punya-sudahlah." Rachel memandangnya dan berkata lirih, "Aku suka sekali bersamamu di Aruba." Jeff menghindar halus, "Tempat itu memang hebat. Memancing, selancar angin, snorkeling, tenis, golf..." "Dan kita tidak punya waktu untuk melakukan satu pun kegiatan itu, bukan?" Jeff tertawa. "Benar." "Aku akan menjalani tes mamogram besok pagi. Aku tidak ingin sendirian saat mereka melakukannya. Maukah kau menemaniku?" "Tentu saja, Rachel." Ketika mereka tiba di rumah Rachel, Jeff membawa tas-tasnya ke ruang duduk yang luas dan melihat sekelilingnya. "Bagus Sangat bagus." Rachel memeluknya. "Terima kasih, Jeff." ia bisa merasakan tubuh mantan istrinya itu gemetar. Mamogram dilakukan di Tower Imaging di pusat kota Miami. Jeff tinggal di ruang tunggu sementara perawat membawa Rachel ke sebuah ruangan untuk memakai gaun rumah sakit dan kemudian mengiringinya ke ruang rontgen. "Ini makan waktu sekitar lima belas menit, Miss Stevens. Apakah Anda siap?" "Ya. Kapan saya bisa mendapatkan hasilnya?" "Dokter onkologi Anda yang akan menyampaikannya. Ia akan memperolehnya besok." Besok. Nama dokter spesialis tumor itu Scott Young. Jeff dan Rachel masuk ke kantornya dan duduk. Sang dokter memandang Rachel sejenak dan berkata, "Dengan sangat menyesal saya harus mengatakan bahwa saya punya berita buruk untuk Anda, Miss Stevens." Rachel mencengkeram tangan Jeff. "Oh?" "Hasil biopsi dan mamogram Anda menunjukkan Anda mengidap karsinoma invasif." Wajah Rachel pucat pasi. "Apa-apa maksudnya?" "Itu berarti Anda perlu mastektomi, operasi pengangkatan seluruh payudara." "Tidak!" Seruan itu keluar secara naluriah. "Anda tidak bisa-maksud saya, pasti ada cara lain." "Saya khawatir," dr. Young berkata lembut, "perkembangannya sudah terlalu jauh." Rachel diam sesaat. "Saya tidak bisa langsung melakukannya. Anda tahu, saya dijadwalkan untuk difoto di Aruba minggu depan. Saya bisa melakukannya sesudah itu." Jeff mengamati ekspresi khawatir di wajah sang dokter. "Menurut Anda, kapan sebaiknya ia melakukannya, dr. Young?" Ia menoleh pada Jeff. "Secepat mungkin." Jeff memandang Rachel. Rachel berusaha sekuat tenaga untuk tidak menangis. Ketika ia bicara, suaranya bergetar. "Saya mau pendapat pihak kedua." "Tentu." Dr. Aaron Cameron berkata, "Sayangnya, saya sampai pada kesimpulan yang sama seperti dr. Young. Saya merekomendasikan mastektomi." Rachel mencoba mempertahankan suaranya supaya tetap tenang. "Terima kasih, Dokter." Ia menggenggam tangan Jeff dan meremasnya. "Kurasa aku memang harus melakukannya, bukan?" Dr. Young sudah menunggu mereka. "Tampaknya Anda benar,' kata Rachel. "Saya cuma tidak bisa-" Mereka diam beberapa lama. Akhirnya Rachel berbisik, "Baiklah. Kalau memang Anda pasti ini-ini harus dilakukan." "Kami akan berusaha membuat Anda senyaman mungkin," kata dr. Young. "Sebelum melakukan operasi, saya akan mengundang ahli bedah plastik untuk membicarakan rekonstruksi payudara Anda. Zaman sekarang, dokter bisa melakukan banyak mukjizat." Jeff memeluknya ketika Rachel berurai air mata. Tidak ada penerbangan langsung dari Washington, D.C. ke Aspen. Dana naik pesawat Delta Airlines menuju Denver, di sana ia pindah ke pesawat United Express. Belakangan, ia tidak bisa lagi mengingat perjalanan tersebut. Benaknya dipenuhi pikiran mengenai Rachel dan cobaan yang harus dialaminya. Aku senang Jeff ada di sana untuk meringankan bebannya. Dan Dana merasa khawatir soal Kemal. Bagaimana kalau Mrs. Daley berhenti sebelum aku kembali? Aku harus- Suara pramugari terdengar dari loudspeaker. "Beberapa menit lagi, kita akan segera mendarat di Aspen. Silakan memasang sabuk pengaman dan menegakkan kursi Anda." Dana mulai memusatkan pikiran pada apa yang akan dihadapinya Elliot Cromwell berjalan memasuki kantor Matt Baker. "Kudengar Dana tidak akan melakukan siaran malam ini." "Benar. Ia berada di Aspen." "Menindaklanjuti teorinya tentang Taylor Winthrop?" "Yeah." "Aku ingin kau terus memberikan informasi." "Baik." Matt mengamati Cromwell berlalu dan dalam hati berpikir, Ia sangat memperhatikan Dana. Begitu turun dari pesawat, Dana langsung menuju konter penyewaan mobil. Di dalam terminal itu, dr. Carl Ramsey tengah berbicara pada petugas di balik konter, "Tapi saya sudah memesan mobilnya seminggu yang lalu." Petugas itu berkata dengan nada meminta maaf, "Saya tahu, dr. Ramsey, tapi rupanya telah terjadi kekeliruan. Tidak ada satu mobil pun yang tersisa. Di luar ada bus bandara, atau saya bisa menelepon taksi untuk-" "Sudahlah," kata sang dokter, dan pergi dengan marah. Dana memasuki lobi bandara dan berjalan menuju 188 meja penyewaan. "Saya sudah memesan," katanya. "Dana Evans." Petugas itu tersenyum. "Ya, Miss Evans. Kami sudah menunggu Anda." Ia memberikan sehelai formulir untuk ditandatangani dan menyerahkan beberapa kunci. "Mobilnya Lexus putih di tempat parkir satu." 'Terima kasih. Bisakah Anda memberitahukan jalan ke Hotel Little Nell?" "Anda tidak mungkin tidak melihatnya. Hotel itu tepat di tengah kota. East Durant Avenue nomor enam tujuh lima. Saya yakin Anda pasti menyukainya." 'Terima kasih," kata Dana. Petugas itu mengawasinya berjalan keluar pintu. Ada apa sebenarnya? ia bertanya-tanya dalam hati. Hotel Little Nell dibangun seperti vila kecil yang anggun, di kaki pegunungan Aspen yang indah. Di lobinya ada perapian yang menjulang dari lantai sampai langit-langit, dengan api yang terus menyala selama musim dingin, dan jendela-jendela lebar dengan pemandangan pegunungan Rocky yang berselimut salju. Para tamu dalam pakaian ski duduk santai di sofa dan kursi besar. Dana melihat sekeliling dan berpikir, Jeff pasti akan suka tempat ini. Mungkin kami bisa berkunjung ke sini... Selesai mendaftar, Dana berkata pada petugas. "Apakah Anda mungkin tahu di mana letak rumah Taylor Winthrop?" Ia memandang Dana dengan tatapan aneh. "Rumah Taylor Winthrop? Sudah tidak ada. Terbakar hingga rata dengan tanah." Dana berkata, "Saya tahu. Saya hanya ingin melihat-" "Tidak ada apa-apa lagi di sana sekarang, cuma abu, tetapi kalau Anda ingin melihatnya. Anda bisa pergi ke arah timur ke Conundrum Creek Valley. Jaraknya sekitar sepuluh kilometer dari sini." "Terima kasih," kata Dana. "Bisakah Anda menyuruh orang membawakan tas-tas saya ke kamar?" "Tentu, Miss Evans." Dana berjalan kembali ke mobil. Rumah Taylor Winthrop di Conundrum Creek Valley dikelilingi lahan National Forests. Rumah itu dulunya bangunan satu tingkat, terbuat dari batu dan kayu redwood, didirikan di lokasi yang indah dan terpencil. Di halamannya terdapat kolam berang-berang dan sungai kecil. Pemandangannya amat spektakuler. Dan di tengah segala keindahan itu, bagaikan bekas luka yang mengerikan, tampak tumpukan puing rumah tempat dua orang tewas terbakar. Dana berjalan mengelilingi halaman, membayangkan bagaimana keadaan di sana sebelum musibah tersebut. Kelihatan jelas bangunan itu dulunya rumah bertingkat satu yang amat besar. Pasti dulu banyak pintu dan jendela besar yang panjangnya hingga ke lantai. Namun demikian, suami-istri Winthrop tidak bisa meloloskan diri dari salah satu jendela atau pintu itu. Kurasa sebaiknya aku mendatangi dinas pemadam kebakaran. Ketika Dana berjalan memasuki kantor dinas pemadam kebakaran, seorang laki-laki menghampirinya, ia berusia tiga puluhan, tinggi, berkulit kecokelatan, dan tampak atletis, ia mungkin tinggal di lereng-lereng tempat bermain ski, pikir Dana. "Bisa saya bantu, Ma'am?" Dana berkata, "Saya membaca tentang kebakaran yang menimpa rumah Taylor Winthrop dan saya ingin tahu mengenai hal itu." "Yeah. Terjadinya setahun yang lalu. Mungkin musibah paling parah yang pernah terjadi di kota ini." "Pukul berapa kejadiannya?" Seandainya pria itu merasa pertanyaan tersebut aneh, ia tidak menunjukkan tanda-tanda keheranannya. "Saat itu tengah malam. Kami menerima panggilan pukul tiga dini hari. Mobil pemadam kami sampai di sana pukul tiga seperempat, tetapi sudah terlambat. Rumah itu berkobar-kobar. Kami tidak tahu ada orang di dalamnya, sampai kami selesai memadamkan api dan menemukan dua je-nasah. Saat yang memilukan hati." "Apakah Anda tahu apa yang menyebabkan kebakaran itu?" Ia mengangguk. "Oh, yeah. Masalah listrik." "Masalah listrik seperti apa?" "Kami tidak tahu pasti, tetapi sehari sebelum kebakaran, seseorang menelepon tukang listrik supaya datang ke rumah itu untuk membetulkan listrik." "Tapi Anda tidak tahu masalahnya?" "Saya kira ada yang tidak beres dengan sistem alarm kebakarannya." Dana berusaha kedengaran biasa-biasa saja. 'Tukang listrik yang pergi membetulkan-apakah Anda tahu namanya?" "Tidak. Tapi saya kira polisi tentu tahu." "Terima kasih." Ia memandang Dana dengan perasaan ingin tahu. "Mengapa Anda begitu tertarik dengan masalah ini?" Dana berkata sungguh-sungguh, "Saya sedang menulis artikel mengenai kebakaran yang menimpa resort ski di seluruh penjuru negeri ini." Kantor polisi Aspen berupa bangunan satu lantai dari bata merah, terpisah enam blok dari hotel Dana. Petugas penerima tamu mengangkat muka dan berseru, "Anda Dana Evans, penyiar televisi itu?" "Ya" "Saya Kapten Turner. Apa yang bisa saya kerjakan untuk Anda, Miss Evans?" "Saya ingin tahu tentang kebakaran yang menewaskan Taylor Winthrop dan istrinya." "Ya Tuhan, tragedi yang menyedihkan. Masyarakat sini masih terguncang." "Saya bisa mengerti." "Ya. Sayang sekali mereka tidak dapat diselamatkan." "Setahu saya kebakaran itu disebabkan masalah listrik?" "Benar." "Mungkinkah karena sengaja dibakar?" Kapten Turner mengernyit. "Sengaja dibakar? Tidak, tidak. Karena masalah listrik." "Saya ingin bicara dengan tukang listrik yang pergi ke sana sehari sebelum kebakaran. Apakah Anda tahu namanya?" "Saya yakin nama itu ada dalam arsip kami. Mau saya memeriksanya?" "Saya akan sangat berterima kasih." Kapten Turner mengangkat telepon dan berbicara sebentar, lalu berpaling kembali pada Dana. "Baru pertama kali ke Aspen?" "Ya." "Tempat yang indah. Anda main ski?" "Tidak." Tapi Jeff bisa. Kalau kami ke sini kelak... Seorang klerek datang dan menyerahkan sehelai kertas pada Kapten Turner. Ia menyodorkan kertas itu pada Dana. Bunyi tulisannya: Al Larson Electrical Company, Bill Kelly. "Kantor mereka di ujung jalan ini." "Terima kasih banyak, Kapten Turner." "Sama-sama." Sewaktu Dana meninggalkan bangunan itu, seorang laki-laki di seberang jalan berbali k dan berbicara ke telepon genggam. Kantor Al Larson Electrical Company adalah bangunan kecil abu-abu dari semen. Seorang pria yang mirip dengan petugas di kantor dinas pemadam kebakaran, berkulit kecokelatan dan atletis, duduk di depan meja. Ia berdiri ketika Dana masuk. "Selamat pagi." "Selamat pagi," kata Dana. "Saya ingin bicara dengan Bill Kelly." Laki-laki itu mendengus. "Saya juga ingin bicara dengannya." "Maaf?" "Kelly. Ia menghilang hampir setahun yang lalu." "Menghilang?" "Yeah, pergi begitu saja. Tanpa pemberitahuan sedikit pun. Bahkan tidak mengambil bayarannya." Dana berkata perlahan-lahan, "Apakah Anda ingat kapan tepatnya kejadiannya?" "Tentu. Pagi hari saat kebakaran itu terjadi. Kebakaran besar. Anda tahu, yang menewaskan suami-istri Winthrop." Dana bergidik. "Saya tahu. Dan Anda tidak tahu di mana Mr. Kelly berada?" "Tidak. Seperti saya katakan, ia menghilang begitu saja." Pulau terpencil di ujung Amerika Selatan itu sibuk sepanjang pagi karena kedatangan pesawat-pesawat jet. Sekaranglah saat untuk pertemuan itu, dan dua puluh peserta yang beraneka ragam duduk dalam bangunan baru dan dijaga ketat yang dijadwalkan akan dihancurkan segera setelah pertemuan itu berakhir. Si pembicara melangkah ke depan ruangan. "Selamat datang. Saya gembira melihat banyak wajah lama di sini dan beberapa teman baru Sebelum memulai bisnis kita, beberapa di antara Anda prihatin dengan munculnya suatu masalah. Ada pengkhianat di antara kita, mengancam akan mengungkapkan jati diri kita. Kita masih belum tahu siapa dia. Tetapi bisa saya pastikan pada Anda sekalian bahwa ia akan ditangkap secepatnya, dan nasibnya akan seperti nasib semua pengkhianat lain. Tidak ada yang bisa menghalangi kita." Terdengar gumaman terkejut. "Nah. Mari kita mulai lelang ini. Hari ini ada enam belas paket. Mari kita mulai dengan dua milyar. Ada tawaran pertama? Ya. Dua milyar dolar. Ada yang tiga milyar?" TIGA BELAS Ketika kembali berada di kamarnya malam itu, Dana tiba-tiba terpaku dan waswas. Segalanya tampak sama, tapi... ia merasa ada yang berbeda. Apakah barang-barangnya dipindahkan? Penakut, pikir Dana kecut. Ia mengangkat telepon dan menghubungi rumah. Mrs. Daley yang menjawab. "Rumah keluarga Evans." Terima kasih. Tuhan, ia masih ada. "Mrs. Daley?" "Miss Evans!" "Selamat malam. Bagaimana kabar Kemal?" "Well, ia agak nakal, tapi saya bisa menanganinya. Anak-anak saya juga seperti itu." "Apakah semuanya... baik-baik saja?" "Oh, ya." Dana mengembuskan napas lega. "Bisa saya bicara dengannya?" "Tentu." Dana mendengarnya berseru memanggil, "Kemal, dari ibumu." Sesaat kemudian Kemal sudah berbicara di telepon. "Hai, Dana." "Hai, Kemal. Bagaimana kabarmu, Sobat?" "Cool." "Bagaimana sekolah?" "Baik." "Dan apakah kau baik-baik dengan Mrs. Daley?' "Ya, ia hebat." ia lebih dari hebat, pikir Dana. Ia mukjizat. "Kapan kau pulang, Dana?" "Aku pulang besok. Kau sudah makan malam?" "Ya. Makanannya lumayan." Dana nyaris mengatakan, Ini benar-benar kau, Kemal? Ia senang sekali mendengar perubahan pada diri Kemal. "Baiklah, Sayang. Sampai jumpa besok. Selamat malam." "Selamat malam, Dana." Sewaktu Dana bersiap untuk tidur, telepon genggamnya berdering. Ia mengambilnya. "Halo?' "Dana?" Ia merasakan luapan kegembiraan. "Jeff! Oh, Jeff!" Ia bersyukur telah membeli telepon seluler internasional. "Aku harus meneleponmu. Aku setengah mati merindukanmu." "Aku pun merindukanmu. Kau berada di Florida?" "Ya." "Bagaimana keadaan di sana?" "Tidak bagus." Ia mendengar kebimbangan dalam suara Jeff. "Sebenarnya, agak buruk. Rachel dijadwalkan menjalani mastektomi besok." "Oh, tidak!" "Ia kurang bisa menerimanya." "Aku ikut sedih." "Aku tahu. Kasihan sekali dia. Sayang, aku sudah tak sabar untuk kembali padamu. Pernah aku mengatakan aku tergila-gila padamu?" "Aku tergila-gila juga padamu, Manis." "Apakah ada yang kaubutuhkan. Dana?" Kau. "Tidak." "Bagaimana Kemal?" ia baik-baik saja. Aku mendapat pengurus rumah baru yang disukainya." "Itu kabar baik. Aku sudah tak sabar menunggu kita berkumpul lagi." "Aku juga." "Jaga dirimu baik-baik." "Ya. Dan aku tidak bisa mengatakan betapa prihatin aku mengenai Rachel." "Akan kusampaikan padanya. Selamat malam, Sayang." "Selamat malam." Dana membuka koper dan mengeluarkan kemeja Jeff yang dibawanya Ia mengenakannya di balik pakaian tidur dan memeluknya. Selamat malam, Sayang. Keesokan paginya Dana terbang kembali ke Washington. Ia mampir ke apartemen sebelum pergi ke kantor dan disambut Mrs. Daley yang ceria. "Senang sekali melihat Anda sudah kembali, Miss Evans. Anak Anda menguras tenaga saya." Tapi ia mengucapkannya dengan mata berbinar. "Saya harap ia tidak terlalu menyulitkan Anda." "Menyulitkan? Sedikit pun tidak. Saya senang melihat kemajuannya dengan lengan baru itu." Dana memandangnya, terperanjat. "Ia memakainya?" "Tentu. Ia memakainya ke sekolah." "Bagus sekali. Saya sangat senang." Ia melihat arloji. "Saya harus pergi ke studio. Saya akan kembali siang ini untuk menemui Kemal." "Ia akan gembira melihat Anda. Ia merindukan Anda. Berangkatlah. Saya akan membereskan tas-tas ini." 'Terima kasih, Mrs. Daley." Dana berada di kantor Matt, menceritakan apa yang diketahuinya di Aspen. Ia memandang Dana ragu. "Pada hari kebakaran itu terjadi, si tukang listrik menghilang begitu saja?" "Tanpa mengambil bayarannya." "Dan ia berada di rumah Winthrop sehari sebelum kebakaran itu." "Ya." Matt menggeleng. "Seperti cerita Alice in Wonderland. Makin lama ini jadi makin aneh." "Matt. Paul Winthrop adalah anggota berikut keluarga itu yang tewas. Ia meninggal di Prancis tak lama sesudah kebakaran tersebut. Aku mau pergi ke sana. Aku ingin melihat apakah ada saksi yang melihat kecelakaan mobil itu." "Baik." Lalu Matt menambahkan, "Elliot Cromwell menanyakan kau. Ia minta kau menjaga diri baik-baik." "Aku juga ingin berbuat begitu," jawab Dana. Ketika Kemal pulang dari sekolah. Dana sudah menunggunya. Kemal memakai lengan barunya, dan bagi Dana ia kelihatan jauh lebih tenang. "Kau sudah kembali." Anak itu memeluknya. "Halo, Sayang. Aku merindukanmu. Bagaimana perkembangan di sekolah?" "Lumayan. Bagaimana perjalananmu?" "Baik. Aku membawa oleh-oleh untukmu." Ia memberikan ransel tenunan Indian dan sepasang mokasin yang dibelinya di Aspen. Bagian berikutnya yang sulit. "Kemal, aku harus pergi lagi selama beberapa hari." Dana sudah bersiaga menghadapi reaksinya, tetapi Kemal hanya mengatakan, "Oke." Tidak ada tanda-tanda kemarahan. "Aku akan membawakan oleh-oleh yang bagus." "Satu hari kau pergi dari rumah, satu oleh-oleh?" Dana tersenyum. "Kau pandai bicara, seperti mahasiswa hukum saja." * * * Pria itu duduk nyaman di kursi di depan televisi yang menyala, memegang segelas wiski. Di layar terlihat Dana dan Kemal duduk di meja makan, sedangkan Mrs. Daley menghidangkan makanan yang kelihatan seperti daging rebus a ia Irlandia. "Lezat sekali," kata Dana. "Terima kasih. Saya senang Anda menyukainya." "Sudah kubilang ia koki yang hebat," puji Kemal. Rasanya seperti seruangan dengan mereka, pikir pria itu, bukan mengawasi mereka dari apartemen sebelah. "Ceritakanlah padaku tentang sekolah," kata Dana. "Aku suka guru-guruku yang baru Guru matematikaku... " "Bagus sekali." "Anak-anak jauh lebih baik di sekolah ini Menurut mereka lengan baruku asyik sekali." "Pasti." "Ada anak perempuan di kelasku yang benar-benar cantik. Kurasa ia menyukai ku. Namanya Lizzy." "Apakah kau menyukainya, Sayang?" "Yeah. Ia phat." Ia sudah besar, pikir Dana dengan perasaan gundah yang tak disangka-sangka. Ketika tiba waktunya, Kemal pergi tidur dan Dana berjalan ke dapur untuk menemui Mrs. Daley. "Kemal sepertinya begitu... begitu tenang. Tidak bisa saya ungkapkan terima kasih saya." kata Dana. "Anda yang membantu saya." Mrs. Daley tersenyum. "Rasanya seolah salah satu anak saya kembali lagi. Mereka semua sudah dewasa sekarang, Anda tahu. Saya dan Kemal bersenang-senang terus." "Saya gembira mendengarnya." Dana menunggu hingga tengah malam, dan ketika Jeff masih juga belum menelepon, ia pergi tidur, ia berbaring di ranjang sambil bertanya-tanya dalam hati apakah yang sedang dilakukan Jeff, apakah ia tengah bercinta dengan Rachel. Dana merasa malu pada diri sendiri karena memikirkan hal seperti itu. Laki-laki di apartemen sebelah melaporkan. "Semuanya tenang." Telepon genggamnya berdering. "Jeff, Sayang. Kau di mana?" "Aku ada di Doctors Hospital di Florida. Mastektominya sudah selesai. Dokter masih melakukan beberapa tes." "Oh, Jeff! Semoga saja penyakit itu belum menyebar." "Aku pun berharap demikian. Rachel ingin aku tinggal dengannya beberapa hari lagi. Aku ingin menanyakan apakah-" "Tentu saja. Kau harus menemaninya." "Tinggal beberapa lama lagi. Aku akan menelepon Matt dan memberitahunya. Ada kejadian menarik di sana?" Sesaat itu Dana tergoda untuk bercerita pada Jeff soal Aspen dan bahwa ia akan meneruskan penyelidikan. Beban pikirannya sudah cukup banyak. "Tidak," kata Dana. "Semua sepi-sepi saja." "Sampaikan salam sayangku pada Kemal. Selebihnya untukmu." Jeff meletakkan gagang telepon. Seorang juru rawat mendatanginya. "Mr. Connors? Dr. Young ingin bicara dengan Anda." "Operasinya berjalan lancar," kata dr. Young pada Jeff, "tetapi ia masih perlu dukungan emosional. Ia akan merasa dirinya bukan wanita yang utuh. Saat sadar nanti, ia akan panik. Anda harus memberitahunya bahwa ia normal kalau merasa ketakutan." "Saya mengerti," kata Jeff. "Dan ketakutan serta perasaan tertekan akan melanda lagi saat kita mulai terapi radiasi untuk menghentikan penyebaran kankernya. Pengalaman itu bisa sangat traumatis." Jeff memikirkan apa yang akan terjadi. "Apakah ia punya seseorang yang akan mengurusnya?" "Saya." Dan ketika "mengucapkannya, Jeff sadar ialah satu-satunya yang dipunyai Rachel. Penerbangan Air France menuju Nice berlangsung lancar. Dana menghidupkan komputer laptop untuk memeriksa kembali informasi yang sudah dikumpulkannya sejauh ini. Provokatif, tetapi sama sekali tidak konklusif. Bukti, pikir Dana. Bukan berita namanya jika tak ada bukti. Kalau aku bisa- "Penerbangan yang menyenangkan, bukan?" Dana menoleh pada laki-laki yang duduk di sampingnya. Ia tinggi dan menarik dan berbicara dengan aksen Prancis. "Ya." "Apakah Anda sudah pernah ke Prancis?" "Belum," kata Dana. "Ini yang pertama kali." Ia tersenyum. "Ah, Anda pasti menikmatinya Ini negeri yang penuh pesona." Ia tersenyum bangga dan mencondongkan badan ke dekat Dana. "Apakah Anda punya teman untuk mengantar Anda melihat-lihat?" "Saya akan menemui suami dan tiga anak saya," kata Dana "Dommage." Ia mengangguk, berpaling, dan mengambil majalah France-Soir miliknya. Dana kembali menekuni komputer. Sebuah artikel menarik perhatiannya. Paul Winthrop, yang tewas dalam kecelakaan mobil, punya hobi. Balap mobil. Ketika pesawat Air France itu mendarat di bandara Nice, Dana memasuki terminal yang sibuk menuju kantor penyewaan mobil. "Nama saya Dana Evans. Saya sudah-" Petugas itu mengangkat muka. "Ah! Miss Evans. Mobil Anda sudah siap." Ia mengangsurkan sehelai formulir padanya. "Tandatangani saja ini." Itu baru benar-benar pelayanan, pikir Dana. "Saya butuh peta Prancis selatan. Apakah Anda-?" "Tentu, mademoiselle" Ia mengulurkan tangan ke belakang konter dan memilih sebuah peta. "Voila." Ia mengawasi Dana berlalu. Di menara eksekutif WTN, Elliot Cromwell berbicara, "Di mana Dana sekarang. Matt?" "Di Prancis." "Apakah sudah ada kemajuan?" "Sekarang masih terlalu dini." "Aku mengkhawatirkannya. Aku rasa ia terlalu banyak bepergian. Perjalanan zaman sekarang bisa berbahaya." Ia diam sesaat. "Sangat berbahaya." Udara di Nice terasa dingin dan segar. Dana bertanya dalam hati seperti apa cuaca saat Paul Winthrop tewas, ia masuk ke mobil Citroen yang sudah menunggu dan mengemudikannya di Grande Corniche, melewati desa-desa kecil yang indah. Kecelakaan itu terjadi di utara Beausoleil, di jalan raya Roquebrune-Cap-Martin, resort di tepi Laut Mediterania. Sewaktu mendekati desa itu. Dana mengurangi kecepatan, mengamati tikungan-tikungan tajam, terjal, sambil bertanya-tanya di tikungan mana kecelakaan Paul Winthrop terjadi. Apa yang dilakukan Paul Winthrop di sini? Apakah ia menemui seseorang? Apakah ia ikut balap mobil? Apakah ia sedang berlibur? Menangani urusan bisnis? Roquebrune-Cap-Martin adalah desa abad pertengahan dengan puri kuno, gereja, gua-gua historis, dan vila-vila mewah bertebaran menghiasi pemandangan. Dana mengemudikan mobil ke pusat desa, memarkir mobil, dan mencari kantor polisi. Ia menghentikan seorang laki-laki yang berjalan keluar dari toko. "Permisi, bisakah Anda memberitahukan di mana letak kantor polisi?" "Je ne parle pas anglais, j'ai peur de ne pouvoir vous aider, mais-" "Police. Police." "Ah, oui" Ia menunjuk. "La deuxieme rue a gauche." "Merci." "De rien." Kantor polisi itu bangunan tua, berdinding putih, sudah hampir jadi puing. Di dalamnya polisi ber-seragam yang berusia setengah baya duduk di belakang meja tulis, ia mengangkat kepala ketika Dana melangkah masuk. "Bonjour, madame." "Bonjour." "Comment puis-je vous aider?" "Apakah Anda bisa berbahasa Inggris?" Ia memikirkannya. "Ya," katanya enggan. "Saya ingin berbicara dengan yang bertanggung jawab di sini." Ia memandangnya sejenak, wajahnya menunjukkan ekspresi bingung. Lalu ia tiba-tiba tersenyum. "Ah, Commandant Frasier. Oui. Sebentar." Pria itu mengangkat telepon dan berbicara. Ia mengangguk dan berpaling pada Dana. Ia menunjuk koridor. "La premiere porte." "Terima kasih." Dana berjalan menyusuri koridor sampai pintu pertama. Kantor Commandant Frasier sempit dan rapi. Sang komandan adalah laki-laki yang rapi dengan kumis kecil dan mata cokelat yang tajam. Ia berdiri ketika Dana masuk. "Selamat siang. Commandant." "Bonjour, mademoiselle. Bagaimana saya bisa membantu Anda?" "Saya Dana Evans. Saya sedang menggarap kisah untuk stasiun WTN di Washington, D.C. mengenai keluarga Winthrop. Saya tahu Paul Winthrop tewas dalam kecelakaan di dekat sini?" "Oui. Terrible! Terrible. Orang harus berhati-hati mengemudikan mobil di Grande Corniche. Bisa tres dangereux." "Saya dengar Paul Winthrop tewas dalam balap mobil dan-" "Non. Tidak ada balapan apa pun hari itu." "Tidak ada?" "Non, Mademoiselle. Saya sendiri yang bertugas ketika kecelakaan itu terjadi." "Begitu. Apakah Mr. Winthrop sendirian di mobilnya?" "Oui." "Commandant Frasier, apakah pernah dilakukan autopsi?" "Oui. Tentu saja." "Apakah ditemukan adanya alkohol dalam darah Paul Winthrop?" Commandant Frasier menggeleng. "Non. " "Obat?" "Non." "Apakah Anda ingat seperti apa cuaca hari itu?" "Oui. Il pleuvait. Hujan." Dana punya satu pertanyaan terakhir, tetapi ia mengajukannya tanpa banyak berharap. "Saya kira tidak ada saksi yang melihatnya?" "Mais oui, U y en ovait." Dana menatapnya, nadinya berdenyut cepat. "Ada?" "Seorang saksi. Ia mengemudi di belakang mobil Winthrop dan menyaksikan kecelakaan itu terjadi." Perasaan Dana langsung bergejolak. "Saya akan sangat berterima kasih kalau Anda bersedia memberikan nama saksi itu," kata Dana. "Saya ingin bicara dengannya." Ia mengangguk. "Saya kira tidak ada bahayanya." Ia berseru memanggil, "Alexandre!" dan sesaat kemudian asistennya bergegas masuk. "Oui, Commandant?" "Apportez-moi le dossier de I'accident Winthrop." "Tout de suite." Ia bergegas keluar dari ruangan. Commandant Frasier berpaling pada Dana. "Sungguh keluarga yang malang. Hidup ini benar tres fragile, rapuh." Ia memandang Dana dan tersenyum. "Orang harus berusaha bersenang-senang mumpung masih bisa." Ia menambahkan dengan halus. "Atau mumpung Anda masih bisa. Apakah Anda ke sini sendiri, Mademoiselle?" "Tidak, suami dan anak-anak saya sudah menunggu." "Dommage." Asisten Commandant Frasier kembali sambil membawa sebundel kertas dan sang komandan memeriksa dokumen itu, mengangguk, dan mengangkat muka memandang Dana. "Saksi kecelakaan itu adalah turis Amerika, Ralph Benjamin. Menurut pernyataannya di sini. ia sedang mengemudi di belakang Paul Winthrop ketika melihat seekor chien-anjing-berlari tepat di depan mobil Winthrop. Winthrop membanting setir untuk menghindarinya, lalu tergelincir, dan terjun dari tebing dan jatuh ke laut. Menurut laporan pemeriksa mayat, Winthrop tewas seketika " "Apakah Anda punya alamat Mr. Benjamin?" Dana bertanya penuh harap. "Oui." Ia melihat kertas itu lagi. "ia tinggal di Amerika. Richfield, Utah. Turk Street nomor empat dua puluh." Commandant Frasier menulis alamat itu dan mengangsurkannya pada Dana. Dana berusaha keras mengendalikan gejolak hatinya. "Terima kasih banyak." "Avec plaisir." Ia melihat tak ada cincin di jari manis Dana. "Dan, Madame?" "Ya?" "Sampaikan salam saya pada suami dan anak-anak Anda." Dana menelepon Matt. "Matt," katanya bersemangat. "Aku menemukan saksi yang melihat kecelakaan Paul Winthrop. Aku akan mewawancarainya " "Bagus sekali. Di mana dia?" "Di Utah. Richfield. Aku akan kembali ke Washington segera sesudah itu." "Baiklah. Omong-omong, Jeff menelepon." "Ya?" "Kau tahu ia ada di Florida dengan mantan istrinya." Ia kedengaran tidak suka. "Aku tahu. Wanita itu sakit berat." "Kalau Jeff pergi lebih lama, aku harus menyuruhnya minta cuti." "Aku yakin ia akan segera kembali." Ingin sekali Dana mempercayai ucapannya sendiri. "Baiklah. Mudah-mudahan berhasil dengan saksi itu." "Terima kasih, Matt." * * * Telepon Dana selanjutnya ditujukan pada Kemal. Mrs. Daley menjawab telepon itu. "Rumah Miss Evans." "Selamat malam, Mrs. Daley. Semua baik-baik saja di sana?" Dana menahan napas. "Well, anak Anda nyaris membakar dapur saat membantu saya memasak kemarin malam." Ia tertawa. "Tapi selain itu, ia baik-baik saja." Dana diam-diam memanjatkan doa syukur. "Bagus." Perempuan ini benar-benar pembuat mukjizat, pikir Dana. "Apakah Anda akan pulang sekarang? Saya bisa menyiapkan santap malam dan-" "Saya harus mampir ke satu tempat lagi," kata Dana. "Saya akan pulang dua hari lagi. Boleh saya bicara dengan Kemal?" "Ia sedang tidur. Perlukah saya membangunkannya?" "Tidak. Jangan." Dana melihat arlojinya. Pukul empat di Washington. "Apakah ia sedang tidur siang?" Ia mendengar suara tawa hangat Mrs. Daley. "Ya. Anak itu sibuk seharian. Ia bekerja keras, dan asyik bermain." "Sampaikan salam sayang saya padanya. Tidak lama lagi saya akan pulang untuk menemuinya." Saya harus mampir ke satu tempat lagi. Saya akan pulang dua hari lagi. Boleh saya bicara dengan Kemal? Ia sedang tidur. Perlukah sava membangunkannya? Tidak. Jangan. Apakah ia sedang tidur siang? Ya. Anak itu sibuk seharian, ia bekerja keras, dan asyik bermain. Sampaikan salam sayang saya padanya. Tidak lama lagi saya akan pulang untuk menemuinya. Rekaman habis. Richfeld, Utah, adalah kota pemukiman yang nyaman di lembah pegunungan Monroe. Dana berhenti di pompa bensin dan minta petunjuk arah ke alamat yang diberikan Commandant Frasier padanya. Rumah Ralph Benjamin adalah bangunan satu tingkat yang lusuh karena ditempa cuaca dan terletak di tengah blok rumah-rumah lain yang serupa. Dana memarkir mobil sewaan itu, berjalan ke pintu depan, dan membunyikan bel. Pintu dibuka wanita separo baya yang berambut putih dan memakai celemek. "Ada yang bisa saya bantu?" "Saya ingin bertemu Ralph Benjamin," kata Dana. Perempuan itu mengamati Dana dengan tatapan ingin tahu. "Apakah ia tahu Anda akan datang?" "Tidak. Saya-saya kebetulan lewat, dan saya pikir tidak ada salahnya saya mampir sebentar. Apakah ia ada di rumah?" "Ya. Silakan masuk." "Terima kasih." Dana melangkah ke dalam dan mengikuti perempuan itu ke ruang duduk. "Ralph, ada tamu." Ralph Benjamin berdiri dari kursi goyang dan menghampiri Dana. "Halo? Apakah saya kenal Anda?" Dana tertegun, tak mampu bergerak. Ralph Benjamin ternyata buta. EMPAT BELAS Dana dan Matt Baker berada di ruang rapat WTN. "Ralph Benjamin pergi ke Prancis mengunjungi putranya," Dana menjelaskan. "Suatu hari kopernya hilang dari kamar hotel. Keesokan harinya koper itu muncul kembali, tetapi paspornya hilang. Matt, orang yang mencuri koper dan mengambil identitas Benjamin, lalu mengatakan pada polisi bahwa ia adalah saksi kecelakaan tersebut, adalah orang yang membunuh Paul Winthrop." Matt Baker lama terdiam. Ketika berbicara lagi, ia berkata, "Sekarang sudah saatnya menelepon polisi untuk melaporkan masalah ini, Dana. Kalau kau benar, berarti kita sedang mencari orang yang dengan darah dingin telah membunuh enam orang. Aku tidak ingin kau jadi yang ketujuh. Elliot meng-khawatirkanmu juga. Menurutnya kau sudah terlibat terlalu dalam." "Kita belum bisa membawanya pada polisi," protes Dana. "Semua masih merupakan bukti tidak langsung. Kita tidak punya bukti. Kita tidak tahu siapa pembunuhnya, dan kita tidak tahu motifnya." "Aku punya firasat jelek mengenai ini. Rasanya jadi terlalu berbahaya. Aku tidak ingin terjadi apa-apa padamu." "Aku pun tidak," kata Dana sungguh-sungguh. "Apa langkahmu selanjutnya?" "Mencari tahu apa yang sebenarnya menimpa diri Julie Winthrop." "Operasinya berhasil." Rachel membuka mata perlahan-lahan. Ia berbaring di ranjang rumah sakit yang putih steril. Matanya menatap nanar Jeff. "Sudah tidak ada ya?" "Rachel-" "Aku takut merasakannya." Ia menahan air mata. "Aku bukan wanita lagi. Tidak akan ada laki-laki yang mencintaiku." Jeff menggenggam tangannya yang gemetar. "Kau keliru. Aku mencintaimu dulu bukan karena payudaramu. Rachel. Aku mencintaimu karena kau adalah kau, manusia yang baik, hangat." Rachel tersenyum lemah. "Kita dulu saling mencintai, bukan, Jeff?" "Ya." "Seandainya saja..." Ia melihat ke dadanya, dan wajahnya mengerut. "Kita akan bicara soal ini nanti." Ia meremas tangan Jeff lebih keras. "Aku tidak mau sendirian, Jeff. Sampai semua ini berakhir. Tolong jangan tinggalkan aku." "Rachel, aku harus-" "Jangan sekarang. Aku tidak tahu apa yang akan kulakukan kalau kau pergi." Seorang perawat masuk ke kamar rumah sakit itu. "Bisa permisi sebentar, Mr. Connors?" Rachel tidak mau melepaskan tangan Jeff. "Jangan pergi." "Aku akan kembali." Larut malam itu telepon genggam Dana berdering. Ia bergegas ke seberang ruangan untuk mengambilnya. "Dana." Dari Jeff. Ia merasakan hatinya bergelora ketika mendengar suara Jeff. "Halo. Bagaimana kabarmu, Sayang?" "Aku baik-baik saja." "Bagaimana keadaan Rachel?" "Operasinya berjalan baik, tetapi Rachel sepertinya ingin bunuh diri." "Jeff-wanita tidak boleh menilai diri sendiri dari payudara atau-" "Ya, tapi Rachel bukan wanita kebanyakan. Sejak umur lima belas tahun ia selalu dinilai orang dari penampilannya. Ia model dengan bayaran paling tinggi di dunia. Kini ia merasa semua itu sudah berakhir baginya. Ia merasa seperti pecundang Ia merasa tidak ada gunanya lagi ia terus hidup." "Apa yang akan kaulakukan?" "Aku akan tinggal dengannya beberapa hari lagi dan membantunya menenangkan diri di rumah. Aku sudah bicara dengan dokternya. Dokter itu masih menunggu hasil tes untuk melihat apakah mereka sudah mengangkat semuanya. Mereka pikir mereka perlu menindaklanjutinya dengan kemoterapi." Tak ada yang dapat Dana katakan. "Aku merindukanmu," kata Jeff. "Aku merindukanmu juga, Sayang. Aku sudah menyiapkan hadiah Natal untukmu." "Simpanlah dulu untukku." "Pasti." "Apakah kau letih karena semua perjalanan itu?" "Belum." "Pastikan telepon genggammu selalu dalam keadaan hidup," kata Jeff. "Aku merencanakan untuk menelepon lagi, membicarakan yang 'seru-seru'." Dana tersenyum. "Janji?" "Janji. Jaga dirimu baik-baik. Sayang." "Kau juga." Percakapan itu berakhir. Dana menutup telepon dan duduk berlama-lama, memikirkan Jeff dan Rachel. Kemudian ia berdiri dan pergi ke dapur. Mrs. Daley sedang berbicara dengan Kemal. "Kue dadar lagi, Sayang?" "Ya, terima kasih." Dana berdiri mengawasi mereka berdua. Selama keberadaan singkat Mrs. Daley bersama mereka, Kemal sudah berubah begitu banyak. Ia sekarang tenang, santai, dan bahagia. Dana merasakan sengatan perasaan cemburu. Mungkin aku bukan orang yang tepat untuknya. Dengan perasaan bersalah, ia mengingat betapa ia menghabiskan waktu seharian di studio televisi, kadang malah sampai larut malam. Mungkin orang seperti Mrs. Daley lebih tepat mengadopsinya, ia menepiskan pikiran itu. Kenapa aku ini? Kemal kan menyayangiku. Dana duduk di depan meja. "Masih menikmati sekolah baru?" "Asyik sekali." Dana menggenggam tangannya. "Kemal, aku harus pergi lagi." Ia berkata acuh, "Tidak apa-apa." Perasaan cemburu itu kembali terasa. "Kali ini Anda akan pergi ke mana, Miss Evans?" Mrs. Daley bertanya. "Alaska." Mrs. Daley merenung sejenak. "Hati-hati dengan beruang grizzly di sana," ia menasihati. Penerbangan dari Washington menuju Juneau, Alaska, memakan waktu sembilan jam, berhenti sekali di Seattle. Di bandara Juneau, Dana pergi ke konter penyewaan mobil. "Nama saya Dana Evans. Saya-" "Ya, Miss Evans. Kami sudah menyiapkan Land Rover yang bagus untuk Anda. Tempat parkir nomor sepuluh. Tandatangani saja di sini." Petugas itu menyerahkan kunci dan Dana berjalan menuju tempat parkir di belakang bangunan tersebut. Di tempat-tempat parkir bernomor itu ada selusin mobil. Dana berjalan ke tempat parkir nomor sepuluh. Seorang laki-laki sedang berlutut di belakang mobil, membereskan pipa knalpot Land Rover putih. Ia mendongak ketika Dana datang. "Cuma mengencangkan knalpotnya. Miss. Anda bisa memakainya sekarang." Ia berdiri. "Terima kasih." kata Dana. Laki-laki itu mengawasinya pergi. Di lantai bawah tanah sebuah gedung pemerintah, seorang laki-laki tengah mengamati peta digital pada komputer, ia mengawasi Land Rover putih itu berbelok ke kanan. "Subjek sedang menuju Starr Hill." Juneau merupakan kejutan bagi Dana. Pada pandangan pertama, tempat itu tampak seperti kota besar, tetapi jalanan sempit dan berkelok-kelok membuat ibukota Alaska itu bersuasana desa kecil di tengah alam liar zaman es. Dana mendaftarkan diri di Inn at the Waterfront yang populer, bekas bordil di tengah kota. "Anda datang pada saat yang sangat tepat untuk main ski," kata pegawai hotel padanya. "Musim salju kali ini bagus sekali. Anda bawa papan ski sendiri?" "Tidak, saya-" "Yah, di sebelah ada toko ski. Saya yakin mereka bisa memberi Anda apa yang Anda inginkan." "Terima kasih," kata Dana. Tempat yang bagus untuk mulai. Dana menaruh bawaannya dan pergi ke toko ski. Pelayan toko itu gemar bicara. Begitu Dana melangkah masuk, ia berkata, "Hai. Saya Chad Donohoe. Anda datang ke tempat yang tepat." Ia menunjuk sederetan papan ski. "Kami baru saja menerima Freerider ini. Papan ski ini mampu menghadapi benturan dan tonjolan." Ia menunjuk bagian lain. "Atau-ini adalah Salomon X-Scream 9. Sedang digemari. Tahun lalu kami kehabisan stok dan tidak bisa mendapatkannya lagi." Ia melihat ekspresi tak sabar pada wajah Dana dan bergegas pergi ke kelompok berikut. "Kalau Anda suka, kami punya model Vocal Vertigo G30 atau Atomic 10.20." Ia memandang Dana penuh harap. "Mana yang Anda-" "Saya datang ke sini untuk mencari informasi." Wajahnya menunjukkan kekecewaan. "Informasi?" " "Ya. Apakah Julie Winthrop memperoleh skinya di sini?" Ia mengamati Dana lebih cermat. "Ya. Ia memakai yang paling top, yaitu ski super Volant Ti. Ia menyukainya. Sungguh menyedihkan kejadian yang menimpanya di Eaglecrest." "Apakah Miss Winthrop pemain ski yang baik?" "Baik? Ia yang terbaik. Ia punya piala satu lemari penuh." "Tahukah Anda apakah ia sendirian ke sini?" "Setahu saya, ia sendirian." Ia menggeleng. "Yang mengejutkan, ia sangat mengenal Eaglecrest. Ia biasa main ski di sini setiap tahun. Anda tentu mengira kecelakaan seperti itu tidak mungkin terjadi padanya, bukan?" Dana berkata perlahan-lahan, "Ya, saya kira begitu." Kepolisian Juneau hanya dua blok dari Inn at the Waterfront. Dana masuk ke ruang penerimaan tamu yang sempit, yang dihiasi bendera negara bagian Alaska, bendera Juneau, dan bendera Amerika Serikat. Di sana ada karpet biru, sofa biru, dan kursi biru. Seorang polisi berseragam bertanya, "Bisa saya bantu?" "Saya perlu informasi mengenai kematian Julie Winthrop." Ia mengernyit. "Anda harus bicara dengan Bruce Bowler. Ia kepala regu penyelamat Sea Dog Rescue. Kantornya di atas, tapi saat ini ia tidak ada di tempat." "Apakah Anda tahu di mana saya bisa menemuinya?" Perwira itu melihat jam tangan. "Saat ini mestinya Anda bisa menemukannya di Hanger on the Wharf. Letaknya dua blok di Marine Way." "Terima kasih banyak." Hanger on the Wharf adalah restoran besar yang penuh pelanggan yang datang untuk makan siang. Pelayan restoran berkata pada Dana, "Maaf, kami tidak punya meja lagi saat ini. Anda mungkin perlu menunggu sekitar dua puluh menit kalau-" "Saya mencari Mr. Bruce Bowler. Apakah Anda-" Si pelayan mengangguk. "Bruce? Ia ada di meja sana." Dana melihat ke arah yang ditunjuknya. Di sana tampak laki-laki berusia awal empat puluhan, dengan penampilan yang kasar tapi berwajah baik dan jujur, duduk sendirian. "Terima kasih." Dana menghampiri meja itu. "Mr. Bowler?" Ia mengangkat muka. "Ya." "Saya Dana Evans. Saya butuh bantuan Anda." Ia tersenyum. "Anda beruntung. Kami masih punya satu kamar. Saya akan menelepon Judy." Dana memandangnya bingung. "Maaf?" "Bukankah Anda menanyakan tentang Cozy Log, penginapan milik kami?" "Tidak. Saya ingin bicara dengan Anda mengenai Julie Winthrop." "Oh." Ia tampak malu. "Maaf. Silakan duduk. Saya dan Julie memiliki penginapan kecil di luar kota. Saya tadi mengira Anda sedang mencari kamar. Anda sudah makan siang?" "Belum, saya-" "Bergabunglah dengan saya." Senyumnya ramah. 'Terima kasih," Dana berkata. Sesudah Dana memesan makanan, Bruce Bowler berkata, "Apakah yang ingin Anda ketahui mengenai Julie Winthrop?" "Mengenai kematiannya. Apakah ada kemungkinan itu bukan kecelakaan?" Bruce Bowler mengernyit. "Apakah Anda menanyakan kemungkinan ia bunuh diri?" "Tidak. Saya menanyakan apakah... apakah ada kemungkinan seseorang membunuhnya." Ia mengedipkan mata. "Membunuh Julie? Tidak mungkin. Itu kecelakaan." "Bisakah Anda menceritakan apa yang terjadi?" "Tentu." Bruce Bowler berpikir sejenak, menimbang-nimbang dari mana akan mulai. "Kami punya tiga kelompok lereng di sini. Ada lereng-lereng untuk pemula, seperti Muskeg, Dolly Varden, dan Sourdough... Ada yang lebih sulit, Sluice Box, Mother Lode, dan Sundance... Ada juga yang benar-benar sulit, Insane, Spruce Chute, Hang Ten... Dan kemudian ada Steep Chutes. Itulah yang paling sulit." "Dan Julie Winthrop main ski di...?" "Di Steep Chutes." "Jadi ia pemain ski yang ahli?" "Benar sekali," kata Bruce Bowler. Ia ragu-ragu. "Itulah yang sangat ganjil." "Apa yang sangat ganjil?" "Well, tiap hari Kamis pukul empat sore sampai sembilan malam, kami mengadakan permainan ski di malam hari. Banyak sekali pemain ski malam itu. Mereka semua kembali pukul sembilan, kecuali Julie. Kami pergi mencarinya. Kami menemukan tubuhnya di dasar Steep Chutes. Ia menabrak pohon. Pasti tewas seketika." Dana memejamkan mata sebentar, merasakan kengerian dan kesakitannya. "Jadi-jadi ia sendirian ketika kecelakaan itu terjadi?" "Yeah. Para pemain ski biasanya bepergian bersama-sama, tetapi kadang pemain-pemain terbaik suka melakukannya sendirian. Kami di sini punya tanda pembatas daerah, dan siapa pun yang bermain ski di luarnya, ia melakukannya atas risiko sendiri. Julie Winthrop main ski di luar batas itu. di jalur tertutup. Kami butuh waktu cukup lama untuk menemukan jenazahnya." "Mr. Bowler, bagaimana prosedur bila ada pemain ski hilang?" "Segera setelah seseorang dilaporkan hilang, kami mulai melakukan bastard search." "Bastard search?" "Kami menelepon teman-temannya untuk memeriksa apakah pemain ski itu bersama mereka. Kami menelepon beberapa bar. Ini pencarian cepat dan tidak terperinci. Gunanya untuk menghindarkan kru kami dari segala kerepotan melakukan pencarian habis-habisan terhadap pemabuk yang ternyata sedang duduk-duduk di bar." "Dan kalau benar-benar ada yang hilang?" Dana bertanya. "Kami mencari data deskripsi fisik pemain ski yang hilang itu. kemampuannya bermain ski, dan lokasi terakhir ia dilihat. Kami selalu menanyakan apakah mereka punya kamera." "Mengapa?" "Bila mereka punya kamera, maka kami akan punya gambaran tentang tempat yang mungkin mereka datangi. Kami mengecek rencana transportasi apa yang dimiliki pemain ski itu untuk kembali ke kota. Kalau penyisiran ini tidak menghasilkan apa-apa, maka kami mengasumsikan pemain ski yang hilang itu berada di luar batas daerah bermain ski. Kami mengabari pasukan khusus Alaska untuk melakukan pencarian dan penyelamatan dan mereka akan mengoperasikan helikopter. Ada empat orang dalam masing-masing kelompok pencari, dan patroli udara sipil juga ikut bergabung." "Banyak sekali sumber daya manusia yang dibutuhkan." "Benar. Tetapi ingat, kami memiliki enam ratus tiga puluh ekar tempat bermain ski di sini, dan dalam setahun, kami rata-rata melakukan empat puluh pencarian. Kebanyakan berhasil baik." Bruce Bowler melihat langit dingin berwarna kelabu gelap di luar jendela. "Saya ingin sekali yang ini pun demikian." Ia berpaling kembali pada Dana. "Omong-omong, patroli ski melakukan penyisiran setiap hari sesudah lift dimatikan." Dana berkata, "Saya diberitahu bahwa Julie Winthrop biasa main ski di puncak Eaglecrest." Ia mengangguk. "Benar. Tapi itu tetap bukan jaminan. Awan bisa saja datang, Anda bisa kehilangan orientasi, dan Anda bisa saja bernasib sial. Miss Winthrop bernasib sial." "Bagaimana Anda menemukan jenazahnya?" "Mayday yang menemukannya." "Mayday?" "Itu anjing kami yang paling top. Patroli ski bekerja dengan anjing Labrador hitam dan herder. Anjing-anjing itu luar biasa. Mereka bisa mencium bau manusia, pergi ke tepi zona bau itu, dan melacak sumbernya. Kami mengirim bombardier ke tempat kecelakaan, dan ketika-" "Bombardier? " "Mesin salju kami. Kami membawa mayat Julie Winthrop dengan usungan Stokes. Tiga kru ambulans memeriksanya dengan monitor EKG, kemudian memotretnya, dan memanggil pengurus jenazah. Mereka membawa jenazahnya ke Bartlett Regional Hospital." "Dan tak seorang pun tahu bagaimana kecelakaan itu terjadi?" Ia mengangkat bahu. "Yang kami ketahui hanyalah ia berjumpa pohon cemara raksasa yang kurang ramah. Saya melihat mayatnya. Bukan pemandangan yang bagus." Dana memandang Bruce Bowler sesaat. "Apakah memungkinkan bagi saya untuk melihat puncak Eaglecrest?" "Kenapa tidak? Mari kita selesaikan makan siang dulu, setelah itu saya akan membawa Anda ke sana." Mereka mengendarai Jeep ke pondok ski dua tingkat di kaki gunung. Bruce Bowler -bercerita pada Dana, "Di bangunan inilah kami rapat untuk menyusun rencana pencarian dan penyelamatan. Kami membawa peralatan toko penyewaan ski ke sini dan kami punya instruktur ski bagi mereka yang membutuhkannya. Kita akan naik lift ini ke puncak gunung." Mereka naik chairlift Ptarmigan, menuju puncak Eaglecrest. Dana menggigil. "Saya seharusnya mengingatkan Anda. Untuk cuaca seperti ini, Anda perlu pakaian propylene, pakaian dalam panjang, dan Anda harus mengenakan berlapis-lapis pakaian." Dana menggigil. "Akan sa-saya ingat." "Dengan chairlifi inilah Julie Winthrop naik. Ia membawa ranselnya." "Ranselnya?" "Ya. Berisi sekop untuk longsoran salju, suar yang bisa mencapai jarak lima puluh meter, dan tongkat penjajak." Ia menghela napas. "Tentu saja semua itu tidak menolong kalau ia menabrak pohon." Mereka hampir mendekati puncak. Ketika mereka sampai pelataran dan hati-hati turun dari kursi-kursi, seorang pria di puncak menyambut mereka. "Apa yang membawamu ke atas sini, Bruce? Ada yang hilang?" "Tidak. Aku cuma mengantar teman melihat-lihat pemandangan. Ini Miss Evans." Mereka saling menyapa. Dana memandang sekelilingnya. Di sana ada pondok penghangat yang nyaris hilang ditelan awan tebal. Apakah Julie Winthrop masuk ke sana sebelum pergi main ski? Dan apakah ada yang mengikutinya? Seseorang yang merencanakan membunuhnya? Bruce Bowler menoleh pada Dana. "Ptarmigan ini adalah puncak gunung. Dari sini semua turun ke bawah." Dana berpaling dan memandang tanah yang tak kenal ampun nun jauh di bawah sana. Ia bergidik. "Anda kelihatannya kedinginan, Miss Evans. Sebaiknya saya bawa Anda turun." "Terima kasih." Dana baru saja kembali ke Inn at the Waterfront ketika terdengar ketukan di pintu. Dana membukanya. Seorang laki-laki berperawakan besar dan berwajah pucat berdiri di sana. "Miss Evans?" "Ya." "Hai. Nama saya Nicholas Verdun. Saya dari surat kabar Juneau Empire." "Ya." "Saya dengar Anda sedang melakukan penyelidikan atas kematian Julie Winthrop? Kami ingin memuat cerita tentang hal itu " Alarm berbunyi dalam benak Dana. "Saya khawatir Anda keliru. Saya tidak melakukan penyelidikan apa-apa." Laki-laki itu memandangnya dengan skeptis. "Saya dengar-" "Kami sedang menggarap tayangan tentang bermain ski di seluruh penjuru dunia. Ini cuma salah satu tempat." Ia terpaku sesaat. "Begitu. Maaf telah mengganggu Anda." Dana mengawasinya pergi. Bagaimana ia bisa tahu apa yang sedang kulakukan di sini? Dana menelepon Juneau Empire. "Halo. Saya ingin bicara dengan salah satu reporter Anda, Nicholas Verdun..." Ia mendengarkan sebentar. "Tidak ada yang bernama itu? Saya mengerti. Terima kasih." Dana perlu waktu sepuluh menit untuk berkemas. Aku harus menyingkir dari sini dan mencari tempat lain. Sekonyong-konyong ia teringat sesuatu. Bukankah Anda menanyakan tentang Cozy Log, penginapan milik kami? Anda beruntung. Kami masih punya satu kamar. Dana turun ke lobi untuk check out. Pegawai hotel memberinya petunjuk jalan ke penginapan dan menggambarkan peta kecil. Di lantai bawah tanah sebuah gedung pemerintah, laki-laki itu melihat peta digital di komputer dan berkata, "Subjek sedang meninggalkan pusat kota, menuju barat." Cozy Log Bed-and-Breakfast Inn adalah rumah balok kayu Alaska satu lantai, setengah jam perjalanan dari pusat kota Juneau. Sempurna. Dana membunyikan bel dan pintu dibuka seorang wanita menarik dan ceria yang berusia tiga puluhan. "Halo. Ada yang bisa saya bantu?" "Ya. Saya bertemu suami Anda, dan ia mengatakan Anda masih punya satu kamar kosong " "Benar. Saya Judy Bowler." "Dana Evans." "Silakan masuk." Dana melangkah ke dalam dan melihat sekitarnya. Penginapan itu terdiri atas ruang duduk yang luas dan nyaman, dilengkapi perapian batu, ruang makan tempat para penginap bersantap, dan dua kamar tidur dengan kamar mandi di dalam. "Saya yang memasak semuanya di sini," kata Judy Bowler. "Rasanya lumayan kok." Dana tersenyum hangat. "Saya sudah tidak sabar untuk mencicipinya." Judy Bowler mengantar Dana ke kamarnya. Kamar itu bersih dan seperti kamar rumah biasa. Dana membongkar bawaannya. Di penginapan itu menginap pasangan lain, dan percakapannya santai. Tak satu pun mengenali Dana. Sesudah makan siang. Dana mengemudi kembali ke kota. Ia masuk ke bar Cliff House dan memesan minuman. Semua pegawai di sana tampak kecokelatan terbakar matahari dan sehat. Tentu saja. "Cuaca bagus," kata Dana pada si bartender muda yang berambut pirang. "Yeah. Cuaca yang sangat bagus untuk main ski." "Apakah Anda sering main ski?" Ia tersenyum. "Setiap saya ada waktu senggang." "Terlalu berbahaya bagi saya." Dana mengembuskan napas. "Seorang teman saya tewas di sini beberapa bulan yang lalu." Bartender itu meletakkan gelas yang sedang dilapnya. "Tewas?" "Ya. Julie Winthrop." Ekspresinya berubah muram. "Ia biasa datang ke sini. Wanita yang menyenangkan." Dana mencondongkan badan ke depan. "Saya dengar itu bukan kecelakaan." Matanya melebar. "Apa maksud Anda?" "Saya dengar ia dibunuh." "Dibunuh?" katanya takjub. "Tidak mungkin. Itu kecelakaan." Dua puluh menit kemudian Dana berbicara pada bartender lain di Prospector Hotel. "Cuaca bagus." "Cuaca yang cocok untuk main ski," kata si bartender. Dana menggeleng. 'Terlalu berbahaya bagi saya. Seorang teman saya tewas main ski di sini. Anda mungkin pernah bertemu dengannya. Julie Winthrop." "Oh, tentu. Saya sangat suka dengannya. Maksud saya, ia tidak congkak, berbeda dengan beberapa orang tertentu. Ia rendah hati." Dana memajukan badan. "Saya dengar kema-tiannya bukan kecelakaan." Ekspresi wajah bartender itu berubah. Ia memelankan suara. "Saya memang tahu itu bukan kecelakaan." Jantung Dana berdenyut cepat. "Benarkah?" "Sungguh." ia mencondongkan badan ke depan, seolah akan membicarakan masalah rahasia. "Makhluk-makhluk Mars itu..." Ia berski ke puncak Ptarmigan Mountain, dan dapat merasakan angin dingin menggigitnya. Ia melihat ke lembah di bawah, mencoba memutuskan apakah hendak kembali sekarang, ketika tiba-tiba ia merasakan dorongan dari belakang. Ia terlontar menuruni lereng, makin lama makin cepat, menuju sebatang pohon raksasa. Tepat sebelum menabrak pohon itu, ia terjaga sambil menjerit. Dana duduk di ranjang, gemetar. Itukah yang terjadi pada Julie Winthrop? Siapakah yang mendorongnya hingga tewas? Elliot Cromwell tidak sabar. "Matt, kapan Jeff Connors kembali? Kita membutuhkannya." "Segera. Ia terus memberi kabar." "Dan bagaimana dengan Dana?" "Ia berada di Alaska, Elliot. Kenapa?" "Aku ingin melihatnya berada di sini. Peringkat siaran malam kita turun." Dan Matt Baker memandangnya, bertanya-tanya dalam hati apakah itu alasan keprihatinan Elliot Cromwell yang sebenarnya. Keesokan paginya, Dana berpakaian dan kembali ke pusat kota. Di bandara, ketika menunggu penerbangannya, Dana menyadari seorang laki-laki di sudut sesekali memandangnya. Rasanya orang itu pernah dilihatnya. Ia memakai setelan jas abu-abu gelap, dan mengingatkan Dana pada seseorang. Dan Dana ingat siapa orang itu. Laki-laki lain di bandara Aspen. Pria itu juga memakai setelan jas abu-abu tua. Tetapi bukan pakaian itu yang memicu ingatan Dana. Ada sesuatu pada sikap mereka. Mereka berdua memancarkan aura angkuh yang tak menyenangkan. Pria itu mengawasinya dengan pandangan yang nyaris mencemooh. Dana bergidik. Sesudah Dana naik ke pesawat, laki-laki itu berbicara di telepon genggam dan meninggalkan bandara. LIMA BELAS Ketika tiba di rumah, Dana menemukan pohon Natal kecil dan indah yang dibeli dan dihias Mrs. Daley. "Lihat ornamen ini," kata Mrs. Daley bangga. "Kemal yang membuatnya sendiri." Penghuni apartemen sebelah menyaksikan adegan itu di televisinya. Dana mencium pipi perempuan tua itu. "Saya sayang Anda, Mrs. Daley." Wajah Mrs. Daley merona merah. "Oh, tidak usah meributkan soal kecil begini." "Mana Kemal?" "Ia di kamarnya. Ada dua pesan untuk Anda, Miss Evans. Anda diminta menelepon Mrs. Hudson. Saya taruh catatan nomornya di meja rias. Dan ibu Anda menelepon." "Terima kasih." Ketika Dana masuk ke ruang belajar, Kemal sedang asyik di depan komputer. Ia mengangkat mata. "Hei, kau sudah kembali." "Aku kembali," kata Dana. "Dope. Aku memang berharap kau ada di sini untuk merayakan Natal." Dana memeluknya. "Pasti. Aku takkan melewatkannya. Bagaimana keadaanmu selama ini?" "Rad." Bagus. "Kau suka Mrs. Daley?" ia mengangguk. "Ia asyik." Dana tersenyum. "Aku tahu. Aku perlu menelepon beberapa orang. Aku akan segera kembali." Berita buruk dulu, pikir Dana. Ia menelepon ibunya. Ia belum bicara dengannya sejak kejadian di Westport. Bagaimana ia bisa menikah dengan laki-laki seperti itu? Dana mendengar telepon berdering beberapa kali, lalu terdengar rekaman suara ibunya. "Kami sedang tidak ada di rumah, tapi kalau kau meninggalkan pesan, kami akan meneleponmu kembali. Tunggu sampai terdengar nada " Dana menunggu. "Selamat Natal, Ibu." Ia lalu menutup telepon. Telepon berikutnya untuk Pamela. "Dana, saya senang Anda sudah kembali!" Pamela Hudson berkata. "Kami dengar di siaran berita Jeff sedang pergi, tapi saya dan Roger telah mengundang beberapa orang untuk jamuan makan malam Natal besok. Kami ingin Anda serta Kemal datang. Jangan katakan Anda sudah punya rencana lain." "Tidak," kata Dana. "Saya tidak punya rencana apa-apa. Dan kami ingin sekali datang. Terima kasih, Pamela." "Bagus. Kami menunggu Anda pukul lima. Pakaiannya santai." Ia diam sejenak. "Bagaimana situasinya?" "Saya tidak tahu," kata Dana terus terang. "Saya tidak tahu apakah ada situasi apa pun." "Yah, lupakan segalanya sementara ini. Beristirahatlah. Sampai jumpa besok." Ketika Dana dan Kemal tiba di rumah keluarga Hudson pada Hari Natal, mereka disambut Cesar di pintu. Wajahnya berseri-seri ketika ia melihat Dana. "Miss Evans! Sungguh senang melihat Anda lagi." Ia tersenyum pada Kemal. "Dan Master Kemal." "Hai, Cesar," sapa Kemal. Dana menyerahkan bingkisan berbungkus warna-warni pada Cesar. "Selamat Natal, Cesar." "Saya tidak tahu apa-" Ia terbata-bata. "Saya tidak-Anda terlalu baik, Miss Evans!" Si raksasa lembut hati itu, demikian julukan Dana padanya, merona merah. Dana mengangsurkan dua bingkisan lain. "Yang ini untuk Mr. dan Mrs. Hudson." "Ya, Miss Evans. Saya akan meletakkannya di bawah pohon Natal. Mr. dan Mrs. Hudson ada di ruang duduk." Cesar berjalan duluan. Pamela berkata, "Kalian sudah datang! Kami sangat gembira kalian bisa datang." "Kami juga." kata Dana. Pamela melihat lengan kanan Kemal. "Dana, Kemal punya-bagus sekali!" Dana tersenyum lebar. "Bagus, ya? Berkat atasan saya. Ia begitu murah hati. Saya rasa ini telah mengubah seluruh hidup Kemal." "Saya senang mendengarnya." Roger mengangguk. "Selamat, Kemal." "Terima kasih, Mr. Hudson." Roger Hudson berkata pada Dana. "Sebelum tamu-tamu lain tiba, ada yang harus saya sampaikan. Ingat saya pernah mengatakan bahwa Taylor Winthrop memberitahu teman-temannya ia akan mengundurkan diri dari kehidupan publik tapi kemudian malah jadi duta besar untuk Rusia?" "Ya. Saya menduga Presiden mendesaknya untuk-" "Begitulah perkiraan semula saya. Tetapi sepertinya Winthrop-Iah yang mendesak Presiden agar mengangkatnya sebagai duta besar. Pertanyaannya adalah, mengapa?" Tamu-tamu lain mulai berdatangan. Hanya ada dua belas orang lain dalam jamuan tersebut, dan suasana malam itu terasa hangat serta ceria. Sesudah hidangan penutup, semua pergi ke ruang duduk. Di depan perapian tampak pohon Natal besar. Semua orang mendapat hadiah, tetapi Kemal memperoleh yang paling hebat: game komputer, Rollerblades, sweter, sarung tangan, dan kaset video. Waktu berlalu cepat. Kegembiraan bersama orang-orang yang demikian ramah, sesudah tekanan beberapa hari terakhir ini, begitu besar. Seandainya saja Jeff ada di sini. Dana Evans duduk di meja pembaca berita, menunggu siaran berita pukul 23.00 dimulai. Di sampingnya duduk rekannya, Richard Melton. Maury Falstein duduk di kursi yang biasanya ditempati Jeff Dana mencoba untuk tidak memikirkan hal itu. Richard Melton berkata pada Dana, "Aku merasa kehilangan saat kau bepergian." Dana tersenyum. "Terima kasih, Richard. Aku pun kehilangan kau." "Kau pergi cukup lama. Semua baik-baik?" "Semua baik-baik." "Ayo kita makan bersama sesudah ini." "Aku harus memastikan dulu Kemal baik-baik saja." "Kita bisa bertemu di suatu tempat." Kita harus bertemu di tempat lain. Saya rasa saya diawasi. Di kandang burung besar di kebun binatang. Melton meneruskan. "Mereka mengatakan kau sedang menyelidiki berita besar. Mau membicarakannya?" "Belum ada yang bisa dibicarakan, Richard." "Aku mendengar selentingan Cromwell tidak terlalu senang kau begitu banyak bepergian. Aku harap kau tidak menemui masalah dengannya." Saya nasihati Anda. Jangan mencari-cari masalah, atau Anda akan menemukannya. Itu janji saya. Dana merasa sulit memusatkan pikiran pada apa yang diucapkan Richard Melton. "ia senang memecat orang," kata Melton. Bill Kelly menghilang sehari sesudah kebakaran itu. Ia bahkan tidak mengambil bayarannya, pergi begitu saja. Richard Melton terus berbicara. "Dengan Tuhan sebagai saksinya, aku bersumpah tidak ingin bekerja dengan penyiar baru." Saksi kecelakaan itu turis Amerika, Ralph Benjamin. Seorang tuna netra. "Lima-empat-tiga-dua..." Anastasia Mann menudingkan satu jari ke arah Dana. Lampu merah kamera menyala. Suara announcer menggelegar, "Kini siaran berita pukul sebelas di WTN bersama Dana Evans dan Richard Melton." Dana tersenyum ke arah kamera "Selamat malam. Saya Dana Evans." "Dan saya Richard Melton." Mereka kembali mengudara. "Hari ini di Arlington, tiga siswa Wilson High School ditahan sesudah polisi menggeledah locker mereka dan menemukan tujuh ons mariyuana dan berbagai senjata, termasuk sepucuk pistol curian. Laporan selengkapnya oleh Holly Rapp." Kembali pada rekaman. Kami tidak banyak menghadapi kasus pencurian benda seni, tetapi modus operandi-nya hampir selalu sama. Yang ini beda. Siaran selesai. Richard Melton memandang Dana. "Kita ketemu nanti?" "Jangan malam ini, Richard. Ada yang harus kulakukan." Richard berdiri. "Oke." Dana merasa pria itu ingin menanyainya soal Jeff. Namun Richard berkata, "Sampai jumpa besok." Dana berdiri. "Selamat malam, semuanya." Dana berjalan keluar dari studio dan masuk ke kantornya. Ia duduk, menghidupkan komputer, log on ke Internet, dan mulai mencari lagi di antara artikel-artikel tentang Taylor Winthrop yang tak terhitung jumlahnya. Di salah satu Web site, Dana kebetulan menemukan informasi tentang Marcel Falcon, pejabat pemerintah Prancis yang pernah menjadi duta besar untuk NATO. Artikel itu menyebutkan Marcel Falcon menegosiasikan perjanjian dagang dengan Taylor Winthrop. Di tengah negosiasi itu, Falcon mendadak mengundurkan diri dari kedudukannya dalam pemerintah dan pensiun. Di tengah negosiasi antar pemerintah? Ada apa? Dana mencoba Web site lain, tetapi tidak ada informasi lebih jauh tentang Marcel Falcon. Aneh sekali. Aku harus memeriksanya, Dana memutuskan. Ketika Dana selesai, waktu menunjukkan pukul 02.00. Terlalu pagi untuk menelepon Eropa. Ia pulang ke apartemen. Mrs. Daley sudah menunggunya. "Maaf saya pulang selarut ini," kata Dana. "Saya-" "Tidak ada masalah. Saya melihat siaran Anda malam ini. Saya rasa tetap sehebat biasanya, Miss Evans." 'Terima kasih." Mrs. Daley menghela napas. "Saya cuma berharap semua berita tersebut tidak begitu mengerikan. Dunia macam apa yang kita tinggali ini?" "Pertanyaan bagus. Bagaimana Kemal?" "Jagoan cilik itu baik-baik saja. Saya biarkan ia mengalahkan saya waktu main kartu." Dana tersenyum. "Bagus. Terima kasih, Mrs. Daley. Kalau besok Anda ingin datang lebih siang-" "Tidak, tidak. Saya akan ke sini pagi-pagi seperti biasa untuk menyiapkan kalian berangkat sekolah dan bekerja." Dana mengamati Mrs. Daley pergi. Betul-betul langka, pikirnya bersyukur. Telepon genggamnya berdering. Ia berlari untuk mengambilnya. "Jeff?" "Selamat Natal. Sayang." Suara Jeff bagai mengaliri sekujur tubuhnya. "Apakah aku menelepon terlalu larut malam?" "Tidak pernah terlalu larut. Ceritakan padaku tentang Rachel." "Ia sudah pulang ke rumah." Yang dimaksud Jeff, ia sudah pulang ke rumahnya sendiri. "Di sini ada perawat, tapi Rachel mau ia tinggal sampai besok saja." Dana tidak suka menanyakan ini. "Dan setelah itu?" "Hasil tes menunjukkan kanker itu sudah menyebar. Rachel tidak ingin aku pergi sekarang." "Aku mengerti. Aku tidak bermaksud egois, tapi apa tidak ada orang yang-" "Ia tidak punya siapa pun, Sayang. Ia sendirian dan panik. Ia tidak mau ada orang lain di sini. Terus terang, aku tidak tahu apa yang akan dilakukan Rachel kalau aku meninggalkannya." Dan aku tidak tahu apa yang akan kulakukan kalau kau tinggal di sana. "Mereka ingin segera memulai kemoterapi." "Berapa lama?" "Ia butuh satu kali perawatan setiap tiga minggu selama empat bulan." Empat bulan. "Matt sudah memintaku untuk mengambil cuti. Aku sangat prihatin mengenai semua ini. Sayang." Apa sebenar maksudnya? Prihatin soal pekerjaan? Prihatin soal Rachel? Atau prihatin hidup kami terpisah seperti ini? Bagaimana aku bisa egois seperti ini? Dana bertanya pada diri sendiri. Wanita itu sedang sakit berat. "Aku juga," akhirnya Dana berkata. "Aku harap semuanya berakhir baik." Baik untuk siapa? Untuk Rachel dan Jeff? Untuk Jeff dan aku? Setelah meletakkan telepon, Jeff mendongak dan melihat Rachel berdiri tak jauh darinya. Wanita itu mengenakan gaun tidur dan mantel. Rachel tampak menawan, dengan kulit yang tampak hampir transparan. "Dari Dana?" "Ya," jawab Jeff. Rachel mendekatinya. "Jeff yang malang. Aku tahu betapa tersiksanya kalian berdua gara-gara semua ini. Ta-tapi aku tidak sanggup menjalani ini tanpa dirimu. Aku membutuhkanmu, Jeff. Aku membutuhkanmu sekarang." Dana tiba di kantor pagi-pagi dan log on ke Internet lagi. Dua informasi menarik perhatiannya. Jika terpisah, dua informasi itu wajar-wajar saja, tetapi jika disatukan, mereka menyiratkan misteri. Informasi pertama berbunyi: "Vincent Mancino, menteri perdagangan Italia, mendadak mengundurkan diri sewaktu negosiasi kontrak dagang dengan Taylor Winthrop, wakil dari Amerika Serikat, tengah berlangsung. Asisten Mancino, Ivo Vale, menggantikannya." Informasi kedua berbunyi: "Taylor Winthrop, penasihat khusus NATO di Brussel, minta agar dirinya diganti dan kembali ke rumahnya di Washington." Marcel Falcon mengundurkan diri, Vincent Mancino mengundurkan diri, Taylor Winthrop berhenti mendadak. Apakah semua itu berkaitan? Kebetulan? Menarik. Telepon Dana yang pertama adalah kepada Dominick Romano, yang bekerja pada jaringan Italia 1 di Roma. "Dana! Senang sekali mendengar suaramu. Ada apa?" "Aku akan datang ke Roma, dan aku ingin bicara." "Bene! Soal apa?" Dana ragu. "Aku lebih suka membicarakannya setelah aku sampai di sana." "Kapan kau datang?" "Aku akan tiba di sana hari Sabtu." "Akan kubuatkan pasta yang lezat." Telepon Dana yang berikutnya adalah kepada Jean Somville, yang bekerja di kantor urusan pers NATO di rue des Chapeliers, Brussels. "Jean? Dana Evans." "Dana! Kita tidak pernah bertemu lagi sejak Sarajevo. Hebat sekali waktu itu. Kau akan kembali ke sana?" Dana meringis. "Tidak, kalau bisa." "Apa yang bisa kulakukan untukmu, cherie?" "Beberapa hari lagi aku akan ke Brussels. Apakah kau akan ada di tempat?" "Untukmu? Tentu. Ada yang istimewa?" "Tidak," kata Dana cepat-cepat. "Baiklah. Kau cuma melancong, heh?" Terdengar nada skeptis, kurang percaya, dalam suaranya. "Kurang-lebih seperti itulah," kata Dana. Ia tertawa. "Aku menunggumu. Au revoir" "Au revoir." "Matt Baker ingin bertemu denganmu." "Katakan padanya aku akan segera ke sana, Olivia." Dua telepon lagi dan Dana sudah dalam perjalanan ke kantor Matt. Matt berkata tanpa basa-basi, "Kita mungkin beruntung. Ada sesuatu. Tadi malam aku mendengar cerita yang mungkin bisa jadi petunjuk tentang apa yang kita cari." Dana merasa jantungnya berdebar lebih cepat. "Ya?" "Ada laki-laki bernama"-ia memeriksa secarik kertas di atas mejanya-"Dieter Zander, di Dusseldorf. Ia pernah berhubungan bisnis dengan Taylor Winthrop."' Dana mendengarkan dengan penuh perhatian. "Aku tidak mendapatkan seluruh ceritanya, tapi tampaknya pernah terjadi sesuatu yang sangat buruk di antara mereka. Mereka putus hubungan setelah berseteru hebat, dan Zander bersumpah akan membunuh Winthrop. Rasanya ini pantas dicek." "Tentu. Aku akan segera mengeceknya, Matt." Mereka bercakap-cakap beberapa menit lagi. lalu Dana berlalu. Aku ingin tahu bagaimana aku bisa mencari lebih banyak informasi tentang masalah ini. Ia mendadak teringat pada Jack Stone dan FRA. ia mungkin tahu sesuatu. Ia menemukan nomor telepon pribadi yang diberikan Jack Stone padanya dan menghubunginya. Suara pria itu terdengar di telepon. "Jack Stone." "Di sini Dana Evans." "Halo. Miss Evans. Apa yang bisa saya lakukan untuk Anda?" "Saya mencoba mencari informasi tentang orang bernama Zander di Dusseldorf." "Dieter Zander?" "Ya. Anda tahu dia?" "Kami tahu siapa dia." Dana menyadari pemakaian kata kami itu. "Bisa Anda menceritakan sesuatu tentang dia?" "Apakah ini ada kaitannya dengan Taylor Winthrop?" "Ya." "Taylor Winthrop dan Dieter Zander bermitra dalam suatu transaksi bisnis. Zander dipenjara karena memanipulasi saham, dan sewaktu berada di dalam penjara, rumahnya terbakar habis, menewaskan istri dan tiga anaknya. Ia menyalahkan Taylor Winthrop atas musibah itu." Dan Taylor Winthrop dan istrinya tewas dalam kebakaran. Dana mendengarkan dengan perasaan terguncang. "Apakah Zander masih berada dalam penjara?" "Tidak. Saya yakin ia sudah keluar tahun lalu. Ada yang lain?" 'Tidak. Terima kasih banyak." "Ini hanya di antara kita." "Saya mengerti." Sambungan terputus. Sekarang ada tiga kemungkinan, pikir Dana. Dieter Zander di Dusseldorf. Vincent Mancino di Roma. Marcel Falcon di Brussels. Aku akan pergi ke Dusseldorf dulu. Olivia berkata, "Mrs. Hudson di saluran tiga." "Terima kasih." Dana mengangkat telepon. "Pamela?" "Halo, Dana. Saya tahu pemberitahuan ini mendadak. Teman baik kami datang, karena itu saya dan Roger akan mengadakan pesta kecil untuknya hari Rabu ini. Saya tahu Jeff masih di luar kota, tapi kami ingin Anda datang. Apakah ada waktu luang?" "Saya rasa tidak bisa. Saya berangkat ke Dusseldorf malam ini." "Oh. Sayang." "Dan, Pamela-" "Ya?" 247 "Jeff mungkin pergi agak lama." Mereka terdiam. "Saya harap semuanya baik-baik." "Ya. Saya yakin begitu." Harus begitu. ENAM BELAS Malam itu di bandara Dulles, Dana naik jet Lufthansa menuju Dusseldorf. Sebelumnya ia sudah menelepon Steffan Mueller, yang bekerja di Kabel Network untuk memberitahu bahwa ia dalam perjalanan ke sana. Pikiran Dana dipenuhi perkataan Matt Baker padanya. Kalau Dieter Zander menyalahkan Taylor Winthrop atas- "Guten Abend. Ich heisse Hermann Friedrich. 1st es das ersten mal das sie Deutschland besuchen?" Dana menoleh untuk melihat laki-laki yang duduk di sebelahnya. Pria itu berusia lima puluhan, langsing, memakai sebelah penutup mata, dan berkumis tebal. "Selamat malam," kata Dana. "Ah, Anda orang Amerika?" "Ya." "Banyak orang Amerika berkunjung ke Dusseldorf. Kota yang indah." 249 "Begitulah yang saya dengar." Dan keluarganya meninggal dalam kebakaran. "Ini kunjungan pertama Anda?" "Ya." Mungkinkah itu cuma kebetulan? "Kota itu sangat indah. Anda tahu, Dusseldorf dibelah Sungai Rhine menjadi dua bagian. Bagian lama terletak di sisi kanan-" Steffan Mueller bisa menceritakan lebih banyak tentang Dieter Zander. "-dan bagian yang modern berada di sisi kiri. Lima jembatan menghubungkan kedua sisi itu." Hermann Friedrich bergeser mendekati Dana sedikit. "Anda mengunjungi teman di Dusseldorf?" Semua mulai kelihatan hubungannya. Friedrich mencondongkan badan. "Kalau Anda sendirian, saya tahu-" "Apa? Oh. Tidak, saya akan menemui suami saya di sana." Senyum Hermann Friedrich menghilang. "Gut. Er ist ein gliicklicher Mann." Taksi berderet di luar Dusseldorf International Airport. Dana naik salah satu di antaranya menuju Breidenbacher Hof di pusat kota. Tempat itu adalah hotel tua yang anggun dengan lobi penuh hiasan. Resepsionis di belakang meja berkata, "Kami sudah menunggu Anda, Miss Evans. Selamat datang di Dusseldorf." 'Terima kasih." Dana menandatangani formulir. Petugas itu mengangkat telepon dan berbicara. "Der Raum sollte betriebsbereit sein. Hast." ia meletakkan gagang telepon dan menoleh pada Dana. "Maaf, Fraulein, kamar Anda belum siap. Silakan menikmati makanan sebagai tamu kami, dan saya akan memanggil Anda segera setelah petugas selesai membersihkannya." Dana mengangguk. "Baiklah." "Mari saya antar Anda ke ruang makan." Di kamar Dana di lantai atas, dua ahli elektronika sedang memasang kamera di dalam jam dinding. Tiga puluh menit kemudian, Dana sudah berada di kamarnya, membongkar bawaan. Telepon pertama ia tujukan ke Kabel Network. "Aku sudah tiba, Steffan," kata Dana. "Dana! Kau benar-benar datang. Apa acaramu untuk makan malam nanti?" "Aku berharap bisa makan malam bersamamu." "Tentu. Kita pergi ke Im Schiffchen. Pukul delapan?" "Bagus." Dana berpakaian dan sudah keluar pintu ketika telepon genggamnya berbunyi. Ia cepat-cepat mengeluarkannya dari tas. "Halo?" "Halo, Sayang. Apa kabar?" "Aku baik-baik, Jeff." "Dan ada di mana kau sekarang?" "Aku di Jerman. Dusseldorf. Kurasa aku akhirnya menemukan sesuatu." "Dana, hati-hati. Ya Tuhan, aku ingin sekali bersamamu." Aku juga, pikir Dana. "Bagaimana kabar Rachel?" "Kemoterapi menghabiskan tenaganya. Lumayan berat." "Apakah ia akan-?" Ia tak dapat menyelesaikan kalimat itu. "Terlalu dini untuk memastikannya. Kalau kemoterapi ini efektif, peluangnya untuk sembuh besar." "Jeff, katakan padanya aku ikut prihatin." "Tentu. Apakah ada yang bisa kulakukan untukmu?" "Terima kasih, aku tidak apa-apa." "Aku akan meneleponmu besok. Aku cuma ingin mengatakan aku mencintaimu, Manis." "Aku cinta padamu, Jeff. Selamat tinggal." "Selamat tinggal." Rachel keluar dari kamar tidur. Ia memakai mantel dan sandal, dan handuk Turki membungkus kepalanya. "Bagaimana kabar Dana?" "ia baik-baik saja, Rachel. Ia minta aku mengatakan padamu ia ikut prihatin " "Ia sangat mencintaimu." "Aku pun sangat mencintainya." Rachel bergeser lebih dekat padanya. "Kau dan aku pernah saling mencintai, bukan, Jeff? Apa yang terjadi?" Jeff mengangkat bahu. "Kehidupan. Atau aku seharusnya mengatakan 'dua kehidupan". Kita menjalani kehidupan yang tak pernah menyatu." "Aku terlalu sibuk dengan karier modelingku." Ia mencoba untuk menahan air mata. "Well, aku tidak akan dapat melakukannya lagi, bukan?" Jeff merangkul pundaknya. "Rachel, kau akan sembuh. Kemoterapi ini akan berhasil." "Aku tahu. Sayang, terima kasih kau telah menemani aku di sini. Aku tidak mungkin menghadapi semua ini seorang diri. Entah apa yang akan kulakukan tanpa dirimu." Jeff tidak bisa menjawabnya. Im Schiffchen adalah restoran anggun di bagian indah Dusseldorf. Steffan Mueller melangkah masuk dan tersenyum lebar ketika melihat Dana. "Dana! Mein Gott. Aku tidak pernah bertemu denganmu sejak Sarajevo." "Rasanya sudah berabad-abad, bukan?" "Apa yang kaukerjakan di sini? Apakah kau datang untuk menyaksikan festival?" "Tidak. Seseorang memintaku mencari informasi tentang temannya, Steffan." Pelayan datang dan mereka memesan minuman. "Siapa si teman itu?" Namanya Dieter Zander. Kau pernah mendengar tentang dia?" Steffan Mueller mengangguk. "Semua orang pernah mendengar tentang pria itu. Ia orang terkenal. Ia terlibat skandal besar. Zander milyarder, tetapi ia begitu tolol karena menipu beberapa pemegang saham, dan tertangkap. Hukumannya seharusnya dua puluh tahun, tetapi ia menggunakan kekuasaannya dan mereka melepaskannya dalam tiga tahun. Ia menyatakan dirinya tak bersalah." Dana mengawasinya. "Benarkah ia tidak bersalah?" "Siapa yang tahu? Di pengadilan ia mengatakan Taylor Winthrop menjebaknya dan mencuri jutaan dolar. Pengadilan itu sangat menarik. Menurut Dieter Zander, Taylor Winthrop menawarinya kemitraan untuk mengelola tambang zink, yang seharusnya bernilai milyaran dolar. Winthrop memakai Zander sebagai tameng, dan Zander menjual saham bernilai jutaan dolar. Tetapi ternyata tambang itu direkayasa." "Rekayasa?" "Tidak ada zink di situ. Winthrop menyimpan uang itu dan Zander yang menanggung akibatnya." "Juri tidak percaya cerita Zander?" "Seandainya ia menuduh siapa saja selain Taylor Winthrop, mungkin mereka akan percaya. Tapi Winthrop seperti manusia setengah dewa." Steffan memandangnya dengan wajah ingin tahu. "Apa kepentinganmu dalam hal ini?" Dana berkata samar, "Seperti kataku tadi, temanku meminta aku menyelidiki Zander" Tiba saatnya untuk memesan santap malam. Makanannya lezat. Selesai bersantap, Dana berkata, "Aku pasti bakal benci pada diri sendiri besok pagi. Tapi tidak apa-apalah, makanan ini enak sekali." Saat mengantarkan Dana sampai hotel, Steffan berkata, "Apakah kau tahu boneka teddy bear di-ciptakan di sini oleh wanita bernama Margarete Steiff? Boneka kecil itu populer di seluruh penjuru dunia." Dana mendengarkan, sambil dalam hati bertanya-tanya ke mana arah cerita ini. "Di Jerman kami memang punya beruang be-tulan, dan binatang itu berbahaya. Bila kau bertemu Dieter Zander, berhati-hatilah, ia kelihatan seperti teddy bear, tetapi sesungguhnya bukan. Ia beruang betulan." Zander Electronics International menempati gedung raksasa di daerah industri di pinggiran Dusseldorf. Dana mendekati salah satu resepsionis di lobi yang ramai itu. "Saya ingin bertemu Mr. Zander." "Apakah Anda ada janji?" "Ya. Saya Dana Evans." "Gerade ein Moment, bitte." Resepsionis itu bicara di telepon, lalu mengangkat pandangan pada Dana. "Fraulein, kapan Anda membuat janji ini?" "Beberapa hari yang lalu," Dana berbohong. "Es tut mir leid. Sekretarisnya tidak punya catatan mengenai hal itu." Ia bicara di telepon lagi, lalu meletakkan gagang telepon. "Tidak mungkin menemui Mr. Zander tanpa janji." Resepsionis itu berpaling pada kurir di sampingnya. Sekelompok pegawai memasuki pintu. Dana menjauhi meja dan bergabung dengan mereka, bergerak ke tengah. Mereka masuk lift. Ketika lift itu naik, Dana berkata, "Aduh. Saya lupa ada di lantai berapa Mr. Zander sekarang." Salah seorang wanita berkata, "Vier. " "Danke," kata Dana. Ia turun di lantai empat dan berjalan ke meja yang dijaga seorang wanita muda. "Saya ke sini untuk menemui Dieter Zander. Saya Dana Evans." Wanita itu mengernyit. "Tapi Anda tidak punya janji, Fraulein" Dana membungkuk ke depan dan berkata lirih, "Anda katakan pada Mr. Zander bahwa saya akan membuat siaran nasional di Amerika Serikat tentang ia dan keluarganya kalau ia tidak mau bicara dengan saya, dan untuk kepentingannyalah ia harus bicara dengan saya sekarang" Sekretaris itu mengamatinya, bingung. "Tunggu sebentar. Bitte." Dana mengawasinya berdiri, membuka pintu bertuliskan PRIVAT, dan melangkah ke dalam. Dana memandang sekeliling ruang penerimaan tamu itu. Ada foto-foto dari berbagai pabrik Zander Electronics di seluruh penjuru dunia. Perusahaan itu punya cabang di Amerika, Prancis, Italia... negara-negara tempat pembunuhan terhadap keluarga Winthrop terjadi. Si sekretaris keluar satu menit kemudian. "Mr. Zander akan menemui Anda," katanya dengan nada tidak senang. 'Tapi beliau hanya punya beberapa menit. Ini sangat-sangat di luar kebiasaan." "Terima kasih," kata Dana. Dana dibawa masuk ke sebuah kantor luas ber-panel. "Ini Fraulein Evans." Dieter Zander duduk di balik meja besar. Ia berusia enam puluhan, laki-laki berperawakan besar dengan wajah tulus dan mata cokelat yang lembut. Dana teringat cerita Steffan tentang boneka teddx bear. Ia memandang Dana dan berkata, "Saya kenal Anda. Anda koresponden di Sarajevo." "Ya" "Saya tidak mengerti apa yang Anda inginkan dari saya. Anda menyinggung-nyinggung keluarga saya pada sekretaris saya." "Boleh saya duduk?" "Bitte." "Saya ingin bicara dengan Anda tentang Taylor Winthrop." Ekspresi Zander menyuram. "Kenapa dia?" "Saya sedang melakukan investigasi, Mr. Zander. Saya yakin Taylor Winthrop dan keluarganya dibunuh " Sorot mata Dieter Zander berubah dingin. "Saya kira sebaiknya Anda pergi sekarang, Fraulein." "Anda pernah berbisnis dengannya," kata Dana. "Dan-" "Pergi!" "Herr Zander, saya sarankan lebih baik Anda membicarakannya secara pribadi dengan saya daripada Anda dan teman-teman Anda menyaksikannya di televisi. Saya ingin bersikap fair. Saya ingin mendengar cerita dari pihak Anda." Dieter Zander lama terdiam. Ketika ia bicara, ada kepahitan luar biasa dalam suaranya. "Taylor Winthrop itu scheisse. Oh, ia pintar, sangat pintar. Ia menjebak saya. Dan sewaktu saya di dalam penjara, Fraulein, anak-istri saya tewas. Seandainya saya ada di rumah... saya mungkin bisa menyelamatkan mereka." Suaranya penuh kepedihan "Memang benar saya benci orang itu. Tapi membunuh Taylor Winthrop? Tidak." ia menyunggingkan senyum teddy bear-nya. lagi. "Auf wiedersehen. Miss Evans." Dana menelepon Matt Baker. "Matt, aku di Dusseldorf. Kau benar. Aku mungkin menemukan sesuatu. Dieter Zander terlibat dalam bisnis dengan Taylor Winthrop. Ia mengatakan Winthrop menjebak dan menjebloskannya ke penjara. Anak-istri Zander tewas dalam kebakaran ketika ia masih berada di balik jeruji." Mereka diam, terguncang. "Mereka tewas dalam kebakaran?" "Benar." kata Dana. "Sama seperti Taylor dan Madeline." "Ya. Kau seharusnya melihat sorot mata Zander ketika aku bicara soal pembunuhan." "Semuanya cocok, bukan? Zander punya motif untuk menyapu habis seluruh keluarga Winthrop. Selama ini kau benar mengenai pembunuhan itu. Aku-aku sulit sekali mempercayainya." "Ini kedengarannya kisah bagus. Matt, tapi masih belum ada bukti apa pun. Masih ada dua tempat lagi yang harus kukunjungi. Aku berangkat ke Roma besok pagi," Dana memberitahu. "Aku akan pulang satu atau dua hari lagi." "Jaga dirimu." "Beres." Di markas besar FRA, tiga laki-laki sedang mengamati layar televisi besar di dinding. Di sana tampak Dana tengah berbicara di telepon di kamar hotelnya. Pria-pria itu melihat Dana meletakkan gagang telepon, berdiri dan berjalan masuk ke kamar mandi. Gambar pada layar beralih pada kamera di dalam lemari obat kamar mandi. Dana mulai melepas pakaian. Ia menanggalkan blus dan bra. "Man, lihat payudara itu!" "Spektakuler." "Tunggu. Ia mencopot rok dan celana dalamnya." "Aduh, lihat pantat itu! Aku ingin mencubitnya." Mereka menyaksikan Dana masuk bilik pancuran dan menutup pintunya. Pintu mulai berembun karena uap. Salah seorang laki-laki itu mendesah. "Sementara sampai di sini dulu. Film pukul sebelas." Kemoterapi itu seperti neraka bagi Rachel. Obat-obatan Adnamycin dan Taxotere diberikan lewat infus, dan proses itu memakan waktu empat jam. Dr. Young berkata pada Jeff, "Ini saat yang sangat sulit baginya. Ia akan merasa mual dan letih, dan rambutnya akan rontok. Bagi seorang wanita, itu bisa merupakan efek samping yang paling mengerikan." "Benar." Esok siangnya, Jeff berkata pada Rachel, "Ganti pakaianlah. Kita akan jalan-jalan." "Jeff, aku rasanya tidak sanggup-" "Jangan membantah." Dan tiga puluh menit kemudian mereka sudah berada di toko wig dan Rachel mencoba beberapa. Sambil tersenyum, ia berkata pada Jeff, "Wig-wig ini bagus. Mana yang lebih kausukai, yang panjang atau yang pendek?" "Aku suka dua-duanya," kata Jeff. "Dan kalau kau bosan dengan yang ini, kita kembali lagi dan mengubahmu jadi si rambut cokelat atau merah " Suaranya melembut. "Aku sendiri lebih suka kau apa adanya." Mata Rachel berkaca-kaca. "Aku suka kau apa adanya." TUJUH BELAS Setiap kota punya irama masing-masing, dan Roma sama sekali lain dibanding kota mana pun di dunia. Roma adalah metropolis modern yang terbungkus kepompong sejarah kejayaan selama berabad-abad. Roma bergerak dengan iramanya sendiri yang terukur, karena tak ada alasan baginya untuk bergegas. Hari esok akan datang sendiri pada saatnya. Dana belum pernah lagi ke Roma sejak berumur dua belas tahun, waktu ayah dan ibunya membawanya ke sana. Pendaratan di bandara Leonardo da Vinci memicu berbagai kenangan. Ia ingat hari pertamanya di Roma, ketika ia menjelajahi Colosseum, tempat orang-orang Kristen kuno dilemparkan pada singa, ia tidak tidur seminggu sesudah itu. Ia dan orangtuanya berkunjung ke Vatikan dan Spanish Steps, dan ia melemparkan koin uang lira ke Trevi Fountain, sambil memohon agar orang-tuanya berhenti cekcok. Ketika ayahnya menghilang. Dana merasa pancuran itu telah mengkhianatinya. Ia menyaksikan opera Otello di Terme di Caracal ia, rumah mandi gaya Romawi, dan itu adalah malam yang tak akan pernah dilupakannya Ia makan es krim di Doney's yang tersohor di Via Veneto dan menjelajahi jalan-jalan padat Trastevere. Dana mengagumi Roma dan penduduknya Siapa bisa membayangkan ia kembali lagi ke sini bertahun-tahun kemudian, mencari pembunuh berantai? Dana check in di Hotel Ciceroni, dekat Piazza Navona. "Buon giorno." Manager hotel menyambutnya. "Kami senang Anda tinggal bersama kami. Miss Evans. Anda akan menginap di sini selama dua hari?" Danu ragu. "Saya belum pasti." Ia tersenyum. "Tidak masalah. Kami sudah menyediakan suite yang indah untuk Anda Kalau ada yang bisa kami kerjakan untuk Anda, berita-hukan saja." Italia negara yang sangat ramah. Dan Dana teringat pada bekas tetangganya dulu, Dorothy dan Howard Wharton. Aku tidak tahu bagaimana mereka tahu tentang aku, tapi mereka mengirim orang jauh-jauh ke sini hanxa untuk merundingkan pekerjaan denganku. Terdorong impuls, Dana memutuskan untuk menelepon suami-istri Wharton. Ia minta operator menyambungkannya ke Italiano Ripristino Corporation. "Saya ingin bicara dengan Howard Wharton." "Bisakah Anda mengejanya?" Dana mengeja nama itu. "Terima kasih. Tunggu sebentar." Sebentar ternyata jadi lima menit. Wanita itu kembali berbicara di telepon. "Maaf. Kami tidak punya orang bernama Howard Wharton di sini." Satu-satunya masalah, kami harus ada di Roma besok pagi. Dana menelepon Dominick Romano, pembaca berita di televisi Italia 1. "Ini Dana. Aku ada di sini, Dominick." "Dana! Aku senang kau ada di sini. Di mana kita bisa bertemu?" "Sebut saja tempatnya." "Di mana kau menginap?" "Di Hotel Ciceroni." "Naik taksi dan minta sopirnya membawamu ke Toula. Aku akan menemuimu di sana tiga puluh menit lagi." Toula. di Via Delia Lupa, adalah salah satu restoran paling ternama di Roma. Ketika Dana datang, Romano sudah menunggu. "Buon giorno. Senang bertemu denganmu tanpa mendengar suara bom." "Aku juga, Dominick." "Perang yang sia-sia." Ia menggeleng. "Mungkin lebih sia-sia daripada perang-perang lainnya. Bene! Apa yang kaukerjakan di Roma?" "Aku datang untuk menemui seseorang di sini." "Dana nama laki-laki yang beruntung ini?" "Vincent Mancino." Ekspresi wajah Romano berubah. "Mengapa kau ingin menemuinya?" "Ini mungkin bukan apa-apa, tapi aku sedang melakukan penyelidikan. Ceritakan padaku tentang Mancino." Dominick Romano berpikir baik-baik sebelum berbicara. "Mancino tadinya menteri perdagangan. Ia punya latar belakang Mafia. Koneksinya kuat Yah, ia mendadak mundur dari posisi yang sangat penting itu dan tak seorang pun tahu apa sebabnya." Romana memandang Dana dengan tatapan ingin tahu. "Mengapa kau tertarik padanya?" Dana menghindari pertanyaan itu. "Aku tahu Mancino sedang menegosiasikan transaksi dagang pemerintah dengan Taylor Winthrop ketika ia mundur." "Ya. Winthrop menyelesaikan negosiasi itu dengan orang lain." "Berapa lama Taylor Winthrop tinggal di Roma?" Romano berpikir sesaat. "Sekitar dua bulan. Mancino dan Winthrop jadi sahabat minum." Kemudian ia menambahkan, "Lalu ada yang tidak beres." "Apa?" "Siapa yang tahu? Berbagai kabar beredar. Mancino punya putri tunggal, Pia, dan anak itu menghilang. Istri Mancino sampai gila karenanya." "Apa maksudmu putrinya menghilang? Apakah ia diculik?" "Tidak. Ia cuma"-sia-sia ia berusaha mencari kata yang tepat-"menghilang. Tak seorang pun tahu apa yang terjadi padanya." Ia menghela napas. "Bisa kukatakan padamu, Pia itu cantik." "Di mana istri Mancino sekarang?" "Desas-desus mengatakan ia berada di sanatorium." "Kau tahu lokasinya?" "Tidak. Kau pun tidak ingin tahu." Pelayan mereka datang ke meja. "Aku tahu restoran ini," kata Dominick. "Kau mau aku memesankan makanan untukmu?" "Baiklah." "Bene." Ia menoleh pada si pelayan. "Prima, pasta fagioli. Dopo, abhacchio arrosta con polenta." "Grazie." Makanannya luar biasa lezat dan pembicaraan berlangsung ringan dan santai. Tetapi ketika mereka berdiri untuk pulang, Romano berkata, "Dana, jangan usik Mancino. Ia bukan orang yang suka di-tanya-tanyai." "Tapi kalau ia-" "Lupakanlah orang itu. Dalam satu kata- omerta." "Terima kasih, Dominick. Aku menghargai nasihatmu." Kantor Vincent Mancino terletak di gedung modern miliknya di Via Sardegna. Penjaga bertubuh kekar duduk di belakang meja penerimaan tamu di lobi dari pualam. Ia mendongak ketika Dana masuk. "Buona giorno. Posso aiutarla, Signorina?" "Nama saya Dana Evans. Saya ingin menemui Vincent Mancino." "Anda punya janji?" "Tidak." "Kalau begitu, maaf." "Katakan padanya ini soal Taylor Winthrop." Penjaga itu mengamati Dana sesaat, lalu mengangkat telepon dan berbicara. Ia meletakkan gagang telepon. Dana menunggu. Apa yang akan kutemukan? Telepon berdering, dan si penjaga mengangkatnya dan mendengarkan sejenak. Ia berpaling pada Dana. "Lantai dua. Akan ada yang menemui Anda di sana." "Terima kasih." "Prego." * * * Kantor Vincent Mancino ternyata sempit dan tak mengesankan, sama sekali di luar perkiraan Dana. Mancino duduk di balik meja kerja tua dan usang. Ia berusia enam puluhan, berperawakan sedang, dengan dada lebar, bibir tipis, rambut putih, dan hidung bengkok seperti paruh elang. Ia memiliki mata paling dingin yang pernah dilihat Dana. Di meja itu ada foto remaja cantik berbingkai emas. Ketika Dana memasuki kantornya, Mancino berkata, "Anda datang mengenai Taylor Winthrop?" Suaranya parau dan dalam. "Ya. Saya ingin bicara tentang- " "Tidak ada yang bisa dibicarakan, Signorina. Ia mati dalam kebakaran. Ia sekarang terbakar di neraka, begitu juga anak-istrinya." "Boleh saya duduk, Mr. Mancino?" Ia sudah hendak melarang. Namun akhirnya ia berkata, "Scusi. Kadang kalau sedang marah, saya lupa sopan santun. Prego, si accomodi. Silakan duduk." Dana menempati kursi di depan pria itu. "Anda dan Taylor Winthrop waktu itu menegosiasikan transaksi perdagangan antara dua negara." "Ya." "Dan Anda jadi bersahabat?" "Selama beberapa waktu, forse." Dana melirik foto di meja kerja. "Inikah putri Anda?" Ia tidak menjawab. "Cantik " "Ya, ia dulu sangat cantik." Dana memandangnya, kebingungan. "Bukankah ia masih hidup?" Ia melihat laki-laki itu mengamati dirinya, mencoba memutuskan apa yang akan dikatakannya. Ketika akhirnya bersuara, ia berkata, "Hidup? Itu kan kata Anda."'' Suaranya penuh gelora perasaan. "Saya bawa teman Amerika Anda itu, Taylor Winthrop, ke rumah. Ia ikut menikmati roti kami. Saya perkenalkan dia pada sahabat-sahabat. Anda tahu bagaimana ia membalasnya? Ia menghamili putri cantik saya yang masih perawan itu. Putri saya baru berumur enam belas tahun. Dan ia takut menceritakannya pada saya sebab ia tahu saya akan membunuh bangsat itu, maka ia... ia melakukan aborsi."" Ia mengucapkan kata itu penuh kemarahan. "Winthrop takut publisitas, jadi ia tidak membawa Pia ke dokter. Tidak. ia... ia menyuruhnya pergi ke tukang jagal." Air matanya menggenang. "Tukang jagal yang merobek-robek kandungannya. Anak perempuan saya yang baru berumur enam belas tahun, Signorina..." Suaranya tercekat di tenggorokan. "Taylor Winthrop bukan cuma menghancurkan putri saya, ia juga membunuh cucu-cucu saya, serta seluruh anak dan cucu mereka. Ia menyapu habis masa depan keluarga Mancino." Ia menarik napas dalam untuk menenangkan diri. "Kini Winthrop dan keluarganya sudah menebus dosanya yang mengerikan." Dana tertegun, tak mampu berkata apa-apa. "Anak perempuan saya tinggal di biara, Signorina. Saya tidak akan pernah melihatnya lagi. Ya, saya membuat perjanjian dengan Taylor Winthrop." Mata kelabu baja yang dingin itu menatap tajam mata Dana. "Tetapi itu perjanjian dengan iblis." Jadi ada dua sekarang, pikir Dana. Dan masih ada Marcel Falcon. Dalam penerbangan KLM menuju Belgia, Dana menyadari seseorang duduk di sebelahnya. Ia mengangkat muka. Laki-laki itu menarik, wajahnya menyenangkan, dan ia jelas telah meminta pramugari untuk memindahkan tempat duduknya ke samping Dana. Ia memandang Dana dan tersenyum. "Selamat pagi. Perkenankan saya memperkenalkan diri. Nama saya David Haynes." ia berbicara dengan aksen Inggris. "Dana Evans." Wajah pria itu tidak menunjukkan tanda-tanda mengenalinya. "Hari yang bagus untuk terbang, bukan?" "Bagus sekali," Dana menyetujui. Ia mengamati Dana dengan kagum. "Apakah Anda pergi ke Brussel untuk bisnis?" "Bisnis dan bersenang-senang." "Anda punya teman di sana?" "Beberapa." "Saya cukup mengenal Brussels." Tunggu sampai aku menceritakan ini pada Jeff, pikir Dana. Lalu ingatan itu menusuknya kembali, ia sedang bersama Rachel. Laki-laki itu mengamati wajahnya. "Anda tampak familier" Dana tersenyum. "Wajah saya memang pasaran." Ketika pesawat mendarat di bandara Brussels dan Dana turun dari pesawat, seorang laki-laki yang berdiri di terminal mengangkat telepon genggamnya dan melapor. David Haynes berkata, "Anda ada transportasi?" "Tidak, tapi saya bisa- " "Izinkan saya mengantar." Ia membawa Dana ke limusin panjang yang ditunggui sopir. "Saya akan mengantar Anda sampat hotel," katanya pada Dana. Ia memberi perintah kepada si sopir dan limusin itu bergerak memasuki lalu lintas. "Apakah ini kunjungan pertama Anda ke Brussels?" "Ya." Mereka sampai di depan pusat perbelanjaan luas yang berpenerangan alami. Haynes berkata, "Kalau Anda merencanakan untuk berbelanja, saya sarankan Anda melakukannya di sini-Galeries St.-Hubert." "Kelihatannya indah." Haynes berkata pada si pengemudi, "Berhenti sebentar, Charles." Ia menoleh pada Dana. "Itu air mancur Manneken Pis yang terkenal." Air mancur itu berupa patung tembaga bocah kecil yang sedang buang air kecil, dipasang tinggi di dalam kulit kerang. "Salah satu patung paling terkenal di dunia." Sewaktu saya di dalam penjara, Fraulein, anak-istri saya tewas. Seandainya saya tidak dipenjara... saya mungkin bisa menyelamatkan mereka. David Haynes berkata, "Kalau Anda punya waktu senggang malam ini, saya ingin- " "Maaf," kata Dana. "Sayangnya, tidak." Matt dipanggil ke kantor Elliot Cromwell. "Kita kehilangan dua pemain kunci kita. Matt Kapan Jeff kembali?" "Aku tidak tahu pasti, Elliot. Seperti kauketahui, ia terlibat dalam situasi pribadi dengan mantan istrinya, dan aku sudah menyarankan agar ia cuti." "Begitu. Kapan Dana kembali dari Brussels?" Matt memandang Elliot Cromwell dan berpikir: Aku tidak pernah memberitahu dia bahwa Dana ada di Brussels. DELAPAN BELAS Markas besar NATO, Pakta Pertahanan Atlantik Utara, berada di Building Leopold 111, dan di atapnya berkibar bendera Belgia, tiga garis vertikal berwarna hitam, kuning, dan merah. Dana tadinya yakin akan mudah mendapatkan informasi tentang pengunduran diri Taylor Winthrop dari posnya di NATO, dan setelah itu ia akan pulang. Namun NATO ternyata bagai mimpi buruk tumpukan abjad. Selain kantor untuk enam belas negara anggotanya, masih ada kantor NAC, EAPC, NACC, ESDI, CJTF, CSCE, dan sedikitnya selusin akronim lain. Dana pergi ke markas besar pers NATO di rue des Chapeliers dan menemui Jean Somville di ruang pers. Somville berdiri menyambutnya. "Dana!" "Halo, Jean." "Apa yang membawamu ke Brussels?" "Aku sedang menggarap cerita," kata Dana. "Aku butuh beberapa informasi." "Ah. Satu cerita lagi tentang NATO." "Bisa dibilang begitu," kata Dana hati-hati. 'Taylor Winthrop pernah menjadi penasihat Amerika Serikat untuk NATO di sini." "Ya. Ia bekerja dengan baik. Ia orang besar. Menyedihkan sekali tragedi yang menimpa keluarga itu." Ia memandang Dana, ingin tahu. "Apa yang sebenarnya ingin kauketahui?" Dana memilih kata-kata selanjutnya dengan hati-hati, "ia meninggalkan posnya di Brussels lebih awal dari seharusnya. Aku ingin tahu apa alasannya." Jean Somville mengangkat bahu. "Sangat sederhana. Ia sudah menyelesaikan tugasnya di sini." Dana merasakan tusukan perasaan kecewa. "Sewaktu Winthrop bertugas di sini, apakah pernah terjadi... sesuatu yang luar biasa? Apakah pernah ada skandal yang menyangkut dirinya?" Jean Somville memandangnya terkejut. "Sama sekali tidak! Apakah ada yang mengatakan Taylor Winthrop terlibat skandal di NATO?" "Tidak," jawab Dana cepat-cepat. "Aku mendengar pernah terjadi suatu... pertengkaran, semacam perselisihan antara Winthrop dengan seseorang di sini." Somville mengernyit. "Maksudmu pertengkaran pribadi?" "Ya." Ia mengerutkan bibir "Aku tidak tahu. Mungkin aku bisa menyelidikinya." "Aku akan sangat berterima kasih." Dana menelepon Jean Somville keesokan harinya. "Apakah kau berhasil menemukan lebih banyak informasi tentang Taylor Winthrop?" "Maaf, Dana. Aku sudah mencoba. Tapi sayangnya tidak ada yang bisa kutemukan." Dana sudah menduga jawaban Jean Somville. "Bagaimanapun, terima kasih." Ia merasa kecewa. "Sama-sama. Aku turut prihatin perjalananmu ini sia-sia." "Jean, aku membaca bahwa duta besar Prancis untuk NATO, Marcel Falcon, mendadak mengundurkan diri dan kembali ke Prancis. Bukankah itu ganjil?" "Di tengah masa jabatan, ya. Kukira begitu." "Mengapa ia mengundurkan diri?" "Tidak ada misteri apa pun dalam hal itu. Penyebabnya kecelakaan yang patut disayangkan. Putranya tewas karena tabrak lari." "Tabrak lari? Apakah mereka pernah menangkap sopirnya?" "Oh, ya. Tak lama sesudah kecelakaan, orang itu menyerahkan diri pada polisi." Satu lagi jalan buntu. "Oh, begitu." "Pelakunya bernama Antonio Persico. Ia sopir Taylor Winthrop." Dana tiba-tiba bergidik. "Oh? Di mana Persico sekarang?" "Penjara St. Gilles. di Brussels sini." Somville menambahkan dengan nada menyesal, "Maaf aku tidak bisa membantu lebih banyak." Dana meminta faks ringkasan berita itu dikirim dari Washington. Antonio Persico, sopir Duta Besar Taylor Winthrop, divonis penjara seumur hidup oleh pengadilan Belgia hari ini sesudah ia menyatakan diri bersalah telah menabrak hingga tewas Gabriel Falcon, putra duta besar Prancis untuk PBB. Penjara St. Gilles terletak di dekat pusat kota Brussels, di gedung tua berwarna putih yang memiliki beberapa menara sehingga membuatnya tampak seperti puri. Dana sudah menelepon lebih dulu dan diizinkan mewawancarai Antonio Persico. Dana memasuki halaman penjara dan diantar menuju kantor kepala penjara. "Anda ke sini untuk menemui Persico." "Ya." "Baiklah." Sesudah pemeriksaan cepat. Dana diantar penjaga memasuki ruang bicara, tempat Antonio Persico menunggu. Ia berperawakan kecil, pucat, dengan mata hijau lebar dan wajah yang terus berkedut Ketika Dana melangkah masuk, yang pertama diucapkan Persico adalah "Terima kasih Tuhan, akhirnya ada yang datang! Kau akan mengeluarkan aku dari sini." Dana memandangnya, kebingungan. "Ma-maaf. Saya rasa saya tidak bisa melakukan itu." Mata Persico menyipit. "Kalau begitu mengapa kau datang? Mereka menjanjikan seseorang akan datang dan mengeluarkan aku." "Saya datang untuk bicara dengan Anda mengenai kematian Gabriel Falcon." Suara Persico meninggi. "Aku tidak ada sangkut pautnya dengan hal itu. Aku tidak bersalah." "Tetapi Anda sudah mengaku." "Aku bohong." Dana berkata, "Mengapa Anda..." Antonio Persico memandang matanya dan berkata pahit, "Aku dibayar. Taylor Winthrop-lah yang membunuhnya." Mereka lama terdiam. "Ceritakanlah pada saya." Wajahnya makin berkedut. "Terjadinya pada malam Sabtu. Akhir pekan itu istri Mr. Winthrop berada di London." Suaranya tegang. "Mr. Winthrop sendirian. Ia pergi ke Ancienne Belgique, sebuah kelab malam. Aku menawarkan diri untuk membawanya ke sana. tapi ia mengatakan akan mengemudi sendiri." Persico berhenti, mengingat-ingat. "Apa yang terjadi kemudian?" Dana mendesak. "Mr. Winthrop pulang larut malam, sangat mabuk. Ia menceritakan padaku tadi ada pemuda berlari di depan mobilnya. Ia-ia menabraknya Mr. Winthrop tidak ingin ada skandal, maka ia langsung pergi. Kemudian ia jadi ketakutan kalau-kalau ada yang melihat kecelakaan itu dan melaporkan nomor pelat mobilnya pada polisi. Mereka tentu akan mendatanginya. Mr. Winthrop punya kekebalan diplomatik, tetapi ia berkata kalau berita itu sampai bocor keluar, maka rencana Rusia akan hancur." Dana mengernyit. "Rencana Rusia?" "Ya. Itulah yang dikatakannya." "Rencana Rusia itu apa?" Ia mengangkat bahu. "Entahlah. Aku mendengar ia mengatakannya di telepon. Ia jadi seperti orang gila." Persico menggeleng. "Berulang kali ia mengatakan di telepon, 'Rencana Rusia itu harus diteruskan. Kita sudah terlalu jauh untuk membiarkannya terhenti sekarang.'" "Dan Anda tidak tahu apa yang sebenarnya dibicarakannya?" "Tidak." "Bisakah Anda mengingat hal lain yang dikatakannya?" Persico berpikir sejenak. "Ia mengatakan 'Semua potongan sudah terpasang pada tempatnya.'" Ia memandang Dana. "Apa pun persoalannya, kedengarannya sangat penting." Dana menyerap setiap patah kata. "Mr. Persico, mengapa Anda mengaku bersalah atas kecelakaan itu?" Rahang Persico mengeras. "Sudah kukatakan padamu. Aku dibayar. Taylor Winthrop mengatakan kalau aku mau mengaku bahwa akulah yang duduk di belakang kemudi, maka ia akan memberiku satu juta dolar dan mengurus keluargaku selama aku di penjara. Ia bilang ia bisa mengusahakan masa hukuman singkat." Ia mengenakkan gigi. "Seperti orang tolol, aku setuju." Ia menggigit bibir. "Dan kini ia sudah mati, dan aku akan menghabiskan sisa hidupku di tempat ini." Matanya penuh perasaan putus asa. Dana berdiri terpaku, terguncang karena apa yang baru saja didengarnya. Akhirnya ia bertanya, "Pernahkah Anda menceritakan semua ini pada orang lain?" Persico berkata pahit, "Tentu saja. Segera sesudah aku mendengar Taylor Winthrop mati. aku menceritakan pada polisi tentang perjanjian kami." "Dan?" "Mereka menertawakan aku." "Mr. Persico, saya akan mengajukan sebuah pertanyaan yang sangat penting. Pikirkanlah baik-baik sebelum Anda menjawab. Pernahkah Anda mengatakan pada Marcel Falcon bahwa Taylor Winthrop-lah yang membunuh anaknya?" "Tentu. Kupikir ia akan menolongku." "Ketika Anda bercerita padanya, apa yang dikatakan Marcel Falcon?" "Kata-kata persisnya adalah 'Semoga seluruh keluarganya mengikutinya ke neraka.'" Dana berpikir. Ya Tuhan. Sekarang ada tiga. Aku harus bicara dengan Marcel Falcon di Paris. Tidak mungkin orang tidak merasakan pesona kota Paris, bahkan meskipun mereka tengah berada dalam pesawat di atas kota itu, siap untuk mendarat. Paris adalah kota cahaya, kota para kekasih. Paris bukan tempat untuk dikunjungi seorang diri. Kota itu membuat Dana merindukan Jeff. Dana berada di Relais di Hotel Plaza Athenee, berbicara dengan Jean-Paul Hubert, dari televisi Metro 6. "Marcel Falcon? Tentu saja. Semua orang tahu siapa dia." "Apa yang bisa kauceritakan padaku tentang pria itu?" "Ia tokoh yang cukup hebat. Kalian, orang Amerika, mungkin menyebutnya 'orang besar'." "Apa yang dilakukannya sekarang?" "Falcon memiliki perusahaan farmasi raksasa. Beberapa tahun yang lalu ia dituduh menyudutkan perusahaan-perusahaan kecil hingga bangkrut, tetapi ia punya koneksi politik, dan tidak ada yang terjadi. Kemudian perdana menteri Prancis mengangkatnya sebagai duta besar NATO." "Tetapi ia mengundurkan diri," kata Dana. "Mengapa?" "Kisahnya sedih. Putranya tewas di Brussels gara-gara sopir mabuk, dan Falcon tidak kuat menanggung kejadian itu. Ia meninggalkan NATO dan kembali ke Paris. Istrinya sampai gila. Wanita itu tinggal di sanatorium di Cannes." Jean-Paul memandang Dana dan berkata sungguh-sungguh, "Dana, kalau kau merencanakan untuk menggarap berita tentang Falcon, berhati-hatilah, ia punya reputasi sebagai orang yang suka membalas dendam." Dana butuh waktu satu hari untuk membuat janji pertemuan dengan Marcel Falcon. Ketika akhirnya ia diantar ke kantor laki-laki itu, Marcel Falcon berkata, "Saya setuju menemui Anda sebab saya pengagum Anda, Mademoiselle. Siaran-siaran Anda dari zona peperangan sangat berani." "Terima kasih." Marcel Falcon berpenampilan berwibawa, kekar, dengan garis wajah kokoh dan mata biru yang tajam. "Silakan duduk. Apa yang bisa saya lakukan untuk Anda?" "Saya ingin bertanya tentang anak Anda." "Ah, ya." Sorot matanya tampak sedih. "Gabriel anak yang luar biasa." Dana berkata, "Orang yang menabraknya-" "Sopir itu " Dana memandangnya, terperanjat. Pikirkanlah baik-baik sebelum Anda menjawab. Pernahkah Anda mengatakan pada Marcel Falcon bahwa Taylor Winthrop-lah yang membunuh anaknya?" Tentu. Segera sesudah aku mendengar Taylor Winthrop mati. Apa yang dikatakan Marcel Falcon? Kata-kata persisnya adalah "Semoga seluruh keluarganya mengikutinya ke neraka." Dan kini Marcel Falcon berlagak tidak tahu-menahu kejadian sebenarnya. "Mr. Falcon, ketika Anda bekerja di NATO, Taylor Winthrop juga bekerja di sana." Dana mengamati wajah Falcon, mencari perubahan ekspresi. Ternyata tidak ada. "Ya. Kami bertemu." Nada suaranya biasa-biasa saja. Begitu saja? kata Dana dalam hati. Ya. Kami bertemu. Apa yang disembunyikannya? "Mr. Falcon, saya ingin bicara dengan istri Anda kalau-" "Sayang ia sedang berlibur." Istrinya sampai gila. Wanita itu tinggal di sanatorium di Cannes. Kalau bukan melakukan pengingkaran total, Marcel Falcon pasti mengaku tidak tahu karena alasan yang lebih mengerikan. Dana menelepon Matt dari kamarnya di Plaza Athenee. "Dana, kapan kau pulang?" "Aku masih harus mengikuti satu petunjuk lagi, Matt. Sopir Taylor Winthrop di Brussels mengatakan Winthrop bicara soal rencana rahasia menyangkut Rusia yang tidak ingin dihentikannya. Aku harus mencari tahu apa yang dibicarakannya. Aku ingin bicara dengan beberapa rekannya di Moskow." "Baiklah. Tetapi Cromwell ingin kau kembali ke studio secepatnya. Koresponden kita di Moskow bernama Tim Drew. Aku akan minta ia menemui-mu. Ia bisa membantu." "Terima kasih. Rasanya aku tidak akan berada di Rusia lebih dari satu atau dua hari." "Dana?" "Ya." "Sudahlah. Selamat tinggal." Terima kasih. Rasanya aku tidak akan berada di Rusia lebih dari satu atau dua hari. Dana? Ya. Sudahlah. Selamat tinggal. Rekaman selesai. Dana menelepon ke rumah. "Selamat malam, Mrs. Daley-atau lebih tepat, selamat siang." "Miss Evans! Senang sekali mendengar suara Anda." "Bagaimana keadaan di sana?" "Baik-baik saja." "Bagaimana Kemal? Ada masalah?" "Sama sekali tidak. Ia amat merindukan Anda." "Saya juga. Bisa saya bicara dengannya?" "Ia sedang tidur siang. Apakah Anda ingin saya membangunkannya?" Dana berkata terkejut, "Tidur siang? Ketika saya menelepon beberapa hari yang lalu, ia juga sedang tidur siang." "Ya. Anak itu kelelahan ketika pulang sekolah, saya pikir sebaiknya ia tidur siang saja." "Begitu... Yah, sampaikan saja salam sayang saya. Saya akan menelepon lagi besok. Katakan padanya saya akan membawa oleh-oleh beruang Rusia." "Beruang? Wah! Ia pasti sangat senang." Dana menelepon Roger Hudson. "Roger, sebenarnya saya tidak ingin mengganggu, tapi saya butuh bantuan." "Kalau ada yang bisa saya lakukan..." "Saya akan berangkat ke Moskow, dan saya ingin bicara dengan Edward Hardy, duta besar Amerika di sana. Saya pikir barangkali Anda kenal dengannya." "Saya memang kenal." "Sekarang ini saya berada di Paris. Kalau Anda bisa mengirimkan faks surat perkenalan, saya akan sangat berterima kasih." "Saya bisa melakukan lebih dari itu. Saya akan menelepon dan meminta ia menunggu kedatangan Anda." "Terima kasih, Roger. Saya sangat menghargainya." Saat itu Malam Tahun Baru. Dana terguncang ketika mengingat seharusnya sekarang hari pernikahannya Segera, kata Dana pada diri sendiri. Se-gera. Ia mengenakan mantel dan pergi ke luar. Penjaga pintu berkata, "Taksi, Miss Evans?" "Tidak, terima kasih." Ia tidak punya rencana tertentu. Jean-Paul Hubert sedang pergi mengunjungi keluarga. Paris bukan kota untuk sendirian, pikir Dana. Ia mulai berjalan kaki, mencoba untuk tidak memikirkan Jeff dan Rachel. Berusaha untuk tidak berpikir. Ia melewati gereja kecil yang masih buka, dan berdasarkan impuls, ia masuk. Bagian dalamnya yang sejuk dengan langit-langit melengkung memberi Dana suasana damai. Ia duduk di bangku dan memanjatkan doa tanpa bersuara. Tengah malam, ketika Dana sedang berjalan kaki, Paris penuh suara ledakan kembang api dan taburan kertas confetti. Ia ingin tahu apu yang tengah dilakukan Jeff sekarang. Apakah ia dan Rachel sedang bercinta? Jeff belum menelepon. Bagaimana ia bisa lupa bahwa malam ini sangat istimewa? Di kamar hotel Dana, di lantai dekat meja rias, telepon genggam yang tadi terjatuh dari tas Dana berdering-dering. Ketika Dana kembali ke Plaza Athenee, waktu sudah menunjukkan pukul 03.00. Ia berjalan ke kamar, menanggalkan pakaian, dan naik ke ranjang. Mula-mula ayahnya, kini Jeff. Berkali-kali ia ditinggalkan. Aku tidak mau mengasihani diri sendiri, tekadnya. Memangnya kenapa kalau sekarang mestinya menjadi malam pernikahanku? Oh, Jeff, mengapa kau tidak meneleponku? Ia menangis hingga tertidur. SEMBILAN BELAS Penerbangan ke Moskow dengan Sabena Airlines memakan waktu tiga setengah jam. Dana melihat hampir semua penumpang mengenakan pakaian hangat, dan rak-rak bagasi dipenuhi mantel bulu, topi, dan syal. Aku seharusnya memakai pakaian yang lebih hangat, pikir Dana Ah, aku tidak akan tinggal di Moskow lebih dari satu atau dua hari. Ia tidak bisa berhenti memikirkan kata-kata Antonio Persico. Berulang kali ia mengatakan di telepon, "Rencana Rusia itu harus diteruskan. Kita sudah terlalu jauh untuk membiarkanmu terhenti sekarang." Rencana penting apa yang sedang disusun Winthrop? Kepingan-kepingan apakah yang sudah jatuh pada tempatnya? Dan tak lama sesudah itu. Presiden mengangkatnya sebagai du-bes untuk Moskow. Makin banyak informasi yang kudapatkan, makin tidak masuk akal saja rasanya, pikir Dana. * * * Dana heran melihat Sheremetyevo II, bandara internasional Rusia, ternyata penuh turis. Untuk apa orang waras berkunjung ke Rusia pada musim dingin? tanya Dana dalam hati. Ketika Dana sampai di bagian pengambilan bagasi, seorang laki-laki yang berdiri di dekatnya beberapa kali mencuri-curi mengawasinya. Jantung Dana bagai berhenti berdenyut. Mereka tahu aku datang ke sini, pikirnya. Bagaimana mereka bisa tahu? Laki-laki itu menghampirinya. "Dana Evans?" Ia berbicara dengan aksen Slovakia kental. "Ya..." Ia tersenyum lebar dan berkata penuh semangat, "Saya penggemar berat Anda! Saya selalu menonton Anda di televisi." Dana merasakan luapan perasaan lega. "Oh. Ya. Terima kasih." "Maukah Anda memberikan tanda tangan Anda?" "Tentu saja." Ia menyodorkan secarik kertas ke hadapan Dana. "Saya tidak punya pena." "Saya punya." Dana mengeluarkan pena emas baru miliknya dan memberikan tanda tangannya. "Spasiba! Spasiba!" Sewaktu Dana hendak memasukkan kembali pena itu ke dalam tas, seseorang menyenggolnya dan pena itu pun jatuh ke lantai beton. Dana mengulurkan tangan ke bawah dan memungutnya. Selongsongnya retak. Mudah-mudahan aku bisa membetulkannya, pikir Dana. Kemudian ia mengamatinya lebih teliti. Seutas kabel kecil menyembul dari retakan itu. Karena heran, ia menariknya pelan-pelan. Di kabel itu menempel pemancar mikro. Dana memandangnya dengan perasaan tak percaya. Ternyata beginilah mereka tahu ke mana pun aku pergi! Tetapi siapa yang meletakkannya di sana dan apa alasannya? Ia ingat kartu yang menyertai pena itu. Dear Dana, semoga selamat di perjalanan. The Gang. Dengan perasaan geram, Dana mencabut kabel itu, melemparkannya ke tanah, dan meremukkannya dengan tumit sepatu. Di dalam sebuah laboratorium terpencil, penanda sinyal di peta tiba-tiba menghilang. "Oh, sialan!" "Dana?" ia berbalik. Di hadapannya tampak koresponden WTN di Moskow. "Aku Tim Drew. Maaf aku terlambat. Lalu lintas di luar sana benar-benar seperti mimpi buruk." Tim Drew berusia empat puluhan, tinggi, berambut merah, dan memiliki senyum hangat. "Aku membawa mobil. Matt mengatakan kau hanya akan tinggal satu-dua hari di sini." "Benar" Mereka mengambil barang bawaan Dana dan pergi ke luar. Pemandangan selama perjalanan memasuki Moskow bagaikan adegan dalam film Doctor Zhivago. Bagi Dana, seluruh kota itu seperti terbungkus selimut salju putih. "Indah sekali!" Dana berseru. "Sudah berapa lama kau di sini?" "Dua tahun." "Kau menyukainya?" "tempat ini agak menakutkan. Yeltsin selalu sulit diduga, dan tak seorang pun tahu apa yang bisa diharapkan dari Vladimir Putin. Sekarang pasien yang mengelola rumah sakit gila." Ia mendadak menginjak rem untuk memberi jalan beberapa pejalan kaki yang menyeberang sembarangan. "Kami sudah memesankan kamar di Sevastopol Hotel." "Ya. Bagaimana hotel itu?" "Salah satu hotel Intourist biasa. Bisa dipastikan akan ada yang terus mengawasimu." Jalanan dipenuhi orang-orang yang terbungkus baju bulu, sweter, serta mantel tebal. Tim Drew melirik Dana. "Kau sebaiknya mencari pakaian yang lebih hangat. Kalau tidak, kau akan membeku." 'Tidak apa-apa. Aku akan pulang besok atau lusa." Di depan mereka tampak Lapangan Merah dan Kremlin. Kremlin sendiri berdiri menjulang di bukit di kiri Sungai Moskva. "Aduh, indah sekali," kata Dana. "Yeah. Seandainya dinding-dinding itu bisa bicara, kau akan mendengar banyak jeritan." Tim Drew meneruskan, "Ini salah satu bangunan paling terkenal di dunia. Terletak di sebidang tanah yang meliputi Bukit Little Borovitsky di sisi utara dan..." Dana sudah berhenti mendengarkan. Ia sedang berpikir. Bagaimana bila Antonio Persico bohong? Bagaimana kalau ia mengarang cerita tentang Taylor Winthrop membunuh pemuda itu? Dan berbohong mengenai rencana Rusia. "Di luar dinding timur itu Lapangan Merah. Menara Kutafya di sana adalah pintu masuk pengunjung di dinding barat." Tetapi mengapa Taylor Winthrop begitu ingin datang ke Rusia? Sekadar jadi duta besar tidak mungkin berarti sepenting itu baginya Tim Drew berkata, "Di sinilah tempat berkumpul orang-orang berkuasa Rusia selama berabad-abad. Ivan the Terrible, Stalin, Lenin, dan Khrushchev memakainya sebagai markas besar." Semua kepingan sudah jatuh pada tempatnya. Aku harus mencari tahu apa yang dimaksudkannya dengan ucapan itu. Mereka berhenti di depan sebuah hotel besar. "Kita sampai," kata Tim Drew. "Terima kasih. Tim." Dana turun dari mobil dan diterpa gelombang udara beku. "Kau masuk saja," Tim berseru. "Akan kubawakan tas-tasmu. Omong-omong, kalau kau punya waktu senggang malam ini, aku ingin mengundangmu makan malam." "Terima kasih banyak." "Ada sebuah klub pribadi yang menghidangkan makanan lezat. Kukira kau akan menyukainya " "Bagus." Lobi Sevastopol Hotel amat luas dan penuh hiasan, juga penuh manusia. Beberapa pegawai hotel berdiri di balik meja resepsionis. Dana menghampiri salah satu di antara mereka. Pria itu mengangkat muka. "Da?" "Saya Dana Evans. Saya sudah memesan kamar." Laki-laki itu memandangnya sejenak dan berkata gugup, "Ah, ya. Miss Evans." ia mengangsurkan sehelai kartu reservasi. "Silakan mengisi ini. Dan saya perlu paspor Anda." Ketika Dana mulai menulis, pegawai hotel itu melihat ke seberang lobi, ke laki-laki yang berdiri di sudut dan mengangguk. Dana menyodorkan kartu registrasi itu pada si pegawai. "Saya akan menyuruh orang mengantar Anda ke kamar." 'Terima kasih." Kamar itu samar-samar menyisakan suasana kemewahan zaman dulu, dan perabotannya tampak usang, lusuh, dan berbau lembap. Seorang wanita berperawakan kekar yang mengenakan seragam tanpa bentuk membawakan tas-tas Dana. Dana memberikan tip, perempuan itu mendengus dan berlalu. Dana mengangkat telepon dan menekan angka 252-2451. "Kedutaan Besar Amerika." "Tolong sambungkan ke kantor Duta Besar Hardy." "Tunggu sebentar." "Kantor Duta Besar Hardy." "Halo. Di sini Dana Evans. Boleh saya bicara dengan Duta Besar?" "Bisa Anda katakan mengenai apa?" "Ini-ini masalah pribadi." "Silakan tunggu sebentar." Tiga puluh detik kemudian Duta Besar Hardy berbicara di telepon. "Miss Evans?" "Ya." "Selamat datang di Moskow." "Terima kasih." "Roger Hudson menelepon, mengatakan Anda akan datang. Apa yang bisa saya lakukan untuk Anda?" "Saya ingin tahu apakah saya bisa datang dan menemui Anda." "Tentu. Saya-tunggu sebentar." Ia diam sebentar, dan sang dubes kembali berbicara. "Bagaimana kalau besok pagi? Pukul sepuluh?" "Baiklah. Terima kasih banyak." "Sampai besok." Dana memandang ke luar jendela, pada orang-orang yang berjalan bergegas di udara dingin, ia berpikir, Tim benar. Sebaiknya aku membeli pakaian hangat. Toserba GUM tidak terlalu jauh dari hotel Dana. Tempat itu adalah toko serba ada raksasa yang dipenuhi barang murah, dari pakaian sampai perangkat keras. Dana berjalan ke bagian wanita, yang berisi deretan rak mantel tebal. Ia memilih mantel wol dan syal merah. Ia butuh waktu dua puluh menit untuk bisa menemukan penjaga toko untuk menangani transaksinya. Ketika Dana kembali ke kamar, telepon genggamnya berdering. Dari Jeff. "Halo, Sayang. Aku mencoba meneleponmu pada Malam Tahun Baru kemarin, tapi kau tidak menjawab, dan aku tidak tahu ke mana harus menghubungimu." "Maaf, Jeff." Jadi ia tidak lupa! Diberkatilah ia. "Di mana kau sekarang?" "Di Moskow." "Apakah semua baik-baik, Manis?" "Baik sekali. Jeff, ceritakanlah tentang Rachel." "Sekarang masih terlalu dini untuk mengatakannya. Mereka akan mencoba terapi baru padanya besok. Terapi ini masih sangat eksperimental. Kami akan mendapatkan hasilnya dalam beberapa hari." "Kuharap cara itu berhasil," kata Dana "Apakah dingin di sana?" Dana tertawa. "Kau takkan percaya. Aku jadi manusia es." "Coba aku bisa berada di sana untuk meleleh-kanmu." Mereka berbicara selama lima menit lagi, dan Dana bisa mendengar suara Rachel memanggil Jeff. Jeff berkata di telepon, "Aku harus pergi. Sayang. Rachel membutuhkan aku." Aku pun membutuhkanmu, pikir Dana. "Aku sayang padamu." "Aku sayang padamu." Kedutaan Besar Amerika di Novinsky Bul'var nomor 19-23 adalah gedung kuno yang sudah reyot. Beberapa penjaga Rusia berdiri di gardu-gardu jaga di luarnya. Antrean panjang menunggu dengan sabar. Dana melewati antrean itu dan menyebutkan namanya pada penjaga. Pria itu melihat daftar dan melambaikan tangan, mempersilakannya masuk. Di lobi, seorang marinir Amerika berdiri di dalam gardu jaga dari kaca antipeluru. Penjaga wanita Amerika berseragam memeriksa isi tas Dana. "Oke." "Terima kasih." Dana berjalan ke meja. "Dana Evans." Laki-laki yang berdiri di dekat meja berkata, "Duta Besar sudah menunggu Anda, Miss Evans. Silakan ikuti saya" Dana mengikutinya menaiki tangga marmer menuju kantor di ujung lorong panjang. Ketika Dana masuk, seorang wanita menarik berusia awal empat puluhan tersenyum dan berkata, "Miss Evans, menyenangkan sekali. Saya Lee Hopkins, sekretaris duta besar. Anda boleh langsung masuk." Dana melangkah ke dalam kantor. Duta Besar Edward Hardy berdiri ketika ia menghampiri meja kerjanya. "Selamat pagi, Miss Evans." "Selamat pagi," balas Dana. "Terima kasih Anda bersedia menemui saya." Sang duta besar adalah laki-laki berperawakan tinggi dengan dandanan rapi dan sikap hangat politisi. "Saya senang bertemu Anda. Adakah yang bisa saya ambilkan untuk Anda?" 'Tidak perlu repot. Terima kasih." "Silakan duduk." Dana duduk. "Saya senang ketika Roger Hudson memberitahu saya Anda akan berkunjung. Anda datang pada saat yang menarik." "Oh?" "Saya tidak suka mengatakan ini, tetapi, antara Anda dan saya saja, saya khawatir negeri ini akan ambruk." ia menghela napas. "Terus terang, saya tidak tahu apa yang akan terjadi di sini selanjutnya, Miss Evans. Negeri ini memiliki sejarah delapan ratus tahun, dan kita sedang menyaksikannya terpuruk. Para penjahatlah yang mengendalikan negeri ini." Dana memandangnya dengan tatapan ingin tahu. "Apa maksud Anda?" Sang dubes duduk bersandar. "Undang-undang di sini mengatakan tak satu pun anggota Duma- majelis rendah dalam parlemen-bisa diadili karena kejahatan apa pun. Akibatnya, Duma dipenuhi orang-orang yang menginginkan segala macam kejahatan-para gangster yang pernah mendekam di penjara, dan penjahat-penjahat yang sedang dalam proses melakukan kejahatan. Tak satu pun di antara mereka bisa disentuh hukum." "Luar biasa." kata Dana. "Ya. Rakyat Rusia adalah orang-orang yang hebat, tetapi pemerintah mereka... Yah, apa yang bisa saya lakukan untuk Anda, Miss Evans?" "Saya ingin menanyai Anda tentang Taylor Winthrop. Saya sedang menggarap cerita tentang keluarga itu." Dubes Hardy menggeleng sedih. "Kisahnya seperti tragedi Yunani, bukan?" "Ya" Istilah itu lagi. Dubes Hardy memandang Dana dengan perasaan ingin tahu. "Dunia sudah mendengar kisah itu berkali-kali. Saya kira tidak banyak lagi yang bisa dibicarakan." Dana berkata hati-hati. "Saya ingin menuturkannya dari sudut pribadi. Saya ingin tahu seperti apa Taylor Winthrop sebenarnya, orang macam apa ia, siapa teman-temannya sewaktu di sini, apakah ia pernah punya musuh..." "Musuh?" Hardy tercengang. "Tidak. Semua orang menyayangi Taylor. Ia mungkin duta besar terbaik yang pernah kita punyai di sini." "Apakah Anda pernah bekerja dengannya?" "Ya. Saya adalah deputi chief of mission di bawahnya selama satu tahun." "Duta Besar Hardy, tahukah Anda apakah Taylor Winthrop sedang menggarap sesuatu yang-" Ia berhenti, tidak tahu bagaimana mengutarakannya. "-semua kepingannya harus menyatu?" Dubes Hardy mengernyit. "Anda maksud semacam transaksi bisnis atau pemerintah?" "Saya tidak tahu pasti apa yang saya maksudkan," Dana mengaku. Dubes Hardy berpikir sejenak. "Saya pun tidak. Tidak, saya tidak tahu apakah itu." Dana berkata, "Beberapa orang yang sekarang bekerja di kedutaan ini-apakah mereka pun tadinya bekerja padanya?" "Oh, ya. Bahkan sekretaris saya, Lee, dulu adalah sekretaris Taylor" "Apakah Anda keberatan kalau saya bicara dengannya?" "Sama sekali tidak. Lebih dari itu, saya akan memberi Anda daftar orang-orang di sini yang mungkin bisa membantu." "Bagus sekali. Terima kasih." Dubes Hardy berdiri. "Berhati-hatilah selama Anda berada di sini, Miss Evans. Banyak kejahatan di jalan." "Begitulah yang saya dengar." "Jangan minum air dari keran. Bahkan orang Rusia pun tidak meminumnya. Oh, dan kalau Anda makan di luar, selalu sebutkan chisti sol-itu artinya meja bersih-kalau tidak, meja Anda akan dipenuhi hidangan pembuka mahal yang tidak Anda inginkan. Kalau Anda pergi berbelanja, Arbat adalah tempat yang paling baik. Toko-toko di sana punya segalanya. Dan hati-hati dengan taksi di sini. Pilihlah mobil yang tua dan usang. Penjahat-penjahat kebanyakan mengemudikan taksi-taksi baru." 'Terima kasih.' Dana tersenyum. "Akan saya ingat." Lima menit kemudian Dana berbicara dengan Lee Hopkins, sekretaris sang dubes. Mereka hanya berdua di dalam ruangan sempit dengan pintu tertutup. "Berapa lama Anda bekerja pada Dubes Winthrop?" "Delapan belas bulan. Apa yang ingin Anda ketahui?" "Apakah Dubes Winthrop pernah punya musuh sewaktu bertugas di sini?" Lee Hopkins tercengang memandang Dana. "Musuh?" "Ya. Dalam pekerjaan seperti ini, saya rasa kadang-kadang Anda harus mengatakan tidak pada orang-orang yang tak suka ditolak. Saya yakin Dubes Winthrop tentu tidak bisa menyenangkan semua orang." Lee Hopkins menggeleng, "Saya tidak tahu apa yang Anda cari, Miss Evans, tetapi kalau Anda berniat menulis hal-hal buruk tentang Taylor Winthrop, Anda datang pada orang yang salah. Beliau orang paling baik, paling penuh pengertian yang pernah saya kenal." Lagi-lagi, pikir Dana. Selama dua jam berikutnya, Dana berbicara dengan lima orang lain yang pernah bekerja di kedutaan selama masa jabatan Taylor Winthrop Ia orang yang brilian... Ia benar-benar menyukai orang... Ia mau bersusah payah menolong kami... Musuh? Taylor Winthrop tidak punya... Aku menyia-nyiakan waktuku, pikir Dana. Ia kembali menemui Duta Besar Hardy. "Apakah Anda mendapatkan yang Anda inginkan?" pria itu bertanya. Suaranya terdengar kurang ramah. Dana ragu. "Bisa dibilang begitu," katanya jujur. Ia mencondongkan badan ke depan. "Dan saya kira Anda tidak akan menemukannya, Miss Evans. Tidak akan, kalau Anda mencari-cari hal negatif tentang Taylor Winthrop. Anda membingungkan semua orang di sini. Mereka menyayanginya. Begitu juga saya. Jangan mencoba mengorek aib yang sebenarnya tidak ada. Kalau hanya itu tujuan Anda ke sini, maka silakan Anda pergi." "Terima kasih," kata Dana. "Saya memang mau pergi." Dana sama sekali tidak berniat pergi. VIP National Club, yang terletak tepat di seberang Kremlin dan Lapangan Manezh, adalah restoran dan kasino. Tim Drew sudah menunggu ketika Dana tiba. "Selamat datang," katanya. "Aku menduga kau akan menyukai ini. Tempat ini ajang berkumpul tokoh-tokoh masyarakat paling terkemuka di Moskow. Seandainya restoran ini dibom, maka pemerintah akan langsung runtuh." Makan malamnya lezat. Mereka mulai dengan Mini dan kaviar, disusul borscht, ikan Georgian sturgeon dengan saus walnut, beef stroganoff dan nasi s'loukom, serta kue keju vatrushki sebagai hidangan penutup. "Luar biasa," kata Dana. "Aku pernah mendengar makanan di Rusia tidak enak." "Memang," Tim Drew membenarkan. "Ini bukan Rusia. Ini oasis kecil yang istimewa." "Bagaimana rasanya tinggal di sini?" Dana bertanya. Tim Drew memikirkannya sejenak. "Rasanya seperti berdiri di dekat gunung berapi, menunggunya meletus. Kau tidak pernah tahu kapan itu akan terjadi. Orang-orang yang sedang berkuasa mencuri bermilyar-milyar dari negara dan rakyat kelaparan. Itulah yang memicu revolusi terakhir. Hanya Tuhan yang tahu apa yang akan terjadi sekarang. Kalau mau fair, itu tadi memang cuma satu sisi negara ini. Kebudayaan di sini sungguh mengagumkan. Mereka punya Teater Bolshoi, Hermitage, Museum Pushkin, balet Rusia, Sirkus Moskow--daftarnya bisa berlanjut tak ada habisnya. Rusia menghasilkan lebih banyak buku daripada seluruh dunia digabung jadi satu, dan dalam setahun orang Rusia rata-rata membaca buku tiga kali lipat lebih banyak daripada warga negara Amerika Serikat kebanyakan." "Mungkin mereka membaca buku-buku yang salah," kata Dana kering. "Mungkin. Saat ini rakyat terperangkap di tengah, antara kapitalisme dan komunisme, dan tak satu pun di antaranya yang jalan. Pelayanan buruk, harga-harga melambung, dan angka kejahatan melonjak." Ia memandang Dana. "Kuharap aku tidak membuatmu tertekan." "Tidak. Coba katakan, Tim, apakah kau kenal Taylor Winthrop?" "Aku pernah beberapa kali mewawancarainya." "Apakah kau pernah mendengar tentang proyek besar yang ditanganinya?" "Ia terlibat dalam banyak proyek. Bagaimanapun, ia kan duta besar kita." "Maksudku bukan itu. Yang kumaksud hal lain. Sesuatu yang rumit-yang semua kepingannya harus jatuh pada tempatnya." Tim Drew berpikir sejenak. "Rasanya aku tidak pernah mendengarnya." "Apakah ada orang-orang tertentu yang berkali-kali berhubungan dengannya?" "Beberapa rekan Rusianya, kukira. Kau mungkin bisa bicara dengan mereka." "Benar," kata Dana. "Aku akan melakukannya." Pelayan datang membawa bon. Tim Drew membacanya sekilas, lalu memandang Dana. "Ini khas Rusia. Ada tiga biaya tambahan yang berbeda. Dan tidak usah repot-repot bertanya untuk apa semua biaya itu." Ia membayar. Ketika mereka sudah keluar, Tim Drew berkata pada Dana, "Kau membawa pistol?" Dana memandangnya kaget. "Tentu saja tidak. Mengapa?" "Ini Moskow. Apa pun bisa terjadi." Ia mendapat ide. "Begini saja. Kita akan mampir ke suatu tempat." Mereka naik taksi, dan Tim Drew memberikan alamat pada si sopir. Lima menit kemudian mereka berhenti di depan toko senjata dan turun dari taksi. Dana melihat ke dalam toko dan berkata, "Aku tidak mau membawa-bawa senjata." Tim Drew berkata, "Aku tahu. Ikuti saja aku." Etalase toko itu dipenuhi segala macam senjata yang bisa dibayangkan. Dana memandang berkeliling. "Apakah semua orang bisa masuk dan membeli senapan di sini?" "Asal punya uang, semua lancar," kata Tim Drew. Laki-laki di belakang konter bergumam dalam bahasa Rusia pada Tim. Tim memberitahukan apa yang diinginkannya. "Da." Ia mengulurkan tangan ke bawah konter dan mengeluarkan tabung kecil berwarna hitam. "Untuk apa ini?" Dana bertanya. "Ini untukmu. Ini semprotan merica." Tim Drew mengambilnya. "Kau tinggal menekan tombol di atas ini dan penjahat-penjahat itu akan kesakitan sehingga tidak bisa mengganggumu." Dana berkata, "Kurasa-" "Percayalah padaku. Ambillah." Ia mengangsur-kannya pada Dana, membayar laki-laki itu, dan mereka pun berlalu. "Apakah kau mau melihat salah satu kelab ma lam Moskow?" tanya Tim Drew. "Kedengarannya menarik." "Bagus. Ayo kita pergi." Night Flight Club di Tverskaya Street ternyata tempat yang mewah, indah, dan dipenuhi orang Rusia berpakaian indah yang makan, minum, dan berdansa. "Kelihatannya tidak ada masalah ekonomi di sini," Dana berkomentar. "Bukan. Mereka menyingkirkan para pengemis ke jalanan di luar." Pukul 02.00, Dana kembali ke hotel, kehabisan tenaga. Hari ini melelahkan. Seorang wanita yang duduk di meja gang mencatat tamu-tamu yang keluar-masuk. Ketika Dana sudah masuk kamar, ia memandang ke luar jendela. Tampak hujan salju di bawah cahaya rembulan, bak gambar kartu pos. Besok, pikir Dana penuh tekad, aku akan tahu untuk apa aku datang ke sini. Deru pesawat jet di atas begitu keras sehingga kedengaran seakan pesawat itu akan menabrak bangunan tersebut. Laki-laki itu cepat-cepat berdiri dari meja tulis, mengambil teropong, dan melangkah ke jendela. Ekor pesawat yang menjauh itu turun dengan cepat saat pesawatnya bersiap mendarat di lapangan udara kecil, setengah kilometer lebih dari sana. Selain landas pacu, sejauh mata memandang tampak seluruh daratan tertutup salju. Saat ini musim dingin dan tempat ini Siberia. "Jadi," ia berkata pada asistennya, "pihak Cina yang pertama tiba." Komentarnya tidak mengharapkan jawaban. "Aku diberitahu bahwa sahabat kita, Ling Wong, tidak akan kembali. Ketika ia pulang dengan tangan kosong dari pertemuan terakhir, sambutan atas kepulangannya tidak begitu menyenangkan. Menyedihkan. Ia pria yang baik." Saat itu, jet kedua menderu di atas. Ia tidak mengenali jenis pesawat itu. Sesudah pesawat itu mendarat, ia mengarahkan teropong berkekuatan besar pada para laki-laki yang turun dari kabin ke landas pacu. Beberapa di antara mereka sama sekali tidak berusaha menyembunyikan senapan mesin yang mereka bawa. "Utusan Palestina sudah tiba." Satu jet lagi menderu di atas. Masih ada dua belas lagi, pikirnya. Bila kami mulai negosiasi besok, ini akan jadi lelang paling besar Tak boleh ada yang keliru. Ia berpaling pada asistennya. "Buat memo." MEMO RAHASIA UNTUK SELURUH PERSONALIA OPERASI: MUSNAHKAN SEGERA SESUDAH DIBACA. TERUSKAN PENGAWASAN KETAT TERHADAP SASARAN. LAPORKAN SEGALA KEGIATAN DAN SIAGA UNTUK KEMUNGKINAN MENGHABISINYA. DUA PULUH Ketika Dana terjaga, ia menelepon Tim Drew. "Apakah kau sudah mendengar kabar lebih jauh dari Dubes Hardy?" Tim bertanya. "Tidak. Kukira aku telah menyinggung perasaannya. Tim, aku perlu bicara denganmu." "Baik. Naik taksi dan temui aku di Boyrsky Club di Treatrilny Proyez Street satu empat." "Di mana? Aku tidak akan pernah-" "Sopir taksinya pasti tahu. Pilih yang sudah butut." "Baik." Dana melangkah ke luar hotel dan disambut angin yang dingin sekali dan menderu-deru. Ia bersyukur tadi memakai mantel wol merahnya yang baru. Papan petunjuk di gedung seberang jalan menunjukkan suhu saat ini -29 derajat Celcius. Astaga, pikirnya. Di depan hotel tampak taksi baru yang mengilat. Dana menjauh dan menunggu sampai ada penumpang naik. Taksi berikutnya tampak sudah tua. Dana menaikinya. Si sopir mengamatinya dari kaca spion. Dana berkata hati-hati, "Saya ingin pergi ke Teat-" Ia ragu-ragu. "-rilny-" Ia menarik napas dalam. "-Proyez-" Si sopir berkata tak sabar, "Anda mau ke Boyrsky Club?" "Da." Mereka berangkat. Mereka melalui jalan-jalan besar dan panjang, padat dengan mobil dan pejalan kaki muram yang bergegas di jalanan yang beku. Kota ini seperti dilapisi lapisan kelabu, suram. Dan ini bukan karena cuaca saja, pikir Dana. Boyrsky Club ternyata tempat yang modern dan nyaman, dengan kursi-kursi serta sofa kulit. Tim Drew menunggunya di kursi dekat jendela. "Kulihat kau tidak ada masalah untuk menemukan tempat ini." Dana duduk. "Sopir taksinya bisa berbahasa Inggris." "Kau beruntung. Banyak di antara mereka bahkan tidak bisa berbahasa Rusia. Mereka datang dari provinsi-provinsi yang jauh. Menakjubkan bahwa negara ini bisa berfungsi. Rusia mengingatkan aku pada dinosaurus yang sedang sekarat. Tahukah kau sebesar apa Rusia?" "Tidak." "Luasnya hampir dua kali lipat Amerika Serikat. Punya tiga belas zona waktu dan berbatasan dengan empat belas negara. Empat belas negara." "Luar biasa," kata Dana. "Tim, aku ingin bicara dengan beberapa orang Rusia yang pernah berurusan dengan Taylor Winthrop." "Berarti hampir semua orang dalam pemerintah Rusia." Dana berkata, "Aku tahu. Tetapi pasti ada beberapa orang Rusia yang punya hubungan lebih dekat dengannya daripada yang lain. Presiden- "Mungkin orang yang kedudukannya lebih rendah sedikit," kata Tim Drew tak acuh. "Menurutku, dari semua orang yang pemah berurusan dengannya, ia mungkin paling dekat dengan Sasha Shdanoff." "Siapa Sasha Shdanoff?" "Ia kepala Biro Pembangunan Ekonomi Internasional. Aku yakin Winthrop berhubungan dengannya secara resmi dan pribadi." Ia memandang Dana lekat-lekat. "Apakah yang kau cari, Dana?" "Aku tidak tahu pasti," katanya jujur. "Aku tidak tahu pasti." Biro Pembangunan Ekonomi Internasional berada di gedung bata merah raksasa di Ozernaya Street, menempati satu blok penuh. Di jalan masuk utamanya, dua polisi Rusia berseragam berdiri di samping pintu, penjaga berseragam ketiga duduk di belakang meja. Dana berjalan menghampiri meja. Penjaga itu mengangkat muka. "Dobry dyen," kata Dana. "Zdrastvuytye. Ne-" Dana menghentikannya. "Maaf. Saya ke sini untuk menemui Commissar Shdanoff. Saya Dana Evans. Saya dari Washington Tribune Network " Si penjaga membaca lembaran di hadapannya dan menggeleng. "Anda ada janji?" "Tidak, tapi-" "Kalau begitu, Anda harus membuat janji dulu. Anda orang Amerika?" "Ya." Penjaga itu mengaduk-aduk sejumlah formulir di mejanya dan mengangsurkan sehelai pada Dana. "Silakan Anda mengisi ini." "Baiklah," kata Dana. "Apa saya bisa menemui commissar siang ini?" Matanya berkedip. "Ya ne ponimayu. Kalian orang Amerika selalu terburu-buru. Di hotel mana Anda menginap?" "Sevastopol. Saya hanya perlu beberapa men-" Ia mencatat. "Anda akan dikabari. Dobry dyen" "Tapi-" Ia melihat ekspresi pria itu. "Dobry dyen." Dana tinggal di kamarnya sepanjang siang, menunggu telepon. Pukul 18.00, ia menelepon Tim Drew "Apakah kau berhasil menemui Shdanoff?" ia bertanya. "Tidak. Mereka akan meneleponku." "Jangan ditunggu, Dana. Kau berurusan dengan birokrasi dari planet lain." Pagi-pagi keesokan harinya, Dana kembali pergi ke Biro Pembangunan Ekonomi Internasional. Penjaga yang sama duduk di balik meja "Dobry dyen," kata Dana. ia memandang Dana dengan wajah sedingin batu "Dobry dyen." "Apakah Commissar Shdanoff menerima pesan saya kemarin?" "Nama Anda?" "Dana Evans." "Anda meninggalkan pesan kemarin?" "Ya," katanya datar, "pada Anda." Penjaga itu mengangguk. "Kalau begitu beliau sudah menerimanya. Semua pesan diterima." "Boleh saya bicara dengan sekretaris Commissar Shdanoff?" "Apakah Anda ada janji?" Dana menarik napas dalam. "Tidak." Penjaga itu angkat pundak. "Izvinitye, nyet." "Apa yang bisa saya-" "Anda akan ditelepon." Dalam perjalanan kembali ke hotel. Dana melewati Detsky Mir, toko mainan anak-anak. dan ia pun masuk serta melihat-lihat. Ada bagian toko yang khusus untuk game. Di satu sudut ada rak berisi game komputer. Kemal pasti suka salah satu di antaranya, pikir Dana. Ia membeli sebuah game dan terperanjat melihat betapa mahal harganya, ia kembali ke hotel untuk menunggu telepon. Pukul 18.00 ia berhenti berharap akan menerima telepon itu. Ia sudah hendak turun ke bawah untuk makan malam ketika telepon berdering. Dana bergegas menghampiri dan mengangkatnya. "Dana?" Ternyata dari Tim Drew. "Ya, Tim." "Sudah ada kabar?" "Aku khawatir belum." "Well, mumpung ada di Moskow, kau seharusnya tidak melewatkan hal-hal yang bagus di sini. Ada pertunjukan balet malam ini. Mereka mementaskan Giselle. Kau tertarik?" "Sangat tertarik, terima kasih." "Aku akan menjemputmu satu jam lagi." Pertunjukan balet itu diadakan di Palace of Congresses yang berkapasitas enam ribu tempat duduk di dalam Kremlin. Malam itu sungguh luar biasa. Musiknya indah, tariannya fantastis, dan bagian pertama tak terasa sudah berlalu. Ketika lampu-lampu dinyalakan sebagai pertanda jeda, Tim berdiri. "Ikuti aku. Cepat." Orang-orang berdesakan naik. "Ada apa?" "Kau akan lihat sendiri." Ketika sampai di lantai atas, mereka disambut setengah lusin meja yang penuh mangkuk kaviar dan botol vodka di dalam ember es. Para pengunjung teater yang sudah lebih dulu sampai di sana sedang sibuk mengambil makanan. Dana menoleh pada Tim. "Mereka tahu sekali cara menggelar pertunjukan." Tim berkata, "Beginilah kehidupan kelas atas di sini. Ingat, tiga puluh persen rakyat negara ini hidup di bawah garis kemiskinan." Dana dan Tim bergeser ke arah jendela, menjauh dari kerumunan orang banyak. Lampu mulai berkedip. "Saat untuk babak kedua." Babak kedua sungguh memesona, tetapi dalam pikiran Dana terus terngiang-ngiang potongan potongan percakapan tadi. Taylor Winthrop itu scheisse. Oh, ia pintar, sangat pintar. Ia menjebak saya... Kecelakaan yang patut disayangkan. Gabriel anak yang luar biasa... Taylor Winthrop menyapu habis masa depan keluarga Mancino... Ketika pertunjukan balet itu selesai, dan mereka berada di dalam mobil, Tim Drew berkata, "Mau minum sebelum tidur di apartemenku?" Dana menoleh padanya. Tim menarik, cerdas, dan memesona. Tetapi ia bukan Jeff. Jawaban yang keluar dari bibirnya adalah, "Terima kasih, Tim. Tapi tidak." "Oh." Kekecewaannya terdengar jelas. "Mungkin besok." "Sebetulnya aku ingin, tapi aku harus siap pagi-pagi." Dan aku jatuh cinta setengah mati dengan orang lain. Keesokan paginya Dana datang kembali ke Biro Pembangunan Ekonomi Internasional. Penjaga yang sama duduk di belakang meja. "Dobry dyen." "Dobry dyen. " "Saya Dana Evans. Kalau saya tidak bisa menemui commissar, boleh saya menemui asistennya?" "Anda punya janji?" "Tidak. Saya-" Ia menyodorkan selembar kertas pada Dana. "Silakan isi formulir ini..." Ketika Dana kembali ke kamarnya, telepon genggamnya berdering, dan jantung Dana serasa berhenti berdetak. "Dana..." "Jeff!" Begitu banyak yang ingin mereka ucapkan. Tetapi Rachel berdiri di antara mereka seperti bayang-bayang, dan mereka tidak bisa membicarakan masalah yang paling mengganggu benak mereka: penyakit Rachel. Mereka bercakap-cakap dengan hati-hati. *** Telepon dari kantor Commissar Shdanoff datang tanpa diduga-duga pada pukul 08.00 keesokan harinya. Suara sangat beraksen itu berkata. "Dana Evans?" "Ya." "Di sini Yerik Karbava, Asisten Commissar Shdanoff. Anda ingin bertemu dengan commissar?" "Ya!" Ia sudah bersiap-siap mendengar pria itu mengatakan, "Apakah Anda punya janji?" Namun Karbava berkata, "Datanglah ke Biro Pembangunan Ekonomi tepat satu jam lagi." "Baik. Terima kasih banyak-" Telepon ditutup. Satu jam kemudian Dana kembali memasuki gedung bata raksasa itu. Ia menghampiri penjaga yang sama, yang duduk di belakang meja. Ia mengangkat muka. "Dobry dyen. " Dana memaksakan diri untuk tersenyum. "Dobry dyen. Saya Dana Evans, dan saya ke sini untuk menemui Commissar Shdanoff." Ia mengangkat pundak. "Maaf. Tanpa janji-" Dana menahan marah. "Saya punya janji." Ia memandang Dana dengan skeptis. "Da?" Ia mengangkat telepon dan berbicara beberapa saat. Lalu ia berpaling pada Dana. "Lantai tiga," katanya enggan. "Akan ada yang menemui Anda di sana." Kantor Commissar Shdanoff ternyata luas dan kusam, perabotannya tampak dibeli pada awal tahun 1920-an. Ada dua laki-laki di dalam kantor itu. Ketika Dana masuk, mereka berdiri. Yang lebih tua berkata, "Saya Commissar Shdanoff." Sasha Shdanoff tampak berusia lima puluhan. Perawakannya pendek dan kekar, dengan rambut kelabu kaku, wajah bulat, pucat, dan mata cokelat yang terus-menerus memandang ke seluruh penjuru ruangan seakan sedang mencari sesuatu. Ia bicara dengan aksen kental. Ia memakai setelan jas cokelat tanpa bentuk dan sepatu hitam yang sudah lecet di sana-sini. Ia menunjuk laki-laki kedua. "Ini adik saya, Boris Shdanoff." Boris Shdanoff tersenyum. "Apa kabar, Miss Evans?" Boris Shdanoff berbeda jauh dari kakaknya. Kelihatannya ia lebih muda sepuluh tahun. Ia memiliki hidung rajawali dan dagu yang kokoh. Ia mengenakan setelan Armani biru muda dengan dasi Hermes kelabu. Bicaranya hampir tanpa aksen sama sekali. Sasha Shdanoff berkata bangga, "Boris datang berkunjung dari Amerika. Ia bekerja di kedutaan Rusia di ibukota negara Anda, Washington, D.C." "Sudah lama saya mengagumi hasil kerja Anda, Miss Evans," kata Boris Shdanoff. "Terima kasih." "Apa yang bisa saya lakukan untuk Anda?" tanya Sasha Shdanoff. "Apakah Anda ada masalah?" "Sama sekali tidak," kata Dana. "Saya ingin bertanya pada Anda mengenai Taylor Winthrop." Ia memandang heran pada Dana. "Apakah yang ingin Anda ketahui tentang Taylor Winthrop?" "Saya tahu Anda dulu bekerja dengannya, dan Anda juga kadang-kadang bergaul dengannya sebagai teman." Sasha Shdanoff berkata hati-hati, "Da. " "Saya ingin tahu pendapat pribadi Anda tentang dia." "Apa lagi yang bisa disebutkan? Ia duta besar yang baik bagi negara Anda." "Setahu saya, ia sangat populer di sini dan-" Boris Shdanoff menyela. "Oh, ya. Kedutaan-kedutaan di Moskow sering mengadakan pesta, dan Taylor Winthrop selalu-" Sasha Shdanoff memandang marah pada adiknya. "Dovolno!" Ia menoleh kembali pada Dana. "Dubes Winthrop sering menghadiri pesta-pesta di kedutaan. Ia menyukai orang. Masyarakat Rusia menyukainya." Boris Shdanoff berbicara lagi. "Sebenarnya, ia pernah mengatakan pada saya bahwa kalau bisa, ia-" Sasha Shdanoff membentak, "Molchat!" Ia berpaling. "Seperti saya katakan tadi. Miss Evans, ia dubes yang baik." Dana memandang Boris Shdanoff. Jelas pria itu berusaha mengatakan sesuatu padanya. Ia beralih kembali pada sang Commissar. "Apakah Dubes Winthrop pernah terlibat suatu masalah sewaktu ia berada di sini?" Sasha Shdanoff mengernyit. "Masalah? Tidak." ia menghindari tatapan Dana. Ia bohong, pikir Dana. Ia mendesak lebih jauh. "Commissar, bisakah Anda memikirkan alasan mengapa seseorang mungkin ingin membunuh Taylor Winthrop dan keluarganya?" Mata Sasha Shdanoff melebar. "Membunuh! Keluarga Winthrop? Nyet. Nyet." "Anda tidak bisa memikirkan satu alasan pun?" Boris Shdanoff berkata, "Sebenarnya-" Sasha Shdanoff memotongnya. 'Tidak ada alasan apa pun. ia duta besar yang hebat." Ia mengeluarkan sebatang rokok dari kotak perak, dan Boris buru-buru menyalakannya. "Apakah ada hal lain yang ingin Anda ketahui?" Sasha Shdanoff bertanya. Dana memandang mereka berdua. Mereka menyembunyikan sesuatu, pikirnya, tapi apa? Semua ini terasa seperti berjalan di dalam labirin tanpa pintu keluar. "Tidak." Ia melirik Boris sambil berkata perlahan-lahan, "Kalau Anda teringat apa saja, saya tinggal di Sevastopol Hotel sampai besok pagi." Boris Shdanoff berkata, "Anda akan pulang?" "Ya. Pesawat saya berangkat besok siang." "Saya-" Boris Shdanoff hendak mengatakan sesuatu, melihat kakaknya, dan terdiam. "Selamat tinggal," kata Dana. "Proshchaxte." "Proshchayte." * * * Sekembalinya ke kamar, Dana menelepon Matt Baker. "Ini ada apa-apanya. Matt, tapi aku tidak bisa mengetahui apa masalahnya. Aku merasa aku bisa tinggal berbulan-bulan di sini dan tetap tidak akan memperoleh informasi bermanfaat. Aku akan pulang besok." Ini ada apa-apanya, Matt, tapi aku tidak bisa mengetahui apa masalahnya. Aku merasa aku bisa tinggal berbulan-bulan di sini dan tetap tidak akan memperoleh informasi bermanfaat. Aku akan pulang besok. Rekaman selesai. Bandara Sheremetyevo II malam itu penuh orang. Sementara menunggu pesawat, Dana merasa dirinya sedang diawasi. Ia mengamati orang banyak itu, tetapi tak dapat menemukan siapa pun yang mencurigakan. Mereka ada di luar sana, entah di mana. Dan kesadaran itu membuatnya bergidik. DUA PULUH SATU Mrs. daley dan Kemal menunggu di bandara Dulles untuk menjemput Dana Dana tak menyadari betapa ia merindukan Kemal. ia merangkulkan kedua tangannya dan mendekap anak itu erat-erat. Kemal berkata, "Hai, Dana. Aku senang kau sudah pulang. Kau membawakan aku beruang Rusia?" "Ya, tapi sayang, ia kabur." Kemal tersenyum lebar. "Apakah kau akan tinggal di rumah sekarang?" Dana berkata hangat, "Tentu saja." Mrs. Daley tersenyum. "Itu kabar baik. Miss Evans. Kami sangat senang Anda telah kembali." "Saya pun senang sudah kembali," kata Dana. Di dalam mobil, sambil mengemudi menuju apar temen, Dana berkata, "Bagaimana dengan lengan barumu, Kemal? Apakah kau sudah terbiasa memakainya?" "Lengan ini asyik." "Aku senang sekali. Bagaimana keadaanmu di sekolah?" "Tidak ada masalah." "Tidak ada perkelahian-perkelahian lagi?" "Ya." "Bagus sekali, Sayang." Dana mengamatinya sejenak. Kemal lain sekarang, jadi pendiam. Seakan telah terjadi sesuatu yang mengubahnya, tetapi apa pun penyebabnya, ia jelas tampak bahagia. Ketika mereka sampai di apartemen. Dana berkata, "Aku harus pergi ke studio, tapi aku akan segera kembali, dan kita makan bersama. Kita akan pergi ke McDonald's" Tempat yang biasa kita datangi bersama Jeff. Ketika Dana memasuki gedung WTN yang besar, ia merasa seolah sudah seabad meninggalkannya. Ketika berjalan menuju kantor Matt, ia disambut setengah lusin rekan kerjanya. "Senang kau kembali, Dana. Kami merasa kehilangan." "Senang juga pulang kembali." "Wah, lihat siapa ini. Apakah kau menikmati perjalananmu?" "Menyenangkan. Terima kasih." "Tempat ini tidak sama rasanya tanpa dirimu." Ketika Dana memasuki kantor Matt, atasannya itu berkata, "Berat badanmu turun. Kau kelihatan kurus." "Terima kasih, Matt." "Duduklah." Dana duduk. "Kau kurang tidur belakangan ini?" "Begitulah." "Omong-omong, peringkat kita merosot sejak kau pergi." "Aku merasa tersanjung." "Elliot pasti senang kau menghentikan penyelidikan ini. Ia mengkhawatirkanmu." Matt tidak menyebutkan betapa khawatir ia memikirkan Dana. Mereka berbicara selama setengah jam. Ketika Dana kembali ke kantornya, Olivia berkata. "Selamat datang kembali. Selama ini-" Telepon berdering. Ia mengangkatnya. "Kantor Miss Evans... Tunggu sebentar." Ia memandang Dana. "Pamela Hudson di saluran satu." "Akan kuterima." Dana masuk ke kantornya sendiri dan mengangkat telepon. "Pamela." "Dana, kau sudah kembali! Kami sangat khawatir. Rusia bukan tempat paling aman belakangan ini." "Saya tahu." Ia tertawa. "Teman saya membelikan saya semprotan lada." "Kami merasa kehilangan. Aku dan Roger ingin kau datang minum teh siang ini. Apakah kau punya waktu luang?" "Ya." "Pukul tiga?" "Bagus." Sisa pagi itu tersita persiapan siaran malam nanti. Pukul 15.00, Cesar menyambut Dana di pintu. "Miss Evans!" Seulas senyum lebar tersungging di wajahnya. "Senang sekali bertemu lagi dengan Anda. Selamat datang." "Terima kasih, Cesar. Bagaimana kabarmu?" "Baik-baik saja, terima kasih." "Apakah Mr. dan Mrs.-" "Ya. Mereka sudah menanti Anda. Boleh saya bawakan mantel Anda?" Ketika Dana berjalan masuk ke ruang duduk, Roger dan Pamela berseru berbarengan, "Dana!" Pamela Hudson memeluknya. "Si anak yang hilang sudah kembali." Roger Hudson berkata, "Kau kelihatan letih." "Tampaknya semua orang berpendapat begitu." "Duduk, duduk," kata Roger. Pelayan masuk membawa nampan berisi teh, biskuit, kue scone, dan croissant. Pamela menuangkan teh. Mereka duduk, dan Roger berkata, "Well, ceritakanlah pada kami apa yang terjadi." "Yang terjadi, saya merasa penyelidikan saya tidak berkembang. Saya frustrasi sekali." Dana menarik napas dalam. "Saya menemui orang bernama Dieter Zander yang mengatakan dirinya dijebak Taylor Winthrop dan dipenjarakan. Sewaktu ia mendekam di sana, keluarganya habis dalam kebakaran. Ia menyalahkan Winthrop atas kematian mereka." Pamela berkata, "Jadi ia punya motif untuk membunuh seluruh keluarga Winthrop." "Benar. Tetapi ada yang lebih dari itu," kata Dana. "Saya bicara dengan orang yang bernama Marcel Falcon di Prancis. Putra tunggalnya tewas sebagai korban tabrak lari. Sopir Taylor Winthrop mengaku bersalah, tetapi si sopir kini mengatakan Taylor Winthrop-lah pengemudi itu." Roger berkata sungguh-sungguh, "Falcon dulu anggota Komisi NATO di Brussels." "Benar. Dan si sopir memberitahunya bahwa Taylor Winthrop-lah yang membunuh anaknya." "Menarik." "Sangat menarik. Pernahkah kalian mendengar soal Vincent Mancino?" Roger Hudson berpikir sejenak. "Tidak." "Ia anggota Mafia. Taylor Winthrop menghamili anak perempuannya, mengirimnya ke dukun, dan orang itu melakukan aborsi asal-asalan. Gadis itu kini tinggal di biara dan ibunya di sanatorium." "Ya Tuhan." "Masalahnya, mereka bertiga sama-sama punya motif kuat untuk membalas dendam." Dana menghela napas kesal. "Tetapi saya tidak bisa membuk- tikan apa-apa." Roger memandang Dana sambil berpikir. "Jadi Taylor Winthrop benar-benar bersalah melakukan segala perbuatan mengerikan itu." "Tidak ada keraguan dalam hal ini, Roger. Saya sudah bicara dengan orang-orang itu. Siapa pun di antara mereka yang berada di belakang pembunuhan-pembunuhan tersebut, ia mengaturnya dengan sangat cemerlang. Tidak ada jejak apa pun-sama sekali tidak ada. Setiap pembunuhan dilakukan dengan modus operandi yang berlainan, jadi tidak ada pola yang jelas. Setiap detail digarap cermat. Tidak ada yang dibiarkan berisiko. Tidak ada satu saksi pun atas semua kematian itu." Pamela berkata hati-hati, "Aku tahu ini mungkin kedengaran terlalu mengada-ada, tapi-apakah mungkin mereka bekerja sama merancangnya untuk membalas dendam?" Dana menggeleng. "Saya tidak percaya ada kolusi dalam hal ini. Orang-orang yang saya ajak bicara itu punya kekuasaan besar. Saya kira masing-masing tentunya ingin melakukannya sendiri. Hanya salah satu di antara mereka yang bersalah." Tapi yang mana? Dana mendadak melihat arloji. "Maaf. Saya tadi berjanji mengajak Kemal makan malam di McDonald's, dan kalau bergegas, saya bisa melakukannya sebelum pergi bekerja." 'Tidak apa," kata Pamela. "Kami sepenuhnya mengerti. Terima kasih kau telah bersedia mampir." Dana bangkit untuk pergi. "Dan terima kasih untuk Anda berdua atas teh dan dukungan moral Anda." Senin pagi, saat mengantar Kemal ke sekolah. Dana berkata, "Sudah lama aku rindu melakukan ini, tapi aku sekarang sudah kembali." "Aku senang." Kemal menguap. Dana sadar Kemal terus-menerus menguap sejak bangun. Dana bertanya, "Tidurmu nyenyak sema lam?" "Yeah. Kurasa begitu." Kemal menguap lagi. "Apa yang kaukerjakan di sekolah?" Dana bertanya. "Maksudmu selain pelajaran sejarah dan bahasa Inggris yang membosankan?" "Ya." "Aku main sepak bola." "Kegiatanmu tidak terlalu banyak, kan, Kemal?" "Tidak." ia melirik sosok rapuh di sampingnya. Dana melihat seluruh energi seakan telah menguap dari diri Kemal. Sikap diamnya tak wajar. Dalam hati Dana menimbang apakah ia perlu membawanya ke dokter. Mungkin ia bisa mengecek dan menanyakan apakah ada vitamin yang dapat memberi Kemal energi. Ia melihat arloji. Rapat untuk siaran malam ini tinggal setengah jam lagi. Pagi itu lewat dengan cepat, dan menyenangkan sekali rasanya berada di dunianya lagi. Ketika Dana kembali ke kantor, di meja kerjanya ada sehelai amplop bertuliskan namanya. Ia membukanya. Surat di dalamnya berbunyi: "Miss Evans, saya punya informasi yang Anda inginkan. Saya sudah memesankan kamar atas nama Anda di Soyuz Hotel di Moskow. Datanglah segera. Jangan beritahu siapa pun mengenai hal ini." Surat itu tanpa tanda tangan. Dana membaca surat tersebut sekali lagi, tak percaya. Saya punya informasi yang Anda inginkan. Pasti ini cuma tipuan. Kalau seseorang di Rusia memiliki informasi yang dicarinya, mengapa orang itu tidak menceritakannya ketika ia ada di sana? Dana memikirkan pertemuannya dengan Commissar Sasha Shdanoff dan adiknya, Boris. Boris sepertinya sangat ingin berbicara dengannya, dan Sasha terus menyelanya. Dana duduk di belakang meja, sambil berpikir. Bagaimana surat itu bisa sampai ke mejanya? Apakah ia diawasi? Aku akan melupakannya. Dana memutuskan. Ia menjejalkan surat itu ke dalam tas. Aku akan merobeknya begitu tiba di rumah. Dana menghabiskan malam itu bersama Kemal. Ia mengira Kemal akan gembira karena game komputer yang baru dibelikannya di Moskow, tetapi anak itu seperti tak peduli. Pukul 21.00 matanya mulai terpejam. "Aku ngantuk, Dana. Aku mau tidur." "Baiklah, Sayang." Dana mengawasinya pergi ke ruang belajar dan berpikir, Ia begitu berubah. Aku seperti tidak mengenalnya lagi. Ah, mulai sekarang kami akan bersama-sama. Kalau ada yang mengusik hatinya, aku pasti akan tahu. Tiba saatnya untuk berangkat ke studio. Di apartemen sebelah, penghuninya melihat layar televisi dan berbicara pada tape recorder "Subjek sudah berangkat ke studio televisi untuk siaran. Anak itu sudah tidur. Pengurus rumah sedang menjahit." "Kita siaran langsung!" Lampu merah kamera menyala. Suara announcer menggema, "Selamat malam. Kini siaran berita pukul sebelas di WTN bersama Dana Evans dan Richard Melton." Dana tersenyum ke kamera. "Selamat malam. Saya Dana Evans." Richard Melton, yang duduk di sampingnya, berkata, "Dan saya Richard Melton." Dana mulai, "Kami mulai siaran berita malam ini dengan tragedi menyedihkan di Malaysia..." Di sinilah tempatku, pikir Dana, bukan berlarian ke seluruh penjuru dunia, mengejar jejak yang tak tentu arah. Siaran berlangsung mulus. Ketika Dana kembali ke apartemen, Kemal sudah tidur. Sesudah mengucapkan selamat malam pada Mrs. Daley, Dana naik ke ranjang, tetapi ia tak bisa tidur. Saya punya informasi yang Anda inginkan. Saya sudah memesankan kamar atas nama Anda di Soyuz Hotel di Moskow. Datanglah segera. Jangan beritahu siapa pun mengenai hal ini. Ini perangkap. Aku tolol kalau kembali ke Moskow, pikir Dana. Tetapi bagaimana kalau ini benar? Siapa yang mau repot-repot melakukan ini? Dan mengapa? Surat itu hanya mungkin berasal dari Boris Shdanoff. Bagaimana - kalau ia, benar-benar tahu sesuatu? Ia terjaga sepanjang malam. Begitu bangun pagi harinya, Dana menelepon Roger Hudson dan menceritakan soal surat itu padanya. "Ya Tuhan. Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan." Ia kedengaran amat tertarik. "Ini bisa berarti seseorang siap menceritakan apa sebenarnya yang menimpa keluarga Winthrop." "Saya tahu." "Dana, ini bisa berbahaya. Aku tidak menyukainya." "Kalau saya tidak pergi, kita tidak akan pernah tahu yang sebenarnya." Ia bimbang. "Kukira kau benar." "Saya akan berhati-hati, tapi saya harus pergi." Roger Hudson berkata enggan. "Baiklah. Aku ingin kau terus memberi kabar." "Saya janji. Roger." * * * Dana pergi ke Corniche Travel Agency untuk membeli tiket pulang-pergi ke Moskow. Saat itu hari Selasa. Kuharap aku tidak akan pergi terlalu lama, pikir Dana. Ia meninggalkan pesan untuk Matt untuk memberitahukan apa yang terjadi. Ketika Dana kembali ke apartemennya, ia berkata pada Mrs. Daley, "Saya harus pergi lagi. Ini hanya satu dua hari. Tolong jaga Kemal baik-baik." "Anda tidak perlu mengkhawatirkan apa pun, Miss Evans. Kami akan baik-baik saja." Penghuni apartemen sebelah berpaling dari layar televisi dan bergegas menelepon seseorang. Di dalam pesawat Aeroflot menuju Moskow, Dana berpikir, bu seperti deja vu. Mungkin aku melakukan kekeliruan besar. Ini bisa jadi cuma perangkap. Tetapi kalau jawabannya ada di Moskow, aku akan menemukannya. Ia duduk bersandar untuk penerbangan panjang itu. Ketika pesawat mendarat keesokan paginya di bandara Sheremetyevo II yang kini sudah dikenalnya, Dana mengambil tas dan berjalan keluar dalam badai salju yang membutakan mata. Tampak antrean panjang orang-orang yang sedang menunggu taksi. Dana berdiri dalam udara dingin, bersyukur memakai mantel hangat. Empat puluh lima menit kemudian, ketika akhirnya tiba giliran Dana, seorang laki-laki berperawakan besar mencoba menyerobot ke depannya. "Nyet!" kata Dana tegas. "Ini taksi saya." Ia masuk ke mobil. Si sopir berkata, "Da?" "Saya mau ke Soyuz Hotel." Ia berpaling pada Dana dan berbicara dalam bahasa Inggris patah-patah, "Anda yakin ingin pergi ke sana?" Dana berkata heran, "Kenapa? Apa maksud Anda?" "Itu bukan hotel yang bagus." Dana merasa waswas. Apakah aku yakin? Sekarang sudah terlambat untuk mundur. Sopir itu menanti jawaban. "Ya. Saya-saya yakin." Si sopir mengangkat bahu, memasukkan persneling, dan meluncur di antara lalu lintas yang terbungkus salju. Dana berpikir, Bagaimana kalau ternyata tidak ada pemesanan kamar di hotel itu? Bagaimana kalau semua ini cuma lelucon konyol? Soyuz Hotel terletak di daerah kelas pekerja di pinggiran kota Moskow, di Levoberezhnaya Street. Tempat itu gedung tua yang tak menarik, dengan cat cokelat yang sudah mengelupas di bagian luarnya. "Anda ingin saya menunggu?" si sopir bertanya. Dana ragu-ragu hanya sebentar. "Tidak." Ia membayar si sopir, keluar dari taksi, dan angin dingin mendorongnya masuk ke hotel kecil yang kusam itu. Seorang perempuan tua duduk di belakang meja, membaca majalah. Ia mengangkat muka, terperanjat ketika Dana masuk. Dana menghampiri meja. "Da?" "Saya rasa kamar untuk saya di sini sudah dipesan. Dana Evans." Ia menahan napas. Perempuan itu mengangguk perlahan-lahan. "Dana Evans, ya." Ia mengulurkan tangan ke belakang dan mengambil kunci dari rak. "Empat nol dua, lantai empat." Ia mengangsurkannya pada Dana. "Di mana saya harus mengisi formulir pendaftaran?" Perempuan itu menggeleng. "Tidak perlu mendaftar. Anda bayar sekarang. Satu hari." Dana kembali merasa waswas. Sebuah hotel di Rusia, dan orang asing tidak perlu mendaftar? Ada yang sangat tidak beres. " Perempuan itu berkata, "Lima ratus rubel." "Saya harus menukar uang dulu." kata Dana. "Nanti." "Tidak. Sekarang. Saya menerima dolar." "Baiklah." Dana merogoh ke dalam tas dan mengeluarkan segenggam uang kertas. Perempuan itu mengangguk, mengulurkan tangan, dan mengambil setengah lusin lembaran uang. Kurasa aku bisa membeli hotel ini dengan uang sebanyak itu. Dana melihat sekelilingnya. "Di mana liftnya?" "Tidak ada lift." "Oh." Portir sudah pasti tidak ada. Dana mengangkat tas dan menaiki tangga. Kamarnya ternyata lebih buruk dari yang dikiranya. Kamar itu sempit dan kumuh, tirainya sudah koyak, dan ranjangnya belum dibereskan. Bagaimana Boris akan menghubunginya? Ini bisa jadi cuma lelucon, pikir Dana, tetapi mengapa ada orang yang mau repot-repot begini? Dana duduk di tepi ranjang dan memandang ke luar jendela yang kotor, ke jalan yang sibuk di bawah. Aku benar-benar tolol, pikir Dana. Aku bisa saja duduk berhari-hari di sini, dan tak terjadi apa pun- Terdengar ketukan pelan di pintu. Dana menarik napas dalam dan berdiri. Ia harus memecahkan misteri ini sekarang, atau mengetahui bahwa tidak ada misteri sama sekali. Dana berjalan ke pintu dan membukanya. Tidak ada seorang pun di lorong. Di lantai tergeletak sebuah amplop. Dana memungutnya dan membawanya ke dalam. Secarik kertas di dalamnya bertuliskan VDNKh 21.00. Dana memandanginya, mencoba memahaminya. Ia membuka koper dan mengeluarkan buku penunjuk jalan yang pernah dibelinya. Itu dia, VDNKh. Teksnya berbunyi Uni Sovyet, pameran prestasi ekonomi, dan di situ tercantum alamatnya. Pukul 20.00 malam itu, Dana memanggil taksi. "VDNKh. Taman?" Ia kurang yakin dengan lafal ucapannya. Si sopir berpaling memandangnya. "VDNKh? Sudah tutup." "Oh." "Anda masih tetap mau ke sana?" "Ya." Si sopir mengangkat bahu dan taksi itu melesat. Taman yang luas itu terletak di bagian timur laut Moskow. Menurut buku petunjuk, pameran-pameran mewah itu dulu direncanakan sebagai monumen kejayaan Soviet, tetapi ketika perekonomian runtuh, dana pun dipangkas, dan taman itu berubah menjadi monumen lapuk dogma Soviet. Paviliun-paviliun megah mulai runtuh dan taman itu kosong. Dana turun dari taksi dan mengeluarkan se-genggam uang Amerika. "Apakah ini-?" "Da." Si sopir meraih lembaran uang itu dan sesaat kemudian pergi. Dana memandang sekelilingnya. Ia seorang diri di taman yang beku dan berangin. Ia berjalan ke bangku di dekatnya dan duduk menunggu Boris. Dana teringat bagaimana dulu ia menunggu Joan Sinisi di kebun binatang. Bagaimana kalau Boris- Suara dari belakang Dana mengejutkannya. "Horoshiy vyecherniy." Dana berbalik, dan terbelalak kaget. Ia tadinya mengharapkan Boris Shdanoff. Tetapi ternyata yang dilihatnya Commissar Sasha Shdanoff. "Commissar! Saya tidak menduga-" "Anda harus mengikuti saya," katanya pendek. Sasha Shdanoff berjalan cepat melintasi taman. Dana bimbang sebentar, lalu berdiri dan bergegas mengikutinya. Ia memasuki kafe kecil yang tampak sederhana di tepi taman dan duduk di meja belakang. Di dalam kafe itu hanya ada satu pasangan. Dana berjalan ke meja Sasha dan duduk. Seorang pelayan yang memakai celemek kotor mendatangi mereka. "Da?" "Dva cofe, pozhalooysta," kata Shdanoff. Ia berpaling kembali pada Dana. "Saya tidak begitu yakin Anda akan datang, tetapi Anda sangat gigih. Kadang-kadang itu bisa berbahaya." "Dalam surat itu Anda mengatakan Anda bisa memberitahukan apa yang ingin saya ketahui." "Ya." Kopi tiba. Shdanoff minum seteguk, dan diam beberapa saat. "Anda ingin tahu apakah Taylor Winthrop dan keluarganya dibunuh." Jantung Dana mulai berdegup lebih kencang "Benarkah?" "Ya." Jawaban itu keluar berupa bisikan menyeramkan. Dana tiba-tiba merasa ngeri. "Apakah Anda tahu siapa yang membunuh mereka?" "Ya." Dana menarik napas dalam. "Siapa?" Shdanoff mengangkat satu tangan untuk menghentikan Dana. "Akan saya katakan pada Anda, tapi Anda lebih dulu harus melakukan sesuatu untuk saya." Dana memandangnya dan berkata hati-hati, "Apa?" "Keluarkan saya dari Rusia. Saya tidak lagi aman di sini." "Mengapa Anda tidak pergi ke bandara dan terbang keluar? Saya tahu perjalanan ke luar negeri tidak lagi dilarang." "Miss Evans, Anda naif. Sangat naif. Benar, keadaan tidak lagi seperti zaman komunis dulu, tetapi bila saya mencoba yang Anda sarankan, mereka akan membunuh saya sebelum saya sampai di bandara. Dinding-dinding di sini masih punya mata dan telinga. Saya dalam bahaya besar. Saya butuh bantuan Anda." Butuh beberapa saat untuk mencerna kata-katanya. Dana memandangnya cemas. "Saya tidak bisa-saya tidak tahu dari mana harus mulai." "Anda harus bisa. Anda harus menemukan cara. Nyawa saya dalam bahaya." Dana berpikir sejenak. "Saya bisa bicara dengan duta besar Amerika dan-" "Tidak!" Suara Sasha Shdanoff terdengar tajam. "Tapi itulah satu-satunya cara-" "Kedutaan besar Anda punya kuping pengkhianat. Tak seorang pun boleh tahu hal ini, kecuali Anda dan siapa pun yang akan membantu Anda. Duta besar Anda tidak bisa membantu saya." Dana mendadak merasa sangat tertekan. Bagaimanapun juga, ia tidak mungkin menyelundupkan seorang commissar Rusia keluar dari negeri ini. Aku bahkan tidak bisa menyelundupkan seekor kucing keluar dari negeri ini. Dan ia punya gagasan lain. Semua ini mungkin cuma tipu muslihat. Sasha Shdanoff tidak punya informasi apa pun. ia memakai cara ini untuk pergi ke Amerika. Perjalanan ini ternyata sia-sia. Dana berkata, "Saya khawatir saya tidak bisa menolong Anda, Commissar Shdanoff." Ia berdiri dengan perasaan marah. 'Tunggu! Anda ingin bukti? Saya akan beri Anda bukti." "Bukti macam apa?" Shdanoff butuh waktu lama untuk menjawab. Ketika berbicara lagi, ia melakukannya perlahan-lahan, "Anda memaksa saya melakukan sesuatu yang sama sekali tidak saya inginkan." Ia berdiri. "Ikutilah saya." Tiga puluh menit kemudian, mereka memasuki jalan belakang kantor Sasha Shdanoff di Biro Pembangunan Ekonomi Internasional. "Saya bisa dieksekusi karena apa yang akan saya ceritakan pada Anda," kata Sasha Shdanoff ketika mereka tiba. "Tapi saya tidak punya pilihan." Ia membuat isyarat tak berdaya. "Sebab saya akan dibunuh kalau saya tinggal di sini." Dana mengamati Shdanoff pergi ke lemari besi besar yang dibangun menyatu dengan dinding. Ia memutar angka kombinasinya, menariknya hingga terbuka, dan mengeluarkan sebuah buku tebal Ia membawanya ke meja kerja. Pada bagian depan buku itu terdapat tulisan Klassifitsirovann'gy dalam huruf-huruf merah. "Ini informasi yang sangat rahasia," Commissar Shdanoff berkata pada Dana. Ia membuka buku itu. Dana melihatnya lekat-lekat sewaktu pria itu mulai membalik halaman-halamannya. Setiap halaman berisi foto-foto berwarna pesawat pembom, kendaraan luar angkasa, rudal antibalistik, rudal udara ke darat, senjata otomatis, tank, dan kapal selam. "Ini persenjataan lengkap Rusia." Koleksi itu tampak besar, mematikan. "Saat ini, Rusia memiliki lebih dari seribu rudal balistik antarbenua, lebih dari dua ribu hulu ledak nuklir, dan tujuh puluh pembom strategis." Ia menunjuk berbagai senjata tersebut sambil membalik halaman demi halaman. "Inilah Awl... Acrid... Aphid... Anab... Archer... Persenjataan nuklir kami menandingi Amerika Serikat." "Sangat amat mengesankan." "Militer Rusia punya masalah yang sangat gawat, Miss Evans. Kami menghadapi krisis. Tidak ada uang untuk membayar para serdadu, dan semangat mereka amat rendah. Situasi saat ini hanya menawarkan sedikit harapan, dan masa depan tampak lebih buruk lagi, maka pihak militer terpaksa berpaling ke masa lalu." Dana berkata, "Saya-saya rasa saya tidak mengerti bagaimana ini-" "Ketika Rusia masih benar-benar menjadi negara adikuasa, kami membangun lebih banyak senjata daripada Amerika Serikat. Semua senjata itu tersimpan di sini sekarang. Puluhan negara ingin memilikinya. Nilainya mencapai milyaran dolar." Dana berkata sabar, "Commissar, saya mengerti masalahnya, tapi-" "Bukan ini masalahnya." Dana memandangnya bingung. "Bukan? Lalu apa?" Shdanoff memilih kata-kata selanjutnya dengan hati-hati. "Pernahkah Anda mendengar tentang Krasnoyarsk-26?" Dana menggeleng. "Tidak." "Saya tidak terkejut. Tempat itu tidak tercantum dalam peta mana pun, dan orang-orang yang hidup di sana secara resmi tidak pernah ada." "Apakah maksud Anda?" "Anda akan lihat. Besok saya akan membawa Anda ke sana. Anda harus menemui saya di kafe yang sama besok siang." Ia memegang lengan Dana, meremasnya kuat-kuat. "Jangan sekali-sekali Anda menceritakan hal ini pada siapa pun." Ia membuat Dana kesakitan. "Anda mengerti?" "Ya." "Orobopeno. Setuju." Tengah hari, Dana tiba di kafe kecil di Taman VDNKh. Ia memasukinya dan duduk di meja yang sama, menunggu. Tiga puluh menit kemudian Shdanoff masih belum muncul. Apa yang terjadi sekarang? ia bertanya-tanya resah dalam hati. "Dobry dyen." Sasha Shdanoff berdiri di dekat meja. "Ayo. Kita harus pergi berbelanja." "Berbelanja?" ia bertanya tak mengerti. "Ayo!" Dana mengikutinya keluar menuju ke taman. "Belanja untuk apa?" "Untuk Anda." "Saya tidak butuh-" Shdanoff memanggil taksi dan mereka bungkam tegang sepanjang perjalanan ke mail. Mereka turun dari taksi, dan Shdanoff membayar sopirnya. "Masuk ke sini," kata Sasha Shdanoff Mereka berjalan di dalam mail itu, melewati selusin toko. Ketika mereka sampai di sebuah toko yang etalasenya memperagakan pakaian dalam seksi dan provokatif, Shdanoff berhenti. "Di sini." Ia mendahului Dana masuk. Dana melihat pakaian-pakaian tipis itu. "Untuk apa kita masuk ke sini?" "Anda akan berganti pakaian." Seorang wanita pramuniaga menghampiri mereka, dan berlangsunglah percakapan cepat dalam bahasa Rusia. Pramuniaga itu mengangguk, dan sesaat kemudian kembali dengan membawa rok mini merah jambu dan blus berenda-renda dengan potongan dada amat rendah. Shdanoff mengangguk menyetujuinya. "Da." Ia berpaling pada Dana. "Anda akan memakai ini." Dana mundur. "Tidak! Saya tidak mau memakai baju itu. Apa yang Anda-" "Anda harus memakainya." Suaranya tegas. "Mengapa?" "Anda akan lihat nanti." Dana berpikir, Laki-laki ini rupanya maniak seks. Iblis macam apa yang berurusan denganku ini? Shdanoff mengawasinya. "Bagaimana?" Dana menarik napas dalam. "Baiklah." Ia masuk ke kamar ganti sempit dan mengenakan pakaian itu. Ketika keluar, ia memandang ke cermin dan terkesiap. "Saya kelihatan seperti pelacur." "Belum," Shdanoff memberitahukan. "Kita akan memberimu makeup." "Commissar-" "Ayo." Pakaian Dana sendiri dijejalkan ke dalam tas kertas. Dana mengenakan mantel wolnya, mencoba sebisa mungkin menutupi pakaian yang dikenakannya. Mereka mulai berjalan lagi di mail itu. Orang-orang yang lewat menatap Dana, dan para pria melontarkan senyum maklum. Seorang pekerja mengedipkan mata padanya. Dana merasa dilecehkan. "Ke sini!" Mereka berada di depan salon kecantikan. Sasha Shdanoff masuk ke dalam. Dana ragu-ragu, lalu mengikutinya. Shdanoff berjalan ke konter. "Ano tyomnyj," katanya. Penata rias itu memperlihatkan padanya lipstik merah menyala dan pemerah pipi. "Savirshehnstva," kata Shdanoff. Ia menoleh pada Dana. "Pakai ini. Tebal-tebal." Dana sudah tak tahan. 'Terima kasih. Saya tidak tahu permainan apa yang hendak Anda mainkan, Commissar, tapi saya tidak ingin ambil bagian. Saya sudah-" Matanya menatap tajam, bagai menembus mata Dana. "Saya jamin ini bukan permainan, Miss Evans. Krasnoyarsk-26 adalah kota tertutup. Saya salah satu dari beberapa orang terpilih yang punya akses ke sana. Mereka memperkenankan hanya kalangan yang amat sangat terbatas untuk membawa pelacur ke sana selama satu hari. Itulah satu-satunya cara yang memungkinkan Anda melewati para penjaga. Cara itu dan sekotak vodka pilihan sebagai imbalan mengizinkan Anda masuk. Apakah Anda tertarik atau tidak?" Kota tertutup? Penjaga? Sejauh manakah kita akan melakukan semua ini? "Ya." dengan enggan Dana memuluskan. "Saya tertarik." DUA PULUH DUA DI tempat khusus di bandara Sheremetyevo II, sebuah pesawat jet militer sudah menunggu. Dana terkejut ketika melihat penumpangnya hanya ia dan Sasha Shdanoff. "Ke mana kita pergi?" Dana bertanya. Sasha Shdanoff menjawab dengan tersenyum masam. "Ke Siberia." Siberia. Dana merasa perutnya mengejang. "Oh." Penerbangan itu makan waktu empat jam. Dana mencoba untuk bercakap-cakap, berharap mendapatkan keterangan tentang apa yang akan dihadapinya, tapi Shdanoff cuma duduk di kursinya, bungkam dan muram. Ketika pesawat itu mendarat di bandara kecil yang menurut Dana letaknya seperti di antah-berantah, sebuah sedan Lada 2110 sudah menunggu mereka di aspal beton beku. Dana memandang berkeliling, menatap hamparan paling kosong yang pernah dilihatnya. "Tempat yang akan kita datangi itu-apakah masih jauh dari sini?" Dan apakah aku akan kembali? "Tidak jauh. Kita harus sangat hati-hati." Hati-hati terhadap apa? Mereka naik mobil itu menempuh jarak pendek ke bangunan yang tampak seperti stasiun kereta api kecil. Enam penjaga berpakaian amat tebal berdiri di peronnya. Saat Dana dan Shdanoff mendekat, para penjaga itu mengerling pakaian Dana yang minim. Salah satu di antara mereka menunjuk Dana dan menyeringai. "Ti vezuchi!" "Kakaya krasivaya zhenshina!" Shdanoff tersenyum lebar dan mengucapkan sesuatu dalam bahasa Rusia. Semua penjaga itu tertawa. Aku tidak ingin tahu, pikir Dana. Shdanoff naik ke kereta dan Dana mengikuti, makin bingung. Ke mana tujuan kereta api ini di tengah tundra yang beku dan suram begini? Suhu di dalam kereta api itu dingin sekali. Mesin dihidupkan, dan beberapa menit kemudian kereta api itu pun memasuki terowongan terang benderang yang menembus gunung. Dana memandang batu karang di kedua sisi, yang hanya beberapa sentimeter dari kereta api, dan merasa dirinya tengah berada dalam mimpi surealis yang aneh. Ia menoleh pada Shdanoff. "Maukah Anda mengatakan ke mana kita pergi?" Kereta itu tersentak berhenti. "Kita sudah sampai." Mereka turun dari kereta dan berjalan menuju bangunan semen berbentuk aneh sekitar seratus meter dari sana. Di depan bangunan itu berdiri dua pagar kawat berduri yang tampak menyeramkan, dijaga ketat prajurit-prajurit berseragam. Ketika Dana dan Sasha Shdanoff mendekati gerbang, prajurit-prajurit itu memberi hormat. Shdanoff berbisik, "Gandeng saya, lalu cium saya, dan tertawalah." Jeff takkan mempercayai ini, pikir Dana. ia melingkarkan tangan pada lengan Shdanoff, mencium pipi pria itu, dan memaksa dirinya tertawa kosong. Gerbang membuka dan mereka berdua melewatinya sambil bergandengan. Para serdadu itu mengawasi dengan tatapan iri saat Commissar Shdanoff berjalan masuk bersama pelacurnya yang cantik. Dana sangat terkejut waktu menyadari bangunan yang mereka masuki ternyata bagian atas stasiun lift yang menuju ke bawah tanah. Mereka masuk ke lift itu dan pintu menutup. Saat mereka mulai turun. Dana bertanya, "Ke mana kita?" "Ke bawah gunung." Lift meluncur makin kencang. "Seberapa jauh ke bawah gunungnya?" tanya Dana cemas. Shdanoff berkata, "Seratus delapan puluh meter." Dana memandangnya ragu-ragu. "Kita turun seratus delapan puluh meter ke bawah gunung. Mengapa? Ada apa di bawah sana?" "Anda akan lihat sendiri." Beberapa menit kumudian, lift itu mulai melambat Akhirnya lift berhenti, dan pintunya otomatis membuka. Commissar Shdanoff berkata, "Kita sudah sampai, Miss Evans." Tapi sampai di mana? Mereka melangkah keluar dari lift dan baru berjalan kurang dan enam meter ketika Dana berhenti karena shock. Di hadapannya tampak jalanan sebuah kota moderen, dengan berbagai toko, restoran, dan teater. Pria dan wanita berjalan kaki di sepanjang trotoarnya, dan Dana tiba-tiba menyadari bahwa tak seorang pun memakai mantel. Dana mulai merasa hangat, ia menoleh pada Shdanoff. "Kita ada di bawah gunung?" "Benar." "Tapi-" Ia melihat pemandangan luar biasa yang terhampar di hadapannya. "Saya tidak mengerti. Tempat apa ini?" "Sudah saya katakan tadi. Krasnoyarsk-26." "Apakah ini semacam lubang perlindungan terhadap bom?" "Sebaliknya," kata Shdanoff penuh teka-teki. Kembali Dana memandang semua gedung modem di sekitarnya. "Commissar, untuk apakah tempat ini?" Pria itu memandangnya lama dan tajam. "Anda sebenarnya lebih baik tidak mengetahui apa yang akan saya ceritakan pada Anda." Dana kembali merasa waswas. "Apakah Anda tahu tentang plutonium?" 'Tidak terlalu, tidak " "Plutonium adalah bahan bakar hulu ledak nuklir, bahan utama untuk membuat bom atom. Satu-satunya tujuan pembangunan Krasnoyarsk-26 adalah untuk membuat plutonium. Seratus ribu ilmuwan dan teknisi hidup dan bekerja di sini. Miss Evans. Pada mulanya, mereka mendapatkan makanan, pakaian, dan perumahan terbaik. Tetapi mereka femua tinggal di sini dengan satu syarat." "Ya?" "Mereka harus setuju untuk tidak pernah meninggalkan tempat ini." "Maksud Anda-" "Mereka tidak boleh pergi keluar. Selamanya. Mereka harus sepenuhnya memutuskan hubungan dengan dunia luar." Dana memandang orang-orang yang berjalan kaki di sepanjang jalanan yang hangat, dan berpikir dalam hati, Ini tidak mungkin betul-betul ada. "Di mana mereka membuat plutonium?" "Akan sayu tunjukkan pada Anda." Sebuah trem datang. "Ayo." Shdanoft' naik ke trem, dan Dana mengikutinya. Mereka naik trem itu di jalan utama yang sibuk, dan di ujungnya memasuki labirin terowongan-terowongan berpenerangan redup. Dana membayangkan kerja luar biasa dan tahun-tahun yang dicurahkan untuk membangun kota ini. Dalam beberapa menit, lampu-lampu itu makin terang, dan trem tersebut berhenti. Mereka berada di pintu masuk laboratorium raksasa yang terang benderang. "Kita turun di sini." Dana mengikuti Shdanoff dan melihat sekelilingnya dengan perasaan tercengang. Di dalam gua sangat besar itu ada tiga reaktor raksasa. Dua reaktor mati, tapi yang ketiga sedang beroperasi dan dikelilingi kerumunan teknisi yang sibuk. Shdanoff berkata, "Mesin-mesin di dalam ruangan ini bisa memproduksi cukup plutonium untuk membuat sebuah bom atom setiap tiga hari." Ia menunjuk reaktor yang sedang bekerja. "Reaktor itu masih memproduksi setengah ton plutonium setahun, cukup untuk membuat seratus bom. Nilai plutonium yang disimpan di ruang sebelahnya setara dengan kekayaan seorang tsar." Dana bertanya, "Commissar, bila mereka sudah memiliki semua plutonium itu, mengapa mereka masih membuat lebih banyak lagi?" Shdanoff berkata masam, "Inilah yang disebut orang Amerika sebagai catch-twentv-two. Mereka tidak bisa mematikan reaktor ini karena plutonium menyediakan daya untuk kota di atas. Kalau mereka menghentikan reaktor, maka tidak akan ada listrik dan pemanas, dan orang-orang di atas sana akan segera mati beku." "Mengerikan," kata Dana. "Kalau-" "Tunggu. Apa yang harus saya ceritakan pada Anda lebih buruk lagi. Karena keadaan perekonomian Rusia, maka tidak ada lagi uang untuk membayar para ilmuwan dan teknisi yang bekerja di sini. Sudah berbulan-bulan mereka tidak digaji. Rumah-rumah indah yang diberikan kepada mereka bertahun-tahun lalu mulai rusak, dan tidak ada uang untuk memperbaikinya. Semua kemewahan sudah lenyap. Orang-orang di sini jadi putus asa. Anda lihat paradoks ini? Plutonium yang disimpan di sini bernilai entah berapa milyar dolar, tapi orang-orang yang membuatnya tidak memiliki apa pun dan mulai kelaparan." Dana berkata perlahan-lahan, "Dan menurut Anda mereka mungkin menjual sejumlah plutonium ini ke negara-negara lain?" Ia mengangguk. "Sebelum Taylor Winthrop jadi duta besar Rusia, teman-teman menceritakan padanya tentang Krasnoyarsk-26 dan menanyainya apakah ia ingin melakukan transaksi. Sesudah ia bicara dengan beberapa ilmuwan di sini yang merasa dikhianati pemerintah, Winthrop jadi bersemangat untuk melakukan transaksi. Tetapi urusannya rumit, dan ia harus menunggu hingga semua kepingan jatuh pada tempatnya." ia jadi seperti orang gila. ia mengatakan, "Semua potongan sudah terpasang pada tempatnya." Dana merasa sulit bernapas. 'Tak lama sesudah itu, Taylor Winthrop jadi duta besar untuk Rusia. Winthrop dan mitranya bekerja sama dengan ilmuwan-ilmuwan pemberontak itu dan mulai menyelundupkan plutonium ke berbagai negara, termasuk Libya, Iran, Irak, Pakistan, Korea Utara, dan Cina." Setelah semua kepingan itu jatuh pada tempatnya! Kedudukan sebagai dubes penting bagi Taylor Winthrop hanya karena ia harus mengendalikan langsung operasi itu. Si Commissar meneruskan. "Mudah melakukannya, karena plutonium seukuran bola tenis sudah cukup untuk membuat bom nuklir, Miss Evans. Taylor Winthrop dan mitranya menangguk milyaran dolar. Mereka menangani segalanya dengan sangat cerdik, dan tak seorang pun menaruh curiga." Ia kedengaran pahit. "Rusia sudah jadi semacam toko permen-tetapi orang bisa membeli bukan permen, melainkan bom atom, tank, pesawat tempur, dan sistem peluru kendali." Dana mencoba memahami segala yang didengarnya. "Mengapa Taylor Winthrop dibunuh?" "Ia jadi serakah dan memutuskan untuk menguasai sendiri bisnis itu. Ketika mitranya mengetahui apa yang dilakukan Winthrop, ia menyuruh orang membunuhnya." 'Tapi-tapi mengapa membunuh seluruh keluarganya?" "Sesudah Taylor Winthrop dan istrinya tewas dalam kebakaran, anak laki-lakinya, Paul, mencoba memeras sang mitra, maka mitra itu pun membunuh Paul. Kemudian ia memutuskan tidak bisa mengambil risiko anak-anak Winthrop yang lain tahu soal plutonium ini, maka ia memerintahkan dua anak lainnya dibunuh juga. Ia mengatur kematian mereka sedemikian rupa sehingga tampak seperti kecelakaan dan pencurian yang ketahuan." Dana memandangnya ngeri. "Siapa mitra Taylor Winthrop?" Commissar Shdanoff menggeleng. "Untuk sekarang ini, Anda sudah tahu cukup banyak. Miss Evans. Saya akan memberitahukan nama itu setelah Anda mengeluarkan saya dari Rusia." Ia melihat arloji. "Kita harus pergi." Dana berpaling, untuk terakhir kali melihat reaktor yang tidak dapat dimatikan itu, yang terus menghasilkan plutonium dua puluh empat jam sehari. "Apakah pemerintah Amerika Serikat tahu tentang Krasnoyarsk-26?" Shdanoff mengangguk. "Oh, ya. Mereka ketakutan. Departemen Luar Negeri kalian bekerja habis-habisan dengan kami untuk menemukan cara mengubah reaktor-reaktor itu menjadi kurang mematikan. Sementara itu..." Ia mengangkat bahu. Di dalam lift. Commissar Shdanoff bertanya, "Apakah Anda tahu FRA?" Dana memandangnya dan berkata hati-hati, "Ya." "Mereka terlibat juga dalam hal ini." "Apa?" Lalu Dana pun tersadar. Itulah sebabnya Jenderal Booster terus memperingatkan aku. Mereka sampai ke permukaan dan keluar dari lift. Shdanoff berkata, "Saya punya apartemen di sini. Kita akan pergi ke sana." Ketika mereka berjalan kaki di jalan, Dana melihat seorang wanita berpakaian seperti dirinya, memeluk lengan seorang laki-laki. "Perempuan itu-" Dana mulai. "Sudah kukatakan. Orang-orang tertentu diizinkan membawa pelacur di siang hari. Tetapi pada malam hari pelacur-pelacur itu harus kembali ke tempat khusus yang dijaga ketat. Mereka tidak boleh tahu apa yang terjadi di bawah tanah." Sewaktu menyusuri jalan. Dana melihat etalase sebagian besar toko-toko itu kosong. Kemewahan sudah lenyap. Pemerintah tidak lagi memiliki uang untuk membayar para ilmuwan dan teknisi yang bekerja di sini. Sudah berbulan-bulan mereka tidak digaji. Dana memandang sebuah gedung tinggi di sudut dan melihat ada instrumen di atasnya. "Apa itu?" Dana bertanya. "Geiger counter, alat untuk memperingatkan apabila ada yang tidak beres dengan reaktor." Mereka berbelok ke jalan kecil yang penuh gedung apartemen. "Apartemen saya ada di sini. Kita harus tinggal di sana beberapa lama supaya tidak ada yang curiga. FSB memeriksa semua orang." "FSB?" "Ya. Dulu namanya KGB. Mereka ganti nama, tetapi cuma itu yang mereka ubah." Apartemen itu luas dan dulunya mewah, tapi kini sudah kusam. Tirai-tirainya koyak, karpetnya aus, dan pelapis perabotnya perlu diganti. Dana duduk, memikirkan apa yang diberitahukan Sasha Shdanoff padanya tentang FRA. Dan Jeff pernah berkata, Badan itu cuma kedok. Fungsi FRA yang sesungguhnya adalah memata-matai berbagai badan intelijen asing. Taylor Winthrop pernah jadi kepala FRA, bekerja dengan Victor Booster. Kusarankan kau menyingkir sejauh-jauhnya dari Jenderal Booster. Dan pertemuannya dengan Booster. Tidak bisakah kalian, para wartawan, membiarkan yang sudah meninggal beristirahat dengan tenang? Saya peringatkan Anda agar menyingkir. Jenderal Victor Booster punya organisasi rahasia berskala raksasa yang bisa melaksanakan pembunuhan-pembunuhan itu. Dan Jack Stone mencoba melindunginya. Hati-hati. Kalau Victor Booster sampai tahu saya bicara dengan Anda... Mata-mata FRA ada di mana-mana, dan mendadak Dana merasa dirinya telanjang. Sasha Shdanoff melihat arloji. "Saatnya untuk pergi. Apakah Anda sudah tahu bagaimana cara mengeluarkan saya dari negeri ini?" "Ya," kata Dana perlahan-lahan. "Saya kira saya tahu bagaimana mengaturnya. Saya butuh waktu sedikit." Ketika pesawat terbang itu mendarat kembali di Moskow, sudah ada dua mobil yang menunggu. Shdanoff mengangsurkan secarik kertas pada Dana. "Saya tinggal bersama teman di Apartemen Chiaka. Tak seorang pun tahu saya di sana. Tempat itulah yang disebut sebagai 'rumah aman'. Ini alamatnya. Saya tidak bisa kembali ke tempat saya sendiri. Datanglah ke sini pukul delapan malam ini. Saya harus tahu rencana Anda." Dana mengangguk. "Baiklah. Saya harus menelepon seseorang." Ketika Dana kembali ke lobi Soyu/ Hotel, perempuan di belakang meja itu menatapnya. Tak bisa kusalahkan, pikir Dana, aku harus menanggalkan pakaian yang mengerikan ini. Di dalam kamarnya. Dana ganti memakai pakaiannya sendiri sebelum menelepon. Ia berdoa ketika telepon di ujung seberang terus berdering. Semoga ada di tempat. Semoga ada di tempat. Dana mendengar suara Cesar. "Rumah keluarga Hudson." "Cesar, apakah Mr. Hudson ada di rumah?" Dana menahan napas. "Miss Evans! Senang mendengar Anda. Ya, Mr. Hudson ada di sini. Tunggu sebentar." Dana merasa tubuhnya gemetar karena lega. Kalau ada yang sanggup membantunya membawa Sasha Shdanoff ke Amerika Serikat, maka Roger Hudson-lah orang yang mampu melakukannya. Sesaat kemudian suaranya terdengar di telepon. "Dana?" "Roger, oh, terima kasih Tuhan, saya akhirnya bisa menghubungi Anda!" "Ada apa? Kau baik-baik saja? Di mana kau?" "Saya di Moskow. Saya berhasil menemukan mengapa Taylor Winthrop dan keluarganya dibunuh." "Apa? Ya Tuhan. Bagaimana kau-" "Akan saya ceritakan begitu kita bertemu. Roger, saya merasa sangat tidak enak harus merepotkan Anda lagi, tapi saya punya masalah. Ada seorang pejabat penting Rusia yang ingin kabur ke Amerika. Namanya Sasha Shdanoff. Hidupnya di sini dalam bahaya. Ia tahu semua penjelasan atas apa yang terjadi. Kita harus mengeluarkannya, dan secepatnya! Bisakah Anda membantu?" "Dana, tak satu pun di antara kita seharusnya terlibat dalam masalah seperti ini. Kita bisa sama-sama mengalami kesulitan." "Kita harus mengambil risiko itu. Kita tidak punya pilihan. Ini terlalu penting. Ini harus dilaksanakan." "Aku tidak menyukainya, Dana." "Maaf saya terpaksa menyeret Anda dalam masalah ini, tapi saya tidak punya siapa-siapa lagi untuk dimintai tolong." "Aduh, aku-" Ia berhenti. "Baiklah. Langkah terbaik saat ini adalah membawanya ke kedutaan Amerika. Ia akan aman di sana sampai kita bisa menyusun rencana untuk membawanya ke Amerika Serikat.". "Ia tidak mau pergi ke kedutaan Amerika. Ia tidak mempercayai mereka." "Tidak ada cara lain. Aku akan menelepon duta besar di sana dengan saluran yang aman dan memintanya agar memberikan perlindungan. Di mana Shdanoff sekarang?" "Ia menunggu saya di Apartemen Chiaka. Ia tinggal bersama teman. Saya akan pergi ke sana untuk menemuinya." "Baiklah. Dana, sesudah kau menjemputnya, pergilah langsung ke kedutaan Amerika. Jangan mampir ke mana-mana." Dana merasakan luapan kelegaan. "Terima kasih, Roger. Terima kasih banyak!" "Berhati-hatilah, Dana." "Ya." "Kita bicara lagi nanti." Terima kasih, Roger. Terima kasih banyak! Berhati-hatilah, Dana. Ya. Kita bicara lagi nanti. Rekaman selesai. Pukul 19.30, Dana menyelinap keluar dari pintu pegawai Soyuz Hotel. Ia berjalan di gang, diterpa angin sedingin es. Ia merapatkan mantelnya, tetapi hawa dingin itu berada dalam tulangnya. Ia berjalan sejauh dua blok, memastikan dirinya tidak dikuntit. Di sudut jalan pertama yang sibuk, ia memanggil taksi dan memberi si sopir alamat yang tadi diberitahukan Sasha Shdanoff padanya. Lima belas menit kemudian, taksi itu berhenti di depan gedung apartemen yang tak mencolok. "Saya tunggu?" si sopir bertanya. "Tidak." Commissar Shdanoff mungkin punya mobil. Dana mengambil beberapa dolar dari dompet, mengangsurkannya, dan si sopir mendengus serta mengambil semuanya. Dana menyaksikannya pergi, dan masuk ke gedung tersebut. Lorongnya kosong. Ia melihat kertas di tangannya, apartemen 2BE. Ia pergi ke tangga yang kumuh dan naik ke lantai dua. Tidak ada seorang pun di sana. Lorong panjang terbentang di depannya. Dana mulai menyusurinya perlahan-lahan, mengamati nomor-nomor pada pintu. 5BE... 4BE... 3BE... Pintu apartemen 2BE terbuka lebar. Tubuh Dana menegang. Dengan hati-hati ia mendorong pintu itu sehingga terbuka lebih lebar dan melangkah ke dalam. Apartemen itu gelap gulita. "Commissar...?" Ia menunggu. Tidak ada jawaban. "Commissar Shdanoff?" Kesunyian mencekam. Ada kamar tidur di depan dan Dana bergerak ke sana. "Commissar Shdanoff..." Ketika memasuki kamar tidur yang gelap itu, Dana tersandung sesuatu dan jatuh ke lantai. Ia menimpa sesuatu yang lunak dan basah. Dengan perasaan mual, Dana cepat-cepat berdiri. Ia meraba-raba dinding hingga menemukan tombol lampu. Ia menekannya, dan ruangan itu bermandikan cahaya. Tangannya berlumuran darah. Di lantai tergeletak benda yang tadi menyangkut kakinya, mayat Sasha Shdanoff. Pria itu telentang, dadanya bersimbah darah, lehernya digorok sampai nyaris putus. Dana menjerit. Sewaktu berbuat demikian, ia melihat ke ranjang dan melihat tubuh seorang wanita setengah baya yang berlumuran darah. Kepalanya terbungkus kantong plastik. Dana merasa bulu kuduknya merinding. Ia berlari histeris menuruni tangga gedung apartemen. Laki-laki itu berdiri di depan jendela apartemen di seberang jalan, memasang magasin berisi tiga puluh peluru pada senapan AR-7 yang dilengkapi peredam suara. Ia memakai teleskop berkekuatan 3-6 yang akurat hingga jarak enam puluh meter. Ia bergerak tenang dan mantap selayaknya seorang profesional. Ini pekerjaan gampang. Perempuan itu bisa kapan saja keluar dari gedung seberang. Ia tersenyum membayangkan bagaimana wanita itu panik ketika menemukan dua mayat penuh darah Kini tiba gilirannya. Pintu gedung apartemen seberang membuka, dan dengan hati-hati laki-laki itu menaikkan senapan ke pundaknya. Dari teleskop itu, ia melihat wajah Dana saat wanita itu berlari ke jalan, dengan panik melihat ke segala arah, mencoba memutuskan ke arah mana harus pergi. Ia membidik dengan hati-hati untuk memastikan Dana berada tepat di tengah teleskop, dan menekan pelan pelatuk. Persis pada saat itu, sebuah bus berhenti di depan gedung, dan hujan peluru menghantam bagian atas bus dan menghancurkan sebagian atapnya. Si penembak gelap melihat ke bawah, tak percaya. Beberapa peluru mental ke dinding bata gedung, tetapi sasaran tidak terluka. Orang-orang membanjir keluar dari bus sambil menjerit-jerit. Si penembak tahu ia harus menyingkir. Perempuan itu berlari di jalan. Tidak perlu khawatir. Yang lain akan menanganinya. Jalanan berlapis es dan angin menderu, tetapi Dana tidak menyadarinya. Ia sangat panik. Dua blok kemudian ia sampai di sebuah hotel dan masuk ke lobinya. "Telepon?" ia bertanya pada pegawai di belakang meja. Petugas hotel itu melihat tangannya yang berlumuran darah, dan mundur. "Telepon!" Dana nyaris berteriak. Dengan gugup si petugas hotel menunjuk bilik telepon di sudut lobi. Dana bergegas ke sana Dari dompetnya ia mengeluarkan sehelai kartu telepon dan, dengan jari gemetar, menghubungi operator. "Saya mau menelepon ke Amerika." Tangannya gemetar. Dengan gigi bergemeletuk, ia memberitahukan nomor kartu teleponnya dan nomor Roger Hudson, lalu menunggu. Sesudah beberapa saat yang serasa seperti berabad-abad, Dana mendengar suara Cesar. "Rumah keluarga Hudson." "Cesar! Saya perlu bicara dengan Mr. Hudson." Suaranya tertahan. "Miss Evans?" "Cepat, Cesar, cepat!" Sesaat kemudian Dana mendengar suara Roger. "Dana?" "Roger!" Air mata mengalir di wajah Dana. "Ia-ia tewas. Mereka mem-membunuhnya serta temannya." "Apa? Ya Tuhan, Dana. Aku tidak tahu apa- apakah kau terluka?" "Tidak... tetapi mereka mencoba membunuh saya." "Sekarang, dengarkan baik-baik. Ada pesawat Air France yang akan berangkat ke Washington tengah malam nanti. Aku akan memesankan tempat untukmu. Pastikan kau tidak dibuntuti sewaktu pergi ke bandara. Jangan naik taksi ke sana. Pergilah langsung ke Hotel Metropol. Hotel itu punya bus bandara yang berangkat secara teratur. Naiklah salah satu di antaranya. Berbaurlah dengan orang banyak. Aku akan menunggumu di Washington begitu kau tiba. Demi Tuhan, jaga dirimu baik-baik!" "Ya, Roger. Ter-terima kasih." Dana menutup telepon. Ia berdiri kaku sejenak, tak mampu bergerak, penuh kengerian. Ia tidak bisa menyingkirkan bayangan mayat Shdanoff dan temannya yang penuh darah itu dari benaknya. Ia menarik napas dalam dan melangkah keluar dari bilik telepon, melewati pegawai hotel yang curiga, keluar dalam udara malam yang dingin membeku. Sebuah taksi menepi di sampingnya, dan si sopir mengucapkan sesuatu dalam bahasa Rusia. "Nyet," kata Dana. Ia bergegas menyusuri jalan, ia harus pulang dulu ke hotelnya. Begitu Roger meletakkan telepon, ia mendengar Pamela masuk dari pintu depan. "Dana sudah dua kali menelepon dari Moskow. Ia sudah tahu mengapa keluarga Winthrop terbunuh. Pamela berkata, "Kalau begitu kita harus segera menanganinya." "Aku sudah mencoba. Kita telah mengirim penembak gelap, tapi ada yang tidak beres." Pamela memandangnya dengan tatapan mencemooh. "Kau tolol. Telepon lagi mereka. Dan, Roger..." "Ya?" "Katakan pada mereka agar membuatnya kelihatan seperti kecelakaan." DUA PULUH TIGA DI Raven Hill, papan merah bertuliskan DILARANG MASUK dan pagar besi tinggi memisahkan dunia luar dari beberapa ekar hutan tempat markas besar FRA di Inggris. Di balik markas yang dijaga ketat itu, serangkaian parabola pelacak satelit memantau komunikasi internasional melalui kabel dan gelombang mikro yang melewati seluruh penjuru Inggris. Di dalam rumah beton di tengah kompleks itu, empat laki-laki sedang melihat sebuah layar lebar. "Sorot dia, Scotty." Mereka melihat gambar televisi itu beralih dari sebuah flat di Brighton, bersamaan dengan bergesernya satelit. Sesaat kemudian gambar Dana muncul di layar lebar itu saat ia memasuki kamarnya di Soyuz Hotel. "Ia sudah kembali." Mereka mengamati Dana bergegas mencuci darah dari tangannya dan mulai menanggalkan pakaian. "Hei, ini dia lagi." Salah satu laki-laki itu menyeringai. Mereka menonton Dana berganti pakaian. "Aduh, aku ingin sekali menikmati itu." Seorang laki-laki lain bergegas masuk ruangan. "Tidak mungkin, kecuali kau mengidap necrophilia. Charlie." "Apa maksudmu?" "Ia akan mengalami kecelakaan fatal." Dana selesai berpakaian dan melihat arlojinya. Masih ada waktu untuk naik bis Metropol menuju bandara. Dengan perasaan cemas yang kian meningkat, ia bergegas turun ke lobi. Perempuan gemuk itu tidak kelihatan. Dana melangkah ke jalanan. Udara terasa lebih dingin lagi. Tanpa kenal lelah, angin terus menderu. Sebuah taksi berhenti di depan Dana. "Taksi?" Jangan naik taksi ke sana. Pergilah langsung ke Hotel Metropol. Hotel itu punya bus bandara yang berangkat secara teratur. "Nyet." Dana berjalan di sepanjang jalan yang beku. Rombongan orang mendesaknya ketika melewatinya, bergegas menuju kehangatan rumah atau kantor mereka. Ketika sampai di sudut yang ramai, menunggu untuk menyeberang, Dana tiba-tiba merasakan dorongan keras dari belakang. Ia terlempar ke tengah jalan, di depan truk yang mendatanginya. Ia tergelincir sekeping es dan jatuh telentang, melihat ke atas dengan ngeri ketika truk besar itu melaju cepat ke arahnya. Pada detik terakhir, sopir yang sudah pucat pasi itu berhasil membanting setir sehingga truk lewat tepat di atas Dana. Beberapa saat ia berbaring dalam kegelapan, telinganya dipenuhi deru mesin dan gemerincing rantai yang bergoyang-goyang memukul roda-roda besar tersebut. Tiba-tiba ia bisa melihat langit kembali. Truk itu sudah pergi. Dana duduk gemetaran. Orang-orang membantunya berdiri. Ia memandang berkeliling, mencari orang yang tadi mendorongnya, tetapi pelakunya bisa siapa saja di antara sekian banyak orang. Dana menarik napas dalam beberapa kali dan mencoba menenangkan diri. Orang-orang di sekelilingnya berseru-seru kepadanya dalam bahasa Rusia. Orang banyak itu mulai merapat mengelilingi Dana, membuatnya panik. "Hotel Metropol?" tanya Dana penuh harap. Sekelompok remaja mendekatinya. "Oke. Kami antar." Lobi Hotel Metropol hangat dan nyaman, dipenuhi turis dan pebisnis. Berbaurlah dengan orang banyak. Aku akan menunggumu di Washington begitu kau tiba. Dana bertanya pada pegawai hotel, "Pukul berapa bus berikut yang berangkat ke bandara?" "Tiga puluh menit lagi, gaspazha." "Terima kasih." Ia duduk di kursi, terengah-engah, mencoba menghilangkan kengerian luar biasa itu dari benaknya. Ia sangat ketakutan. Siapa yang mencoba membunuhnya dan mengapa? Dan apakah Kemal aman? Pegawai hotel tadi mendatangi Dana. "Bus bandara sudah datang." Dana adalah orang pertama yang menaiki bus itu. Ia memilih tempat duduk di belakang dan mengamati wajah para penumpang. Ada turis-turis dari berbagai negara: Eropa, Asia, Afrika, dan beberapa orang Amerika. Seorang laki-laki di seberang gang menatapnya. ia tampak familier, pikir Dana. Apakah ia membuntuti aku? Ia mendapati dirinya terengah-engah. Satu jam kemudian, ketika bus berhenti di bandara Sheremetyevo II. Dana adalah penumpang yang terakhir turun. Ia cepat-cepat masuk terminal dan menuju meja Air France. "Bisa saya bantu?" "Apakah Anda ada reservasi untuk Dana Evans?" Dana menahan napas. Katakan ya, katakan ya, katakan ya... Petugas itu memeriksa sejumlah formulir. "Ya. Ini tiket Anda. Sudah dibayar." Diberkatilah Roger. "Terima kasih." "Pesawat akan berangkat sesuai jadwal. Penerbangan dua-dua puluh. Berangkat satu jam sepuluh menit lagi." "Apakah di sini ada ruang duduk"-Dana nyaris mengatakan, yang berisi banyak orang-"di mana saya bisa beristirahat?" "Di ujung koridor ini, lalu ke sebelah kanan." 'Terima kasih." Ruang duduk itu penuh orang. Tak ada yang tampak luar biasa atau berbahaya di sana. Dana duduk. Beberapa saat lagi, ia akan terbang menuju Amerika dan situasi yang aman. "Penumpang Air France penerbangan dua-dua puluh dengan tujuan Washington, D.C. diharap sekarang memasuki pesawat di pintu tiga. Para penumpang dipersilakan menyiapkan paspor dan boarding pass" Dana berdiri dan beranjak ke pintu tiga. Seorang laki-laki yang sedari tadi mengawasinya dari konter Aeroflot berbicara ke telepon genggamnya. "Subjek menuju pintu boarding." Roger Hudson mengangkat telepon dan menghubungi sebuah nomor. "Ia ada di dalam Air France penerbangan dua-dua puluh. Aku ingin ia disambut di bandara." "Anda ingin ia diapakan. Sir?" "Kusarankan tabrak lari." Mereka terbang mulus pada ketinggian 13.500 meter di langit yang tak berawan. Tidak ada kursi kosong di pesawat itu. Seorang warga Amerika duduk di samping Dana. "Gregory Price," katanya. "Saya bekerja di bidang perkayuan." Ia berusia empat puluhan, dengan wajah panjang dan tegas seperti rajawali, mata kelabu cemerlang, dan kumis. "Negara yang kita tinggalkan ini luar biasa, heh?" Satu-satunya tujuan pembangunan Krasno-yarsk-26 adalah untuk membuat plutonium, bahan utama untuk membuat senjata nuklir. "Orang Rusia memang berbeda dengan kita, tapi sesudah beberapa lama Anda akan terbiasa dengan mereka." Seratus ribu ilmuwan dan teknisi hidup dan bekerja di sini. "Mereka memang tidak bisa masak makanan Prancis. Kalau ke sini untuk bisnis, saya selalu membawa makanan sendiri." Mereka tidak boleh pergi keluar. Mereka tidak boleh dikunjungi. Mereka harus sepenuhnya memutuskan hubungan dengan dunia luar. "Apakah Anda ke Rusia untuk bisnis?" Dana memaksa dirinya kembali ke masa sekarang. "Liburan." Laki-laki itu memandangnya terkejut. "Ini bukan saat yang tepat untuk berlibur di Rusia." Ketika pramugari datang sambil mendorong ke-, reta makanan, Dana sudah hendak menolak, lalu sadar bahwa ia sangat lapar. Ia tidak ingat kapan terakhir kali ia makan. Gregory Price berkata. "Kalau Anda mau bourbon, saya punya, little lady." "Tidak, terima kasih." Ia melihat arloji. Beberapa jam lagi mereka akan mendarat. Ketika Air France penerbangan 220 mendarat di bandara Dulles, empat laki-laki mengawasi para penumpang keluar dari pesawat. Mereka berdiri menunggu, penuh keyakinan, tahu Dana tidak mungkin bisa lolos. Salah seorang di antara mereka berkata, "Kau sudah menyiapkan jarum suntiknya?" "Ya." "Bawa ia ke Rock Creek Park. Bos ingin tabrak lari." "Baik." Pandangan mereka beralih kembali ke pintu. Para penumpang beriring keluar, masih mengenakan pakaian wol tebal, jaket, penutup telinga, syal, dan sarung tangan. Akhirnya aliran penumpang berhenti. Salah satu laki-laki itu mengernyit. "Aku akan pergi untuk menyelidiki apa yang menundanya." Ia memasuki lorong menuju ke dalam pesawat. Seorang tukang pembersih sedang sibuk bekerja. Laki-laki tadi berjalan di gang. Tidak tampak seorang penumpang pun lagi. Ia membuka pintu-pintu toilet. Semua kosong, ia bergegas ke depan dan bertanya pada seorang pramugari yang hendak pergi, "Di mana Dana Evans duduk?" Pramugari itu tampak terkejut. "Dana Evans? Anda maksud pembaca berita di TV itu?" "Ya." "Ia tidak ada dalam penerbangan ini. Coba kalau ada. Saya ingin sekali bertemu dengannya." Gregory Price berkata pada Dana, "Tahukah Anda apa yang mengasyikkan dalam bisnis perkayuan, little lady? Produk Anda tumbuh sendiri. Ya, Anda cuma duduk dan menyaksikan Alam menghasilkan uang untuk Anda." Terdengar suara dari pengeras suara. "Beberapa menit lagi kita akan mendarat di Bandara O'Hare Chicago. Silakan pasang sabuk pengaman dan tegakkan sandaran kursi Anda." Perempuan yang duduk di seberang gang berkata sinis, "Yeah, tegakkan sandaran kursimu. Aku tidak ingin bersandar saat mati." Kata "mati" itu membuat Dana terlonjak. Ia bisa mendengar peluru mendesing ke dinding gedung apartemen dan ia dapat merasakan tangan yang kuat mendorongnya ke arah truk yang melaju mendekat. Ia bergidik ketika memikirkan dua kejadian yang nyaris merenggut nyawanya itu. Beberapa jam sebelumnya, ketika masih berada di ruang tunggu bandara Sheremetyevo II, Dana mengatakan pada diri sendiri bahwa segalanya akan beres. Orang baik pasti akan menang. Tetapi ada yang mengusik pikirannya sehubungan dengan percakapannya dengan seseorang. Orang itu mengatakan sesuatu yang meresahkan, tetapi ia mengabaikannya begitu saja. Apakah itu percakapan dengan Matt? Commissar Shdanoff? Tim Drew? Makin Dana mencoba mengingat, makin jauh saja hal itu darinya. Pramugari mengumumkan dari pengeras suara. "Air France penerbangan 220 siap untuk berangkat ke Washington, D.C. Harap siapkan paspor dan boarding pass Anda." Dana bangkit dan beranjak ke pintu. Ketika hendak memperlihatkan tiket pada penjaga, ia tiba-tiba teringat apa yang mengusik hatinya. Percakapan terakhirnya dengan Sasha Shdanoff. Tak seorang pun tahu saya di sana. Tempat itulah yang disebut sebagai 'rumah aman'. Hanya kepada satu orang ia mengungkapkan tempat persembunyian Sasha Shdanoff, dan orang itu adalah Roger Hudson. Dan segera sesudah itu, Shdanoff terbunuh. Sejak dari awal, Roger sudah samar-samar menyiratkan adanya hubungan gelap antara Taylor Winthrop dan Rusia. Ketika saya ke Moskow, memang ada desas-desus Winthrop terlibat suatu transaksi pribadi dengan orang-orang Rusia... Tak lama sebelum Taylor Winthrop menjadi duta besar untuk Rusia, ia memberttahu teman-teman dekatnya ia betul-betul sudah mengundurkan diri dari kehidupan publik... Winthrop-lah yang mendesak Presiden agar mengangkatnya sebagai duta besar... Ia memberitahukan semua tindakannya pada Roger dan Pamela. Selama ini mereka memata-matainya. Dan hanya ada satu kemungkinan alasannya: Roger Hudson adalah mitra misterius Taylor Winthrop. Ketika pesawat American Airlines itu mendarat di bandara O'Hare di Chicago, Dana mengintip ke luar jendela, mencari hal-hal yang mencurigakan. Tidak ada apa-apa Tempat itu tenang. Dana menarik napas dalam dan mulai turun. Sarafnya tegang. Ia berusaha agar dikelilingi sebanyak mungkin penumpang saat berjalan memasuki terminal, selalu bergerak bersama rombongan yang ribut berceloteh itu. Ia harus menelepon. Selama penerbangan, muncul pikiran yang begitu mengerikan sehingga bahaya yang mengancam dirinya sendiri terasa tidak penting lagi. Kemal. Bagaimana kalau anak itu terancam bahaya gara-gara dirinya? Tak sanggup Dana membayangkan jika terjadi sesuatu pada Kemal. Ia harus mencari orang untuk melindungi Kemal. Ia langsung teringat pada Jack Stone. Pria itu bergabung dalam organisasi yang cukup kuat untuk memberinya perlindungan yang ia dan Kemal butuhkan, dan ia yakin Jack Stone bisa mengusahakannya. Sejak awal pria itu bersikap simpatik padanya. Jack Stone pasti bukan salah satu di antara mereka. Saya berusaha untuk tidak terlibat. Dengan begitu saya dapat membantu Anda, kalau Anda tahu apa xang saya maksud. Dana berjalan ke sudut terminal yang sepi, merogoh tas, dan mengeluarkan nomor telepon pribadi yang pernah diberikan Jack Stone padanya, fa menghubungi nomor itu. Jack Stone segera menjawab. "Jack Stone." "Ini Dana Evans. Saya punya masalah. Saya butuh bantuan." "Ada apa?" Dana bisa mendengar keprihatinan dalam suaranya. "Saya tidak bisa menceritakan semuanya sekarang, tetapi beberapa orang memburu saya, mencoba membunuh saya." "Siapa?" "Entahlah. Tetapi Kemal, anak saya, yang saya khawatirkan. Bisakah Anda membantu saya mencarikan orang untuk melindunginya?" Ia langsung menanggapinya. "Akan saya urus. Apakah ia ada di rumah sekarang?" "Ya." "Saya akan menyuruh seseorang ke sana. Bagaimana dengan Anda sendiri? Anda mengatakan ada yang mencoba membunuh Anda?" "Ya. Mereka sudah-mereka sudah dua kali mencoba." Mereka terdiam sesaat. "Akan saya lihat apa yang dapat saya lakukan. Di mana Anda?" "Saya di American Airlines di bandara O'Hare. dan saya tidak tahu kapan saya bisa keluar dari sini." 'Tetaplah di sana. Saya akan mengutus seseorang ke sana untuk melindungi Anda. Sementara itu, Anda tidak usah mengkhawatirkan Kemal." Dana merasa amat lega. "Terima kasih. Terima kasih." Ia menutup telepon. Di kantornya di FRA, Jack Stone meletakkan gagang telepon. Ia menekan tombol interkom. "Sasaran baru saja menelepon. Ia ada di terminal American Airlines di O'Hare. Bereskan dia." "Ya, Sir." Jack Stone berpaling pada seorang ajudan. "Kapan Jenderal Booster kembali dari Timur Jauh?" "Ia akan kembali siang ini." "Nah, kalau begitu ayo kita bertindak sebelum ia tahu apa yang terjadi." DUA PULUH EMPAT Ponsel Dana berdering. "Jeff!" "Halo, Sayang." Dan suaranya bagai selimut yang membungkusnya, menghangatkannya. "Oh, Jeff!" Dana gemetar. "Bagaimana kabarmu?" Bagaimana kabarku? Aku harus kabur untuk menyelamatkan nyawaku. Namun ia tidak bisa mengatakan itu padanya. Tidak mungkin Jeff bisa menolongnya, tidak sekarang. Sekarang sudah terlambat. "Aku-aku baik-baik saja. Sayang." "Ada di mana kau sekarang, penjelajah dunia?" "Aku di Chicago. Aku akan kembali ke Washington besok." Kapan kau akan kembali bersamaku? "Bagaimana-bagaimana Rachel?" "Tampaknya ia baik-baik saja." "Aku merindukanmu." Pintu kamar tidur Rachel terbuka, dan ia melangkah ke ruang duduk. Ia sudah hendak memanggil Jeff, tetapi membatalkan niatnya ketika melihat Jeff sedang berbicara di telepon. "Aku merindukanmu lebih dari yang bisa kaubayangkan," kata Jeff. "Oh, aku sangat mencintaimu." Seorang laki-laki di dekat Dana tampak seperti memandanginya. Jantung Dana mulai berdebar-debar. "Sayang, kalau-kalau sampai terjadi sesuatu padaku... ingatlah selalu bahwa aku-" Jeff langsung waspada. "Apa maksudmu, kalau sampai terjadi sesuatu padamu?" "Tidak apa-apa. Aku-aku tidak bisa menjelaskannya sekarang, tapi-aku yakin semuanya akan baik-baik saja." "Dana, aku tidak bisa membiarkan apa pun terjadi padamu! Aku membutuhkanmu. Aku mencintaimu lebih dari siapa pun yang pernah kucintai selama hidupku. Aku tidak sanggup kehilangan diri-mu. Rachel mendengarkan beberapa lama lagi, lalu diam-diam kembali ke kamar tidur dan menutup pintunya. Dana dan Jeff berbicara sepuluh menit lagi. Ketika akhirnya menutup telepon. Dana merasa lebih lega. Aku senang aku sempat mengucapkan selamat tinggal. Ia mengangkat muka dan melihat laki-laki itu masih menatapnya. Tidak mungkin anak buah Jack Stone bisa tiba secepat ini. Aku harus keluar dari sini. Ia merasakan kepanikan yang makin memuncak. Tetangga sebelah Dana mengetuk pintu apartemen Dana. Mrs. Daley membukakannya. "Halo." "Usahakan Kemal tetap di rumah. Kita akan membutuhkannya." "Beres." Mrs. Daley menutup pintu dan memanggil Kemal. "Buburmu sudah siap, Sayang." Mrs. Daley pergi ke dapur, menurunkan panci berisi bubur oatmeal dari kompor, dan menarik laci lemari paling bawah yang penuh bungkusan obat berlabel BuSpar. Di dasar laci itu terdapat puluhan bungkus kosong obat tersebut. Mrs. Daley membuka dua bungkus baru, ragu-ragu sebentar, lalu menambahkan bungkus ketiga, ia mengaduk bubuk itu dengan bubur oatmeal, menuangkan gula ke atasnya, dan membawa bubur itu ke ruang makan. Kemal keluar dari ruang belajar. "Ini, Sayang. Oatmeal panas dan lezat." "Aku tidak begitu lapar." "Kau harus makan, Kemal!" Suaranya begitu tajam sehingga membuat Kemal takut. "Kita tidak ingin mengecewakan Miss Dana, bukan?" "Ya." "Bagus. Aku yakin kau bisa menghabiskan semuanya demi Miss Dana." Kemal duduk dan mulai makan. Ia akan tidur sekitar enam jam, Mrs. Daley menghitung-hitung. Lalu akan kulihat mereka ingin aku melakukan apa padanya. *** Dana berjalan cepat di bandara sampai ia melewati toko pakaian besar. Aku perlu menyembunyikan identitasku. Ia masuk dan melihat-lihat. Segalanya tampak normal. Para pelanggan sibuk membeli barang dan pelayan toko melayani mereka. Lalu Dana melihat ke luar pintu toko, dan bulu kuduknya meremang. Dua laki-laki dengan tampang mengancam berdiri di kedua sisi pintu. Salah satu di antara mereka memegang walkie-talkie. Bagaimana mereka dapat menemukannya di Chicago? Dana mencoba mengendalikan kepanikannya. Ia berpaling pada pelayan toko. "Apakah ada jalan lain untuk keluar dari sini?" Pelayan itu menggeleng. "Maaf, Miss. Pintu itu hanya untuk staf." Kerongkongan Dana terasa kering. Ia memandang dua laki-laki di luar itu lagi. Aku harus meloloskan diri, pikir Dana putus asa. Pasti ada cara. Tiba-tiba ia menyambar sebuah gaun dari rak dan melangkah keluar. "Tunggu sebentar!" pelayan toko itu berseru. "Anda tidak bisa-" Dana sudah mendekati pintu, dan dua laki-laki itu mulai bergerak ke arahnya. Ketika Dana melangkah melewati pintu, sensor pada gantungan gaun memicu alarm. Satpam toko bergegas keluar. Dua laki-laki itu berpandangan dan melangkah mundur. "Tunggu sebentar, Miss," kata satpam itu. "Anda harus kembali ke dalam toko dengan saya." "Mengapa saya harus kembali?" protes Dana. "Mengapa? Karena mencuri melanggar hukum." Satpam itu memegang lengan Dana dan menariknya kembali ke dalam. Dua laki-laki itu cuma bisa terpaku, frustrasi. Dana tersenyum pada si satpam. "Oke. Saya mengaku. Saya mencuri. Bawalah saya ke penjara." Orang-orang yang berbelanja mulai berhenti untuk melihat apa yang terjadi. Sang manajer buru-buru datang. "Ada masalah?" "Saya menangkap wanita ini mencoba mencuri gaun ini." "Yah, saya khawatir kita harus menelepon pol-" Ia menoleh dan mengenali Dana. '"Ya Tuhan! Ini Duna Evans." Bisik-bisik menyebar di antara kerumunan orang yang makin lama makin banyak. "Itu Dana Evans..." "Kita menontonnya dalam siaran berita setiap malam..." "Apakah kau ingat siarannya dari peperangan...?" Sang manajer berkata, "Maaf, Miss Evans. Jelas telah terjadi kekeliruan " "Tidak, tidak," kata Dana cepat. "Saya memang mencuri." Ia mengangsurkan tangannya. "Anda bisa menangkap saya." Si manajer tersenyum. "Dalam mimpi pun saya tidak akan melakukannya. Anda boleh mengambil gaun itu. Miss Evans, hadiah dari kami. Kami merasa tersanjung Anda menyukainya." Dana menatapnya dengan perasaan tak percaya. "Anda tidak akan menangkap saya?" Senyumnya melebar. "Saya mengusulkan begini. Saya mau menukar gaun itu dengan tanda tangan. Kami penggemar berat Anda." Salah satu di antara wanita-wanita yang berkerumun itu berseru, "Saya juga!" "Boleh saya minta tanda tangan?" Lebih banyak lagi orang yang berdatangan. "Lihat! Itu Dana Evans." "Boleh saya minta tanda tangan Anda, Miss Evans?" "Saya dan suami saya menonton Anda setiap malam ketika Anda dulu berada di Sarajevo." "Anda benar-benar membuat peperangan itu terasa nyata." "Saya ingin tanda tangan juga." Dana hanya dapat terpana, makin lama makin putus asa. Ia melirik ke luar. Dua laki-laki itu masih ada di sana, menunggu. Dana memutar otak. Ia menoleh pada rombongan orang banyak dan tersenyum. "Begini saja. Ayo kita keluar ke udara segar, nanti saya akan memberikan tanda tangan untuk semua orang." Terdengar seruan gembira. Dana mengangsurkan gaun itu pada si manajer. "Ini untuk Anda saja. Terima kasih." Ia melangkah ke arah pintu, diikuti kumpulan penggemarnya. Dua laki-laki di luar itu mundur kebingungan ketika rombongan itu menyerbu mereka. Dana berpaling pada penggemar-penggemarnya. "Siapa yang pertama?" Mereka berdesakan di sekelilingnya, menyodorkan pena dan kertas. Dua laki-laki tersebut berdiri resah. Sambil memberikan tanda tangan, Dana terus bergerak ke arah pintu keluar terminal. Orang-orang itu mengikutinya ke luar. Sebuah taksi menepi, menurunkan seorang penumpang. Dana berpaling pada rombongan itu. "Terima kasih. Saya harus pergi sekarang." Ia melompat ke dalam taksi dan sesaat kemudian taksi itu pun menghilang di antara lalu lintas. Jack Stone berbicara di telepon dengan Roger Hudson. "Mr. Hudson, ia lolos dari kita, tapi-" "Kurang ajar! Aku tidak mau dengar. Aku ingin ia disingkirkan-sekarang." "Jangan khawatir, Sir. Kami sudah mendapatkan pelat nomor taksinya. Ia tidak mungkin pergi jauh." "Jangan kecewakan aku lagi." Roger Hudson membanting gagang telepon Carson Pirie Scott & Company, di jantung Chicago, dipenuhi orang-orang yang berbelanja. Di konter syal, seorang pramuniaga sedang membungkus paket untuk Dana. "Apakah Anda akan membayar tunai atau menggunakan kartu?" "Tunai." Tidak ada gunanya meninggalkan jejak. Dana mengambil bungkusannya dan sudah hampir sampai di pintu keluar ketika ia tiba-tiba berhenti, ketakutan. Dua laki-laki lain yang membawa walkie-talkie berdiri di luar pintu. Dana memandang mereka, mulutnya tiba-tiba terasa kering. Ia berbalik dan bergegas kembali ke konter. Si pramuniaga bertanya, "Ada lainnya. Miss?" "Tidak. Saya-" Dana melihat sekeliling dengan putus asa. "Apakah ada pintu lain untuk keluar dari sini?" "Oh, ya, kami punya beberapa pintu masuk." Percuma saja, pikir Dana. Mereka pasti sudah menjaga semuanya. Kali ini tidak akan ada peluang untuk lolos. Dana melihat seorang wanita pembeli bermantel hijau tua lusuh sedang melihat-lihat syal dalam kotak kaca. Dana mengamatinya sejenak, lalu menghampirinya. "Bagus sekali, bukan?" kata Dana. Perempuan itu tersenyum. "Benar sekali." Kedua laki-laki di luar tersebut mengawasi dua wanita itu bercakap-cakap. Mereka saling pandang dan mengangkat bahu. Mereka sudah menjaga semua pintu keluar. Di dalam toko, Dana berkata. "Saya suka mantel yang Anda pakai. Warnanya cocok sekali dengan kesukaan saya." "Saya rasa barang tua ini sudah usang. Mantel Anda bagus sekali." Dua laki-laki di luar itu mengamati percakapan mereka berlanjut. "Dingin sekali di sini," salah satu di antaranya mengeluh. "Aku ingin ia segera keluar dari sini. supaya kita dapat membereskannya." Rekannya mengangkuk. "Tak mungkin ia bisa-" Ia berhenti bicara waktu melihat kedua wanita di dalam toko itu bertukar mantel. Ia tersenyum lebar. "Aduh, lihat apa yang dilakukannya. Mereka bertukar mantel. Tolol sekali." Dua wanita itu menghilang sesaat di balik rak pakaian. Salah satu laki-laki itu berbicara ke walkie-talkie. "Subjek mengganti mantel merahnya dengan mantel hijau..Tunggu. Ia menuju pintu empat. Jemput ia di sana." Di pintu empat, dua laki-laki sudah menunggu. Sesaat kemudian salah seorang di antara mereka berbicara ke ponselnya. "Kami mendapatkannya. Ambil mobil." Mereka mengawasinya keluar dari pintu menuju udara dingin. Wanita itu merapatkan mantel hijaunya pada tubuhnya dan mulai menyusuri jalan. Mereka mendekati nya. Ketika ia sampai di tikungan dan memanggil taksi, dua laki-laki itu mencengkeram lengannya. "Kau tidak perlu taksi. Kami punya mobil bagus untukmu." Ia terperanjat memandang mereka. "Siapa kalian? Apa maksud kalian?" Salah satu laki-laki itu menatapnya. "Kau bukan Dana Evans!" "Wah, tentu saja bukan." Dua laki-laki itu berpandang-pandangan, melepaskannya, dan bergegas kembali ke toko. Salah satunya menyalakan walkie-talkie. "Salah sasaran. Salah sasaran. Kalian dengar?" Saat yang lain-lain menyerbu masuk toko. Dana sudah menghilang. Ia terperangkap dalam mimpi buruk yang jadi kenyataan, terjebak dalam dunia kejam dengan musuh-musuh tak dikenal yang mencoba membunuhnya. Ia terjerat dalam jaring kengerian, nyaris lumpuh karena ketakutan. Begitu keluar dari taksi. Dana berjalan cepat, berusaha untuk tidak berlari dan menarik perhatian pada dirinya, tak tahu ke mana ia akan pergi. Ia melewati toko bertuliskan PUSAT FANTASI. BAJU-BAJU LUAR BIASA UNTUK SEGALA KESEMPATAN. Terdorong impuls, Dana masuk ke situ. Tempat itu penuh kostum, wig, dan make up. "Bisa saya bantu?" Ya. Telepon polisi. Katakan pada mereka seseorang mencoba membunuhku. "Miss?" "Eh-ya. Saya ingin mencoba wig pirang." "Silakan ke sini." Satu menit kemudian Dana melihat bayangannya yang berambut pirang di cermin. "Hebat ya, pengaruh wig terhadap penampilan Anda" Mudah-mudahan begitu. Di luar toko. Dana memanggil taksi. "Bandara O'Hare." Aku harus menjemput Kemal. Ketika telepon berdering, Rachel mengangkatnya. "Halo... Dr. Young?... Hasil akhir tesnya?" Jeff melihat ketegangan tiba-tiba membayang di wajahnya. "Anda bisa mengatakannya di telepon. Tunggu sebentar." Rachel memandang Jeff, menarik napas dalam, dan membawa telepon itu ke kamar. Jeff dapat mendengar suaranya, samar-samar. "Teruskan, Dokter." Selama tiga menit penuh suasana hening, dan ketika Jeff, yang khawatir, sudah hendak pergi ke kamar, Rachel keluar. Belum pernah Jeff melihat wajahnya demikian berseri-seri. "Berhasil!" Ia hampir kehabisan napas karena gelora perasaannya. "Jeff, aku sembuh. Terapi baru itu berhasil!" Jeff berkata, "Syukur pada Tuhan! Menggembirakan sekali, Rachel." "Ia ingin aku tinggal di sini beberapa minggu lagi, tapi krisisnya sudah lewat." Suaranya penuh kebahagiaan. "Kita akan makan di luar untuk merayakannya," kata Jeff. "Aku akan tinggal denganmu sampai-" "Tidak." Tidak, apa? "Aku tidak membutuhkanmu lagi, Jeff." "Aku tahu, dan aku senang kita-" "Kau tak mengerti. Aku ingin kau pergi." Ia memandang Rachel, kaget. "Kenapa?" "Jeff. Jeff yang baik. Aku tidak ingin melukai perasaanmu, tapi karena sekarang aku sudah sembuh, berarti aku bisa kembali bekerja. Ini hidupku. Ini diriku. Aku akan menelepon dan menanyakan pekerjaan apa yang ada. Aku merasa terperangkap di sini denganmu. Terima kasih kau telah membantuku, Jeff. Aku sangat berterima kasih. Tetapi sudah tiba saatnya untuk mengucapkan selamat tinggal. Aku yakin Dana merindukanmu. Jadi, bagaimana kalau kau pergi saja. Sayang?" Jeff memandangnya sesaat dan mengangguk. "Benar." Rachel mengawasinya masuk ke kamar dan mulai berkemas. Dua puluh menit kemudian, ketika Jeff keluar dengan membawa koper, Rachel sedang berbicara di telepon. "...dan aku sudah kembali ke dunia nyata, Betty. Aku akan bisa kembali bekerja beberapa minggu lagi... Aku tahu. Asyik kan?" Jeff berdiri saja, menunggu untuk mengucapkan selamat berpisah Rachel melambaikan tangan padanya dan kembali berbicara di telepon. "Kuberi-tahu kau apa yang kuinginkan... carikan aku pemotretan di negara tropis yang indah..." Rachel mengawasi Jeff berjalan keluar pintu. Perlahan-lahan, ia membiarkan telepon itu jatuh, ia melangkah ke jendela dan berdiri di sana, menyaksikan satu-satunya laki laki yang pernah dicintainya keluar dari hidupnya. Kata-kata dr. Young masih terngiang di telinganya. "Miss Stevens, saya minta maaf. Saya harus menyampaikan kabar buruk. Pengobatan itu tidak berhasil... Kankernya sudah mengalami metastasi... Sudah menyebar terlalu jauh. Saya khawatir keadaannya sudah terminal... mungkin satu atau dua bulan lagi..." Rachel teringat sutradara Hollywood Roderick Marshall yang pernah berkata padanya, "Saya senang Anda datang. Saya akan membuat Anda menjadi bintang besar." Dan ketika gelombang rasa sakit tak tertahankan itu kembali melanda tubuh Rachel, ia berpikir: Roderick Marshall pasti akan bangga pada kehebatan aktingku. Ketika pesawat Dana mendarat, bandara Dulles di Washington dipenuhi penumpang yang menunggu bawaan mereka. Dana melewati tempat pengambilan bagasi menuju jalanan dan naik salah satu taksi yang menunggu. Tidak ada orang-orang bertampang mencurigakan di sana, tetapi sarafnya tetap tegang. Dana mengeluarkan tas dan memandang cermin kecilnya untuk memastikan. Wig pirang itu memberinya penampilan yang sama sekali berbeda. Untuk sementara cukup memadai, pikir Dana. Aku harus menjumpai Kemal. Kemal membuka mata perlahan-lahan, terjaga karena suara-suara yang menembus pintu ruang belajar. Ia merasa pusing. "Bocah itu masih tidur," ia dengar Mrs, Daley berkata. "Aku membiusnya." Seorang laki-laki menanggapi, "Kita harus membangunkannya." Suara laki-laki kedua berkata, "Mungkin lebih baik kita membawanya ke sana saat ia tidur." "Kalian bisa melakukannya di sini." kata Mrs. Daley. "Dan setelah itu membuang mayatnya." Kemal mendadak terjaga seratus persen. "Sementara ini kita harus membiarkannya tetap hidup. Mereka akan memakainya sebagai umpan untuk menangkap Evans." Kemal duduk, mendengarkan, jantungnya berdebar-debar. "Di mana dia?" "Kita tidak tahu. Tapi kita tahu ia akan ke sini untuk menjemput bocah itu." Kemal melompat turun dari ranjang. Ia berdiri sesaat, kaku ketakutan. Perempuan yang dipercayainya itu ingin membunuhnya. Pizda! Tidak akan segampang itu. Kemal bersumpah dalam hati. Mereka tidak bisa membunuhku di Sarajevo. Mereka tidak akan bisa membunuhku di sini. Dengan panik ia mulai berpakaian. Ketika ia meraih lengan palsunya di meja, benda itu terlepas dan jatuh ke lantai dengan suara yang bagi Kemal terdengar seperti geledek, ia terpaku. Laki-laki di luar itu masih berbicara. Mereka tidak mendengarnya. Kemal memasang lengannya dan cepat-cepat menyelesaikan berpakaian. Ia membuka jendela dan diterpa angin dingin. Mantelnya berada di ruangan lain. Kemal keluar dari jendela dengan hanya memakai jaket tipis, giginya bergemeletuk. Di sana ada tangga darurat sampai ke tanah, dan ia memanjatnya, berhati-hati agar tidak terlihat dari jendela ruang duduk. Ketika Kemal menjejak tanah, ia melihat arloji. Pukul 14.45. Entah bagaimana ia ternyata tidur sampai setengah hari. Ia mulai berlari. "Ayo kita ikat saja bocah itu, sekadar untuk berjaga-jaga." Salah satu dari laki-laki itu membuka pintu ruang belajar dan terperanjat waktu melihat sekeliling ruangan. "Hei, ia hilang!" Dua laki-laki itu beserta Mrs. Daley bergegas ke jendela yang terbuka, tepat pada waktunya untuk melihat Kemal berlari di jalan. "Tangkap dia!" Kemal berlari seolah dalam mimpi buruk; kakinya makin lama makin lemas dan tak bertenaga. Setiap tarikan napas bagai tikaman pisau di dada. Kalau aku bisa sampai ke sekolah sebelum mereka menutup gerbang pada pukul tiga, pikirnya, aku akan aman. Mereka tidak akan berani menyakiti aku di depan anak-anak lain. Di depannya lampu lalu lintas menyala merah. Kemal tak menghiraukannya dan melesat menyeberangi jalan raya, berkelit menghindari mobil-mobil, tak memedulikan bunyi klakson mobil-mobil yang marah dan decit rem. Ia sampai di seberang jalan dan terus berlari. Miss Kelly akan menelepon polisi, dan mereka akan melindungi Dana. Kemal mulai kehabisan napas dan dadanya terasa sesak. Ia kembali melihat arlojinya: pukul 14.55. Ia mengangkat muka. Sekolah ada di depan. Tinggal dua blok lagi. Aku selamat, pikir Kemal. Sekolah belum bubar. Satu menit kemudian ia sampai di gerbang depan. Ia berhenti di depannya dan menatapnya, tak percaya. Gerbang itu terkunci. Sekonyong-konyong, dari belakang, Kemal merasakan cengkeraman kuat pada pundaknya. "Ini hari Sabtu, tolol." "Berhenti di sini," kata Dana. Taksi itu masih dua blok dari apartemennya. Dana menyaksikan taksi itu pergi. Ia berjalan perlahan-lahan, tubuhnya tegang, semua indranya waspada. Ia mengamati jalanan, mencari apa saja yang di luar kebiasaan. Ia yakin Kemal aman. Jack Stone tentu melindunginya. Ketika sampai di sudut apartemennya, Dana menghindari pintu depan dan melangkah ke lorong kecil yang menuju bagian belakang gedung. Tempat itu kosong. Dana masuk lewat pintu belakang dan diam-diam menaiki tangga. Ia sampai ke lantai dua dan berjalan di koridor, lalu sekonyong-konyong* berhenti. Pintu apartemennya terbuka lebar. Dana langsung ketakutan. Ia berlari ke pintu dan bergegas ke dalam. "Kemal!" Tidak ada siapa-siapa di sana. Dana berlari panik ke seluruh bagian apartemen, dalam hati bertanya-tanya apa yang telah terjadi. Di mana Jack Stone? Di mana Kemal? Di dapur, sebuah laci lemari jatuh ke lantai dan isinya berserakan. Tampak puluhan bungkusan kecil, sebagian masih penuh, sebagian kosong. Terdorong perasaan ingin tahu, Dana memungut salah satu bungkusan dan melihatnya. Labelnya bertuliskan, Tablet BuSpar 15 mg bertanda NDC D087 D822-32. Apa ini? Apakah Mrs. Daley memakai obat, atau ia memberikannya pada Kemal? Mungkinkah ini berkaitan dengan perubahan tingkah lakunya? Dana memasukkan salah satu bungkusan itu ke saku mantel. Dengan perasaan ngeri. Dana menyelinap keluar dari apartemen. Ia keluar lewat jalan belakang, ke lorong itu, dan menuju jalan. Ketika Dana berbelok di tikungan, seorang laki-laki yang bersembunyi di balik sebatang pohon berbicara dengan walkie-talkie ke rekannya yang berdiri di tikungan seberang. Di depan Dana ada apotek Washington Pharmacy. Dana masuk ke tempat itu. Si apoteker berkata, "Ah, Miss Evans. Bisa saya bantu?" "Ya, Coquina. Saya ingin tahu tentang ini." Ia mengeluarkan bungkusan kecil tadi. Si apoteker melihatnya sekilas. "BuSpar. Ini obat penenang. Kristal putih, larut dalam air." "Apa gunanya?" Dana bertanya. "Ini obat relaxant. Menimbulkan efek menenangkan. Tentu saja, kalau overdosis, obat ini bisa menimbulkan perasaan mengantuk dan letih." Ia sedang tidur. Perlukah saya membangunkannya? Waktu pulang sekolah, ia kelelahan, jadi saya pikir sebaiknya ia tidur siang saja... Jadi itulah penjelasan apa yang selama ini terjadi. Dan Pamela Hudson yang mengirim Mrs. Daley. Dan aku menyerahkan Kemal pada bajingan itu. pikir Dana. Ia merasa mual. Ia memandang si apoteker. "Terima kasih, Coquina." "Sama-sama, Miss Evans." Dana kembali ke jalan. Dua laki-laki menghampirinya. "Miss Evans, bisakah kita bicara seben-" Dana berbalik dan lari. Dua laki-laki itu mengejarnya. Dana sampai di tikungan. Seorang polisi di tengah perempatan sedang mengatur lalu lintas yang padat. Dana berlari ke arahnya. "Hei! Kembali, Miss." Dana terus mendatanginya "Kau melanggar lampu lalu lintas! Kau mendengarku? Kembali!" Dua laki-laki itu menunggu di sudut, mengawasi. "Kau tuli ya?" polisi itu berteriak. "Diam!" Ia menampar keras wajah polisi itu. Dengan gusar si polisi mencengkeram tangan Dana. "Anda ditahan, Ma'am." Ia menarik Dana kembali ke trotoar dan memeganginya sambil berbicara di radionya. "Aku butuh mobil polisi." Dua laki-laki tadi berdiri berpandangan di sana, tak tahu pasti apa yang harus dilakukan. Dana memandang ke arah mereka dan tersenyum. Terdengar suara sirene mendekat dan beberapa detik kemudian sebuah mobil polisi berhenti di depan mereka. Dua laki-laki itu mengawasi dengan tak berdaya ketika Dana dimasukkan ke tempat duduk belakang mobil patroli dan dibawa pergi. Di kantor polisi. Dana berkata, "Saya berhak menelepon satu kali, bukan?" Sang sersan berkata, "Ya." Ia menyodorkan telepon pada Dana. Dana menelepon. Enam blok dari sana, laki-laki itu memegangi kerah kemeja Kamal, menariknya ke limusin yang menunggu di pinggir jalan. Mesin mobil itu dalam keadaan menyala. "Lepaskan! Lepaskan aku," Kemal memohon. "Diam, Nak." Empat marinir berseragam lewat. "Aku tidak ingin ke gang denganmu," Kemal berteriak. Pria itu memandang bingung Kemal. "Apa?" "Jangan paksa aku ke gang." Kemal menoleh pada para marinir. "Ia mau membayarku lima dolar supaya pergi ke gang dengannya. Aku tidak mau." Para marinir itu berhenti, menatap laki-laki itu. "Wah, dasar maniak berpikiran kotor..." Laki-laki itu mundur. "Tidak, tidak. Tunggu sebentar. Kalian tidak mengerti..." Salah satu marinir itu berkata muram, "Ya, kami mengerti, Sobat. Angkat tanganmu dari anak itu." Mereka mengepung laki-laki itu. ia mengangkat tangan untuk membela diri, dan Kemal cepat-cepat meloloskan diri. Seorang anak pengantar barang yang membawa bungkusan turun dari sepeda dan berjalan ke sebuah rumah. Kemal melompat naik ke atas sepeda itu dan mengayuhnya mati-matian. Dengan kesal laki-laki itu menyaksikan Kemal berbelok di tikungan dan menghilang. Para marinir itu mengepungnya makin rapat. Di kantor polisi, pintu sel Dana berdentang membuka. "Anda boleh pergi, Miss Evans. Anda dibebaskan dengan jaminan." Man! Telepon itu berhasil, pikir Dana senang. Ia tidak membuang-buang waktu. Ketika hendak keluar. Dana tiba-tiba berhenti dengan perasaan terguncang. Salah seorang laki-laki itu berdiri di sana, menunggunya. Ia tersenyum pada Dana dan berkata, "Kau bebas, Sis. Ayo pergi." Ia mencengkeram lengan Dana kuat-kuat dan menyeretnya menuju jalanan. Ketika mereka melangkah keluar, laki-laki itu tertegun. Kru televisi dari WTN menunggu di depan. "Lihat ke sini, Dana..." "Dana, benarkah kau menampar polisi?" "Bisakah kau menceritakan apa yang terjadi?" "Apakah ia mempersulit dirimu?" "Apakah kau akan menuntut?" Laki-laki itu menyingkir sambil menutupi wajah. "Ada apa?" Dana berseru. "Kau tidak ingin masuk TV?" ia kabur. Matt Baker muncul di samping Dana. "Ayo segera menyingkir dari sini." Mereka berada di kantor Matt Baker di gedung WTE. Elliot Cromwell, Matt Baker, dan Abbe Lasmann sudah setengah jam mendengarkan Dana, terdiam karena kaget. "...dan FRA terlibat juga. Itulah sebabnya Jenderal Booster mencoba menghentikan aku melakukan penyelidikan." Elliot Cromwell berkata, "Aku sangat terguncang. Bagaimana selama ini kita bisa begitu keliru mengenai Taylor Winthrop? Menurutku kita seharusnya memberitahu Gedung Putih tentang apa yang terjadi. Biar mereka memberitahu Jaksa Agung dan FBI." Dana berkata, "Elliot, sejauh ini yang ada cuma kesaksianku melawan kesaksian Roger Hudson. Menurutmu, siapa yang akan mereka percayai?" Abbe Lasmann berkata, "Apakah kita tidak punya bukti?" "Adik laki-laki Sasha Shdanoff masih hidup. Aku yakin ia bersedia bicara. Begitu satu benang berhasil kita tarik, maka cerita ini pun akan terurai seluruhnya." Dana berkata, "Matt, Kemal bagaimana? Aku tidak tahu harus mencari dari mana " Matt berkata tegas, "Jangan khawatir. Kita akan menemukannya. Sementara ini, kita harus mencari tempat bersembunyi untukmu, supaya tidak ada yang bisa menemukanmu." Abbe Lasmann berbicara. "Kau bisa memakai apartemenku. Tak seorang pun akan terpikir untuk mencarimu di sana." "Terima kasih." Dana menoleh pada Matt. "Mengenai Kemal..." "Kita akan segera melaporkan soal itu pada FBI. Aku akan menyuruh sopir mengantarmu ke apartemen Abbe. Persoalan ini ada di tangan kita sekarang. Dana. Semua akan beres. Aku akan meneleponmu begitu aku mendengar sesuatu." * * * Kemal mengayuh sepeda di jalanan yang berlapis es, dengan cemas melihat ke belakang setiap beberapa saat. Tidak tampak laki-laki yang tadi meringkusnya. Aku harus menemukan Dana, pikir Kemal tegang. Aku tidak boleh membiarkan mereka mencelakainya. Masalahnya, studio WTN terletak di ujung lain pusat kota Washington. Ketika Kemal sampai di halte bus, ia turun dari sepeda dan mendorongnya ke rumput. Waktu sebuah bis mendekat, Kemal meraba saku dan menyadari ia tidak punya uang. Kemal berpaling kepada seorang pejalan kaki. "Maaf, bisakah saya-" "Minggir, Nak." Kemal mencoba berbicara dengan seorang wanita yang berjalan ke arahnya. "Maaf, saya butuh ongkos bus untuk-" Perempuan itu bergegas pergi. Kemal berdiri dalam udara dingin, tanpa mantel, menggigil. Tak seorang pun tampak peduli. Aku harus mendapatkan ongkos bis, pikir Kemal. Ia menarik lepas lengan palsunya dan meletakkannya di rumput. Ketika laki-laki berikutnya lewat, Kemal menyodorkan lengannya yang buntung dan berkata, "Maaf, Sir. Bisakah Anda memberi saya uang secukupnya untuk ongkos bus?" Laki-laki itu berhenti. "Tentu saja. Nak," ia berkata, dan mengangsurkan satu dolar pada Kemal. "Terima kasih." Ketika laki-laki itu sudah pergi, Kemal cepat-cepat memasang kembali lengannya. Bus datang, hanya satu blok dari sana. Aku berhasil, pikir Kemal gembira. Persis pada saat itu, ia merasakan sengatan pada tengkuknya. Ketika ia hendak,berpaling, segalanya jadi gelap. Di dalam kepalanya terdengar jeritan, Tidak! Tidak! Kemal terkulai ke tanah, tak sadarkan diri. Orang-orang yang lewat mulai berkumpul. "Apa yang terjadi?" "Apakah ia pingsan?" "Ia tidak apa-apa?" "Anak saya menderita diabetes," seorang laki-laki berkata. "Saya akan mengurusnya " Ia menggendong Kemal dan menggendongnya ke limusin yang sudah menunggu. Apartemen Abbe Lasmann terletak di barat laut Washington. Apartemen itu luas dan didekorasi dengan perabotan kontemporer dan karpet putih. Dana seorang diri di apartemen itu, mondar-mandir, panik, menunggu telepon berdering. Kemal pasti baik-baik saja. Mereka tidak punya alasan apa pun untuk menyakitinya, ia tidak akan apa-apa. Di mana Kemal? Mengapa mereka tidak bisa menemukannya? Ketika telepon berdering, Dana terlonjak kaget. Ia mengangkatnya. "Halo." Sambungan terputus. Terdengar suara berdering lagi, dan Dana sadar bahwa suara itu berasal dari ponselnya. Ia tiba-tiba merasa lega. ia menekan tombol. "Jeff?" Suara Roger Hudson terdengar lirih. "Kami mencari-carimu, Dana. Kemal ada di sini." Dana berdiri kaku. tak mampu bergerak, tak mampu bicara. Akhirnya ia berbisik, "Roger-" "Aku merasa tidak bisa lebih lama mengendalikan orang-orang di sini. Mereka ingin memotong lengan Kemal yang masih utuh. Kubiarkan saja?" "Tidak!" Ia menjerit. "Apa-apa yang kauinginkan?" "Aku cuma ingin bicara denganmu," kata Roger Hudson tenang. "Aku ingin kau datang ke rumah, dan aku ingin kau datang sendirian. Kalau kau membawa orang lain, aku tidak bertanggung jawab atas apa yang terjadi pada Kemal." "Roger-" "Aku menunggu kedatanganmu tiga puluh menit lagi." Sambungan terputus. Dana terpaku, ketakutan Kemal tidak boleh diapa-apakan. Kemal tidak boleh diapa-apakan. Dengan jari-jari gemetar, Dana menekan nomor telepon Matt Baker. Terdengar rekaman suara Matt. "Anda menelepon kantor Matt Baker. Saat ini saya tidak ada di tempat, tapi tinggalkanlah pesan, maka telepon Anda akan segera dibalas." Lalu terdengar bunyi sinyal. Dana menarik napas dalam dan berbicara di telepon. "Matt, aku-aku baru saja mendapat telepon dari Roger Hudson. Ia menahan Kemal di rumahnya. Aku akan ke sana sekarang. Tolong bergegaslah sebelum terjadi sesua tu pada Kemal. Bawa polisi. Cepat!" Dana mematikan telepon genggamnya dan beranjak ke pintu. Abbe Lasmann sedang menaruh beberapa surat di meja kerja Matt Baker ketika melihat lampu pesan di telepon Matt berkedip-kedip. Ia memasukkan password Matt dan memutar rekaman suara Dana. Ia mendengarkannya. Lalu ia tersenyum dan menekan tombol penghapus. Saat pesawat Jeff mendarat di bandara Dulles, ia langsung menelepon Dana. Sepanjang penerbangan tadi, ia terus memikirkan nada aneh dalam suara kekasihnya itu, ucapan '"Kalau sampai terjadi sesuatu padaku" itu mengusik hatinya. Telepon genggam Dana terus memperdengarkan nada panggil. Berikutnya Jeff mencoba menghubungi apartemen Dana. Tidak ada jawaban. Ia naik taksi dan memberikan alamat WTN. Ketika Jeff melangkah masuk ke kantor Matt, Abbe berkata, "Wah, Jeff! Senang melihatmu kembali." "Terima kasih, Abbe." Ia masuk ke kantor Matt Baker. Matt berkata, "Jadi, kau sudah kembali. Bagaimana kabar Rachel?" Pertanyaan itu membuat Jeff tertegun sesaat. "Ia baik-baik saja," katanya tanpa nada. "Mana Dana? ia tidak menjawab teleponku." Matt berkata, "Ya Tuhan, kau tidak tahu apa yang selama ini terjadi, ya?" "Ceritakanlah padaku," kata Jeff tegang. Di ruang penerimaan tamu, Abbe menempelkan telinga ke pintu yang tertutup. Ia hanya bisa mendengar potongan-potongan percakapan, "...usaha untuk membunuhnya... Sasha Shdanoff... Krasnoyarsk-26... Kemal... Roger Hudson..." Sudah cukup yang didengar Abbe. Ia bergegas kembali ke meja kerjanya dan mengangkat telepon. Satu menit kemudian ia berbicara dengan Roger Hudson. Di dalam kantor, Jeff mendengarkan Matt dengan tercengang. "Aku tidak bisa mempercayainya." "Semua ini benar," Matt Baker meyakinkannya. "Dana ada di apartemen Abbe. Aku akan minta Abbe mencoba menelepon ke apartemennya lagi." ia menekan interkom, tetapi sebelum ia sempat berbicara, ia sudah mendengar suara Abbe. "...dan Jeff Connors ada di sini. Ia mencari Dana. Saya pikir Anda sebaiknya menyingkirkannya dari sana. Mereka akan datang ke sana... Baiklah. Akan saya urus, Mr. Hudson. Kalau-" Abbe mendengar suara dan berbalik. Jeff Connors dan Matt Baker berdiri di ambang pintu, menatapnya. Matt berkata, "Dasar bajingan." Jeff menoleh pada Matt, panik. "Aku harus pergi ke rumah Hudson. Aku butuh mobil." Matt Baker melihat ke luar jendela. "Kau tidak akan pernah sampai di sana pada waktunya. Lalu lintas sangat padat." Dari atas atap, mereka mendengar suara helikopter WTN mendarat. Dua laki-laki itu berpandangan. DUA PULUH LIMA Dana berhasil memperoleh taksi di depan gedung apartemen Abbe Lasmann, tetapi perjalanan ke rumah Hudson serasa berabad-abad. Lalu lintas di jalanan yang licin sangat berbahaya. Dana takut setengah mati ia akan terlambat. "Cepatlah," ia memohon pada si sopir. Si sopir memandangnya dari spion. "Nona, ini bukan pesawat terbang." Dana bersandar, dipenuhi perasaan cemas, memikirkan apa yang akan terjadi. Saat ini Matt pasti sudah menerima pesannya dan menelepon polisi. Saat aku tiba di sana, polisi tentu sudah ada di sana juga. Kalau mereka belum sampai, aku bisa mengulur waktu sampai mereka tiba. Dana membuka tasnya, ia masih menyimpan kaleng semprotan merica. Bagus. Ia tidak berniat membuat Roger dan Pamela bisa melaksanakan niatnya dengan mudah. * * * Ketika taksi mendekati rumah Hudson, Dana melihat ke luar jendela, mencari tanda-tanda adanya polisi. Tidak ada apa pun. Ketika mereka meluncur di jalan masuk, tempat itu kosong. Ia merasa tercekik perasaan takut. Dana teringat saat pertama ia datang ke sini. Betapa baik Roger dan Pamela waktu itu. Tapi mereka ternyata Yudas, monster-monster pembunuh. Mereka menahan Kemal. Dana dipenuhi kebencian meluap-luap. "Anda ingin saya menunggu?" sopir taksi itu bertanya. "Tidak." Dana membayarnya dan menaiki tangga menuju pintu depan. Ia membunyikan bel, jantungnya berdebar kencang. Cesar membukakan pintu. Ketika melihat Dana. wajahnya berseri. "Miss Evans." Dan perasaan gembira. Dana tiba-tiba sadar ia punya sekutu. Ia mengangsurkan tangan. "Cesar." Pria itu menyalaminya dengan tangannya yang besar. "Senang bertemu Anda, Miss Evans," kata Cesar. "Senang bertemu denganmu." Dan Dana bersungguh-sungguh ketika mengatakannya, ia yakin Cesar akan menolongnya. Masalahnya adalah kapan sebaiknya ia mendekati laki-laki raksasa itu. Ia melihat sekelilingnya. "Cesar-" "Mr. Hudson sudah menunggu Anda di ruang baca. Miss Evans." "Baik." Ini bukan saat yang tepat. Dana mengikuti Cesar menyusuri lorong panjang. teringat kembali pada berbagai peristiwa luar biasa yang terjadi sejak ia berjalan di koridor ini. Mereka sampai ke ruang baca. Roger duduk di belakang meja tulis sambil membereskan beberapa dokumen. "Miss Evans," kata Cesar. Roger mendongak. Dana menyaksikan Cesar berjalan pergi. Ia ingin sekali memanggilnya kembali. "Well, Dana. Masuklah." Dana melangkah ke dalam ruangan, ia memandang Roger, dan hatinya dipenuhi kegusaran tak terkendali. "Mana Kemal?" Roger Hudson berkata, "Ah, anak itu." "Polisi dalam perjalanan ke sini, Roger. Kalau kau melakukan apa pun terhadap kami..." "Oh, kurasa kita tidak perlu mengkhawatirkan polisi. Dana." Ia menghampiri Dana, dan sebelum Dana menyadari apa yang dilakukannya, pria itu sudah merenggut tasnya dan memeriksa isinya. "Pamela mengatakan kau punya semprotan merica. Kau sibuk sekali belakangan ini, bukan, Dana?" Ia mengeluarkan kaleng semprotan itu, mengangkatnya, dan menyemprotkan isinya ke wajah Dana. Dana menjerit karena sengatan rasa sakit. "Oh, kau masih belum tahu apa arti kesakitan, tapi aku berani menjamin, kau akan mengetahuinya." Air mata mengalir di wajah Dana. Ia berusaha menyeka cairan itu. Roger dengan sopan menunggu sampai ia selesai, lalu kembali menyemprot wajahnya. Dana tersedu-sedu. "Aku ingin bertemu Kemal." "Tentu saja. Dan Kemal ingin bertemu denganmu. Bocah itu ketakutan. Dana. Belum pernah aku melihat orang begitu ketakutan. Ia tahu ia akan mati, dan kukatakan padanya kau pun akan mati. Kaupikir kau pintar, ya. Dana? Sebetulnya, kau sangat naif. Kami telah memanfaatkanmu. Kami tahu ada seseorang dalam pemerintah Rusia yang tahu apa yang kami lakukan dan hendak membeberkannya. Tetapi kami tidak dapat mengetahui siapa orang itu. Tapi kau menemukannya untuk kami, bukan?" Mayat Sasha Shdanoff dan temannya yang berlumuran darah terlintas dalam benak Dana. "Sasha Shdanoff dan adiknya, Boris, sangat pintar. Kami belum menemukan Boris, tapi kami pasti akan mendapatkannya." "Roger, Kemal tidak ada sangkut pautnya dengan semua ini. Biarkan ia-" "Kurasa tidak, Dana. Aku mulai khawatir denganmu ketika kau bertemu Joan Sinisi yang malang. Ia kebetulan mendengar Taylor bicara mengenai rencana Rusia itu. Taylor takut membunuhnya sebab pembunuhan itu bisa dikaitkan dengan dirinya. Maka ia pun memecatnya. Ketika perempuan itu menggugat karena pemecatan yang tak adil, Taylor menyelesaikannya di luar pengadilan dengan syarat wanita itu tidak akan pernah membicarakan masalah itu." Roger menghela napas. "Jadi aku khawatir kaulah yang sebenarnya bertanggung jawab atas kecelakaan yang menimpa Joan Sinisi." "Roger, Jack Stone tahu-" Roger menggeleng. "Jack Stone dan anak buahnya selalu mengawasi segala gerak-gerikmu. Kami sebenarnya bisa menyingkirkanmu kapan saja, tetapi kami menunggu sampai kau mendapatkan informasi yang kami butuhkan. Kau sama sekali tidak berguna lagi bagi kami." "Aku mau bertemu Kemal." 'Terlambat. Aku khawatir Kemal yang malang sudah mengalami kecelakaan." Dana memandangnya penuh kengerian. "Apa yang telah kau-" "Aku dan Pamela memutuskan bahwa kebakaran kecil adalah cara terbaik untuk mengakhiri hidup Kemal yang menyedihkan. Maka kami kembali ke sekolah. Bocah nakal itu menyelundup ke sekolah pada hari Sabtu. Tubuhnya cukup kecil untuk memasuki jendela ruang bawah tanah." Dana dipenuhi perasaan gusar tak terkatakan. "Dasar monster berdarah dingin. Kau tidak akan lolos dari semua ini." "Kau mengecewakan aku, Dana. Beralih pada kata-kata klise? Kau tidak paham ya? Kami sudah lolos." Ia berjalan kembali ke meja kerjanya dan menekan tombol. Sesaat kemudian Cesar muncul. "Ya, Mr. Hudson." "Aku ingin kau mengurus Miss Evans. Dan memastikan ia masih hidup saat kecelakaan itu terjadi." "Ya, Mr. Hudson. Saya akan mengurusnya." Dia salah satu dari mereka. Dana tak bisa mempercayainya. "Roger, dengarkan aku-" Cesar memegang lengan Dana dan menuntunnya keluar ruangan. "Roger-" "Selamat tinggal. Dana." Cesar mengeratkan cengkeramannya pada lengan Dana dan menariknya sepanjang lorong, memasuki dapur, dan keluar ke samping rumah, tempat limusin diparkir. Helikopter WTN terbang mendekati rumah Hudson. Jeff berkata pada Norman Bronson. "Kau bisa mendaratkannya di lapangan rumput dan-" Ia berhenti ketika melongok ke bawah dan melihat Cesar memasukkan Dana ke dalam limusin. "Tidak! Tunggu sebentar." Limusin itu mulai bergerak di jalan masuk dan meluncur ke jalan. "Kau ingin aku melakukan apa?" Bronson bertanya. "Ikuti mereka." Di dalam limusin, Dana berkata, "Kau tidak ingin melakukan ini, Cesar. Aku-" "Tutup mulut. Miss Evans." "Cesar, dengarkan aku. Kau tidak kenal orang-orang ini. Mereka pembunuh. Kau orang baik. Jangan biarkan Mr. Hudson memaksamu melakukan hal-hal yang-" "Mr. Hudson tidak memaksaku melakukan apa pun. Aku melakukan ini untuk Mrs. Hudson." Ia memandang Dana lewat spion dan menyeringai. "Mrs. Hudson mengurusku dengan baik." Dana memandangnya, tertegun. Aku tak boleh membiarkan ini terjadi. "Ke mana kau akan membawaku?" "Ke Rock Creek Park." Ia tidak perlu menambahkan: tempat aku akan membunuhmu Roger Hudson, Pamela Hudson, Jack Stone, dan Mrs. Daley berada dalam mobil station wagon, menuju Washington National Airport. Jack Stone berkata, "Pesawatnya sudah siap. Rencana penerbangan ke Moskow ada di pilot Anda." Pamela Hudson berkata, "Aduh, aku benci cuaca dingin. Mudah-mudahan perempuan jalang itu terbakar di neraka karena menyeretku dalam situasi ini." "Bagaimana dengan Kemal?" Roger Hudson bertanya. "Kebakaran di sekolah itu dirancang akan terjadi dua puluh menit lagi. Anak itu ada di lantai bawah tanah. Ia dibius cukup berat." * * * Dana makin putus asa. Mereka mendekati Rock Creek Park, dan lalu lintas mulai sepi. Kemal ketakutan. Dana. Belum pernah aku melihat orang begitu ketakutan. Ia tahu ia akan mati, dan kukatakan padanya kau pun akan mati. Di dalam helikopter yang membuntuti limusin itu, Norman Bronson berkata, "ia belok, Jeff. Tampaknya ia menuju Rock Creek Park." "Jangan sampai ia lepas." Di FRA, Jenderal Booster menyerbu ke dalam kantornya. "Apa yang terjadi?" ia bertanya pada salah satu ajudannya. "Sudah saya katakan pada Anda, Jenderal. Ketika Anda pergi, Mayor Stone merekrut beberapa orang terbaik kita, dan mereka terlibat urusan besar dengan Roger Hudson. Mereka mengincar Dana Evans. Lihat ini." Si ajudan mengganti tampilan di layar komputernya, dan sesaat kemudian tampak gambar Dana dalam keadaan telanjang, masuk kamar mandi di Breidenbacher Hof Hotel. Ekspresi wajah Jenderal Booster mengeras. "Astaga!" Ia menoleh pada ajudannya. "Di mana Stone sekarang?" "Ia sudah menghilang. Ia meninggalkan negeri ini bersama suami-istri Hudson." Jenderal Booster berkata tegas. "Hubungkan aku dengan National Airport." Di dalam helikopter, Norman Bronson melihat ke bawah dan berkata, "Mereka menuju taman itu, Jeff. Begitu mereka sampai ke sana, kita tidak akan bisa mendarat karena pohon-pohon itu." Jeff berkata dengan nada mendesak, "Kita harus menghentikan mereka. Bisakah kau mendarat di depan mereka di jalan?" "Tentu." "Kerjakanlah." Bronson mendorong tuas kontrol ke depan dan helikopter itu mulai turun. Ia melewati limusin tersebut, dan dengan mulus mulai menurunkan helikopter itu. Ia mendarat di jalan, dua puluh meter di depan limusin. Mereka mengawasi mobil itu berdecit hingga berhenti. "Matikan mesinnya," kata Jeff. "Kita tidak bisa melakukannya. Nasib kita ada di tangan mereka bila-" "Matikan." Bronson memandangnya. "Kau tahu pasti apa yang kaulakukan?" 'Tidak." Bronson mengeluh dan mematikan mesin. Bilah-bilah raksasa baling-baling helikopter itu melambat hingga akhirnya berhenti. Jeff melihat ke luar jendela. Cesar sudah membuka pintu belakang limusin. Ia berkata pada Dana, "Temanmu mencoba menyulitkan." Tinjunya melesat dan menghantam rahang Dana. Ia tersungkur di jok, tak sadarkan diri. Kemudian Cesar berdiri dan berjalan menghampiri helikopter. "Ini dia datang," Bronson berkata gelisah. "Ya Tuhan, ia raksasa!" Cesar mendekati helikopter, parasnya penuh ha rap. "Jeff, ia punya senjata. Ia akan membunuh kita." Jeff berteriak ke luar jendela, "Kau dan bos-bosmu akan masuk penjara, bajingan!" Cesar mulai berjalan lebih cepat. "Semua sudah berakhir bagimu. Kau sebaiknya menyerah." Cesar tinggal lima belas meter dari helikopter. "Kau akan jadi makanan empuk di penjara." Sepuluh meter. "Kau tentu akan menyukainya, bukan, Cesar?" Cesar kini berlari. Lima meter. Jeff menekankan ibu jarinya keras-keras pada tombol start dan baling-baling raksasa helikopter perlahan-lahan mulai berputar. Cesar tidak memperhatikannya, matanya terfokus pada Jeff, wajahnya penuh kebencian. Baling-baling itu mulai berputar lebih kencang dan makin kencang. Ketika berlari ke pintu helikopter, Cesar tiba-tiba menyadari apa yang terjadi, tapi sudah terlambat. Terdengar suara tebasan keras, dan Jeff memejamkan mata. Bagian luar dan dalam helikopter langsung berlumuran darah. Norman Bronson berkata. "Aku mau muntah." Ia mematikan mesin. Jeff memandang sekilas mayat tanpa kepala di tanah itu, melompat keluar dari helikopter, dan berlari ke limusin. Ia membuka pintu. Dana tak sadarkan diri. "Dana... Sayang..." Dana perlahan-lahan membuka mata. Ia memandang Jeff dan menggumam, "Kemal..." Limusin itu sudah hampir dua kilometer dari Lincoln Preparatory School ketika Jeff berseru, "Lihat" Jauh di depan, mereka bisa melihat asap membubung gelap di angkasa. "Mereka membakar sekolah itu," Dana berteriak. "Kemal ada di sana. Ia di ruang bawah tanah." "Oh, Tuhan." Satu menit kemudian limusin itu sampai di sekolah. Asap tebal membubung dari bangunan. Dua belas petugas pemadam kebakaran sedang bekerja untuk memadamkan api. Jeff melompat keluar dari mobil dan bergerak ke arah sekolah. Seorang petugas menghentikannya "Anda tidak boleh lebih dekat, Sir.". "Apakah sudah ada yang ke dalam?" Jeff bertanya. "Belum. Kami cuma membongkar pintu depan." "Ada seorang anak di lantai bawah." Sebelum siapa pun bisa menghentikannya, Jeff sudah menerobos pintu yang hancur itu dan berlari ke dalam. Tempat itu penuh asap. Jeff mencoba berteriak memanggil Kemal, tetapi hanya bisa batuk-batuk. Ia menutupi hidung dengan saputangan dan berlari di lorong menuju tangga ke ruang bawah tanah. Asap tebal dan menyesakkan napas. Jeff terantuk-antuk menuruni tangga, berpegangan pada susuran tangga. "Kemal!" Jeff memanggil. Tak ada jawaban. "Kemal." Sunyi. Jeff samar-samar melihat sosok di ujung ruangan. Ia bergerak ke sana, berusaha untuk tidak bernapas, paru-parunya serasa terbakar. Ia nyaris tersandung Kemal. Ia mengguncang-gun-cangnya. "Kemal." Anak itu tak sadarkan diri. Dengan susah payah, Jeff mengangkatnya dan membawanya menuju tangga. Ia seolah tercekik dan buta karena asap. Ia terhuyung-huyung menerjang asap hitam yang berputar-putar, sambil menggendong Kemal. Setelah mencapai tangga, Jeff setengah menggendong, setengah menyeretnya menaiki tangga. Ia mendengar suara-suara di kejauhan, lalu pingsan. Jenderal Booster berbicara di telepon dengan Nathan Novero, penanggungjawab bandara di Washington National Airport. "Apakah Roger Hudson menyimpan pesawatnya di sana?" "Ya, Jenderal. Malah, ia ada di sini sekarang. Saya yakin mereka baru saja mendapatkan izin untuk tinggal landas." "Batalkan." "Apa?" "Hubungi menara kontrol dan batalkan." "Ya, Sir" Nathan Novero menelepon menara kontrol. "Menara, batalkan izin tinggal landas Gulfstream R3487." Petugas pengatur lalu lintas udara berkata, "Mereka sudah menuju landas pacu." "Batalkan izin mereka." "Ya, Sir." Petugas itu mengangkat mikropon. "Menara kepada Gulfstream R3487. Izin tinggal landas dibatalkan. Anda harus kembali ke terminal. Batalkan tinggal landas. Saya ulangi, batalkan tinggal landas." Roger Hudson melangkah ke dalam kokpit. "Ada apa ini?" "Pasti ada hambatan," kata pilot. "Kita harus kembali ke-" "Tidak!" kata Pamela Hudson. "Terus jalan." "Dengan segala hormat, Mrs. Hudson, saya akan kehilangan izin terbang pilot saya kalau-" Jack Stone bergeser ke samping pilot dan menodongkan pistol ke kepala pria itu. "Tinggal landas. Kita terbang ke Rusia." Pilot itu menarik napas dalam. "Ya, Sir." Pesawat itu melaju cepat di landas pacu, dan dua puluh menit kemudian, ia sudah mengudara. Penanggung jawab bandara menyaksikan dengan kaget ketika pesawat Gulfstream itu terbang makin tinggi ke angkasa. "Astaga! Ia melawan-" Di telepon, Jenderal Booster bertanya dengan nada mendesak, "Apa-apaan ini? Kau sudah menghentikan mereka?" "Tidak, Sir. Mereka-mereka tetap tinggal landas. Tidak mungkin kita bisa menghentikan-" Dan pada saat itu terjadi ledakan di langit. Disaksikan para kru di darat dengan perasaan ngeri, reruntuhan pesawat Gulfstream itu berjatuhan menerobos awan dalam kepingan-kepingan kecil. Rasanya seperti tak ada habis-habisnya. Jauh di ujung lapangan, Boris Shdanoff lama menyaksikannya. Akhirnya ia berbalik dan melangkah pergi. DUA PULUH ENAM Ibu Dana menggigit sepotong kue pernikahan. "Terlalu manis. Terlalu manis. Waktu aku muda dulu dan biasa membuat kue, kue buatanku sangat lembut sehingga bisa meleleh dalam mulutmu." Ia berpaling pada Dana. "Bukankah begitu, Sayang?" "Bisa meleleh dalam mulut" menurut Dana bu-kanlah ungkapan yang tepat, tetapi itu tidak penting. "Tentu, Ibu," katanya sambil tersenyum hangat. Upacara pernikahan itu dipimpin hakim di Balai Kota. Dana mengundang ibunya pada saat terakhir, sesudah berbicara di telepon. "Sayang, aku tidak jadi menikah dengan laki-laki menyebalkan itu. Kau dan Kemal benar tentang dia, maka aku kembali ke Las Vegas." "Apa yang terjadi, Ibu?" "Aku mengetahui ia sudah beristri. Perempuan itu pun tidak menyukainya." "Aku turut prihatin, Ibu." "Jadi beginilah, sepi lagi." Kesepian adalah makna yang tersirat di dalamnya Maka Dana mengundangnya menghadiri pernikahan. Menyaksikan ibunya bercakap-cakap dengan Kemal, bahkan ingat nama anak itu, Dana jadi tersenyum. Kami masih harus membiasakannya jadi nenek. Kebahagiaannya terasa terlalu besar untuk diserapnya. Menikah dengan Jeff saja sudah merupakan mukjizat penuh berkah, tetapi ada yang lebih dari itu. Sesudah kebakaran itu, Jeff dan Kemal harus dirawat beberapa lama di rumah sakit karena menghirup asap. Sewaktu mereka di sana, seorang perawat berbicara pada reporter tentang petualangan Kemal dan cerita itu pun diangkat media. Foto Kemal tampil di berbagai surat kabar dan kisahnya disiarkan di televisi. Pengalaman-pengalamannya ditulis dalam buku, bahkan ada pembicaraan tentang kemungkinan membuatnya menjadi film seri televisi. 'Tapi hanya kalau aku yang membintanginya," kata Kemal ngotot. Kemal jadi pahlawan di sekolahnya. Ketika upacara adopsi dilangsungkan, setengah dari teman-teman sekolahnya datang untuk menyemangatinya. Kemal berkata, "Aku benar-benar diadopsi sekarang, heh?" "Kau benar-benar diadopsi," kata Dana dan Jeff. "Kita saling memiliki." "Bagus." Tunggu sampai Ricky Underwood mendengar ini. Ha! * * * Mimpi buruk sebulan terakhir berangsur-angsur memudar Mereka bertiga jadi satu keluarga sekarang, dan rumah adalah tempat yang aman. Aku tidak butuh petualangan lagi, pikir Dana. Petualanganku sudah cukup untuk seumur hidup. Suatu pagi, Dana mengumumkan, "Aku baru saja menemukan apartemen baru yang cocok untuk kita berempat." "Maksudmu kita bertiga." Jeff mengoreksinya. 'Tidak," kata Dana lembut. "Kita berempat." Jeff menatapnya. "Maksudnya ia akan punya bayi," Kemal menjelaskan. "Aku harap bayi laki-laki. Kami akan bisa main tembak-tembakan." Masih ada kabar baik lagi. Tayangan perdana Crime Line, "Kisah Roger Hudson, Konspirasi Pembunuhan", mendapat komentar bagus dan peringkat yang fenomenal. Matt Baker dan Elliot Cromwell sangat gembira. "Kau sebaiknya menyiapkan tempat untuk menaruh piala Emmy," Elliot Cromwell berkata kepada Dana. Hanya ada satu peristiwa sedih. Rachel Stevens akhirnya menyerah pada kanker. Beritanya muncul di berbagai surat kabar, dan Dana serta Jeff mengetahui apa yang telah terjadi. Tetapi ketika berita itu muncul di layar TelePrompTer, Dana memandangnya dan tenggorokannya serasa tersumbat. "Aku tak bisa membacanya," ia berbisik pada Richard Melton. Maka Richard-lah yang membacanya. Beristirahatlah dalam damai. Mereka sedang melakukan siaran pukul 23.00. "...Dan di sini, seorang satpam di Spokane, Washington, dituduh melakukan pembunuhan terhadap pekerja seks berusia enam belas tahun dan dicurigai bertanggung jawab atas enam belas pembunuhan lain... Di Sisilia, tubuh Malcolm Beaumont, pewaris kerajaan bisnis baja berusia tujuh puluh tahun, ditemukan tenggelam di kolam renang. Beaumont sedang berbulan madu dengan pengantinnya yang berusia 25 tahun. Mereka disertai dua saudara laki-laki istrinya. Sekarang, inilah prakiraan cuaca bersama Marvin Greer." Setelah siaran selesai. Dana pergi menemui Matt Baker. "Ada yang mengusik pikiranku, Matt." "Apa? Sebutkanlah. maka aku akan membabatnya." "Berita tentang milyarder berumur tujuh puluh tahun yang tenggelam di kolam renang saat berbulan madu dengan pengantinnya yang baru berusia dua puluh lima tahun tadi. Tidakkah menurutmu itu terlalu kebetulan?" CATATAN PENULIS Ini adaluh karya fiksi, tetapi kota rahasia di bawah tanah bernama Krasnoyarsk-26 benar-benar ada, satu dari tiga belas kota tertutup untuk memproduksi nuklir. Krasnoyarsk-26 terletak di Siberia tengah, tiga ribu dua ratus kilometer dari Moskow, dan sejak pembuatannya pada tahun 1958, kota itu sudah memproduksi lebih dari empat puluh lima ton plutonium bermutu untuk senjata. Meskipun dua dan reaktornya yang memproduksi plutonium sudah ditutup pada tahun 1992, ada satu yang masih aktif, saat ini menghasilkan setengah ton plutonium setahun, jumlah yang bisa digunakan untuk membuat beberapa bom atom Ada laporan-laporan tentang terjadinya pencurian plutonium, dan Departemen Energi Amerika Serikat bekerja sama dengan pemerintah Rusia untuk meningkatkan tindakan pengamanan dalam melindungi bahan-bahan nuklir. Edit & Convert: zhe (zheraf.wapamp.com) http://www.zheraf.net